DUA jam sudah lamanya ia menghafal pelajaran. Ia pun bangkit dari tempat duduknya dan mengambil air wudu untuk menunaikan salat dua rakaat, duha. Pukul delapan pagi, Zuhair sudah siap untuk ujian. Salat duha sudah ia tunaikan, tadi subuh sudah ia hafalkan semuanya, pun meminta do’a dari kedua orangtua sudah ia pinta, ia kirim lewat messenger ke adiknya.
Kini saatnya bertempur. Alat-alat untuk bertempur pun sudah ia siapkan dan lengkap di dalam ransel. Mulai dari papan ujian, penggaris, pena biru, sapu tangan, Kerneh (Kartu Mahasiswa), dan hafalan di kepala. Ujian di Al-Azhar hanya menerima jawaban yang tertulis dengan tinta biru. Selain tinta biru, besar kemungkinan jawaban tidak akan diberi nilai. Zuhair keluar dari rumah menuruni anak tangga satu per satu sambil membaca, “Sanuqriuka falaa tansa ... sanuqriuka falaa tansa ... sanuqriuqa fala tansa .... Ia berjalan melewati gang dan tikungan menuju kampus, sambil berjalan ia sempatkan menoleh ke kertas dua lembar yang ada di tangan kanannya, yang tidak lain adalah kertas ringkasan yang harus ia ulangi kembali agar tidak lupa untuk menjawab soal ujian pelajaran Balaghah hari ini, ia baca sambil berjalan dengan mulut komat-kamit.
Setelah melewati tiga tikungan, ia sudah tiba di depan jalur dua lalu menyeberang dengan sedikit berlari, karena jika tidak berlari, bisa jadi fatal akibatnya. Orang Mesir membawa kendaraan layaknya seperti orang sedang balapan. Zuhair melewati gerbang utama kampus dengan santai.
Tidak seperti orang Mesir yang harus menunjukkan kartu mahasiswanya, di sini orang Mesir memperlakukan sebaliknya, orang asing tidak diperiksa ketika melewati pintu masa depan itu. Orang Mesir tidak akan bisa masuk jika tidak menunjukkan kartu mahasiswanya. Sampai di depan Fakultas Bahasa Arab, Zuhair bergegas naik ke lantai dua.
Mahasiswa tingkat akhir kuliah Bahasa Arab, muhadharah dan ujiannya di lantai dua. Tingkat satu dan dua di lantai empat dan bila naik tingkat maka kelasnya semakin turun, dari lantai empat ke lantai dua dan seterusnya. Zuhair masuk ke dalam ruangan yang telah ditetapkan untuknya dan duduk di nomor kursi yang telah ditentukan. Dia duduk di urutan bangku nomor dua dari depan, di sebelah kanan dekat dengan jendela. Sebelum menjawab soal ujian, Zuhair tidak pernah lupa membaca doa. Sebab usaha saja tidaklah cukup. Usaha tanpa doa itu adalah sombong dan doa tanpa adanya usaha sama saja bohong! Rumus awalnya memang man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Namun, seorang muslim sejati meyakini ada yang lebih penting dari usaha dan keberhasilannya, yaitu keberkahan.
Untuk meraih keberkahan itu, salah satu caranya adalah dengan banyak-banyak berdoa, mendoakan dan minta didoakan. Cara yang mulai dianggap kolot dan mulai ditinggalkan oleh orang-orang yang mengaku keren alias modern. Memang tidak ada doa khusus untuk ujian, tapi ada doa yang sesuai dan mendekati kondisinya. Sebelum menjawab soal-soal ujian Balaghah itu, Zuhair pun membaca doa. Rabbiysrah lii shadri wayassir lii amrii wahlul 'uqdatan millasaanii yafqahu qawli bismillahil fattah, al-lahumma laasahlaa illa maa ja'altahu sahla wa anta taj'alul huzna idzaa syi'ta sahlaa ya arhamarrahimiin.
Lalu ia mulai menjawab soal-soal itu dengan penuh hati-hati, ia tulis dengan secantik tulisan yang ia punya. Al-azhar sangat berpengaruh dalam tulisan, kemungkinan besar yang tulisannya bagus, rapi, dan tidak susah dibaca, maka duktur juga tidak enggan memberikan nilai yang terbaik, akan tetapi jawaban yang benar tetaplah yang utama. Tepat dua jam lamanya ia berada di dalam ruangan ujian, Zuhair keluar dari ruangan. Segala doa telah ia bacakan. Berdoa sebelum menjawab soal dan setelah menjawabnya. Ada yang sudah lama keluar ketika pengawas ujian sudah mengizinkan untuk keluar dari ruangan dan ada yang masih asyik menuliskan jawabannya.
Ada beberapa alasan antara kenapa mereka cepat-cepat keluar dari ruangan ujian dan berlama-lama di dalamnya; mereka yang cepat keluar dari ruangan ujian, karena sudah selesai menuliskan jawabannya dan merasa sudah yakin sekali dengan jawaban yang ia tuliskan, atau malah sebaliknya karena tidak tau lagi apa yang mau dituliskan di kertas jawaban atau bahkan tidak tahu sama sekali. Dan; mereka yang lambat, benar-benar hati-hati menulis jawabannya dan menuliskan semua yang ia ketahui sehingga jawabannya banyak bahkan waktu pun tidak cukup untuknya, atau mungkin ia kembali ke point yang pertama; berlama-lama karena tidak tahu mau jawab apa, tinggal menunggu izin dari pengawas ujian untuk dibolehkan keluar dari ruangan. Yang memorinya menyimpan jawaban yang banyak, ia butuh waktu yang banyak pula, bahkan waktu dua jam akan terasa sedikit. Sedangkan yang hanya punya jawaban sedikit apalagi menuliskan ulang soal ujian di kertas jawaban, maka ia ingin waktu segera berakhir.
Zuhair mengelus dada. “Alhamdulillah ... Allahu Akbar!" teriaknya semangat. Ia sudah bebas dari kejenuhan, kebosanan, keterikatan, dan hafalan yang memanaskan kepalanya.
Saatnya menyerahkan hasilnya kepada Allah. Tawakal adalah jawaban yang baik dan tepat untuk menunggu sebuah proses. Terkadang kita terlalu yakin dengan usaha kita, lupa bahwa semua hal itu ada Allah Swt. yang mengatur, yang Maha Menentukan atas segalanya.
Walaupun kita belajar seperti zombie sekalipun, atau begadang sampai mata kita seperti mata panda, kalau Allah Swt. tidak mengizinkan, tidak akan dapat. Kita berusaha, iya. Tetapi hasilnya cukup serahkan pada-Nya. Letakkanlah keyakinan kita pada Allah Swt. Percayalah! Bila kita meletakkan keyakinan dan harapan pada-Nya, apa pun jua hasil yang diterima kita akan tetap tenang dan gembira, karena Allah tahu yang terbaik untuk kita, dan Allah tak pernah membiarkan hamba yang berdoa kepada-Nya jatuh dalam jurang kecewa.
Zuhair sudah sampai di apartement, ia aktifkan kembali facebook miliknya. Sudah hampir sebulan penuh ia tidak aktif di facebook. Karena kalau aktif di facebook pasti akan sibuk sendiri. Whatsapp yang berani ia aktifkan karena banyak informasi yang akan dikabari dari teman-teman via grup whatsapp. Teman-teman Masisir jarang ada yang kasih kabar via inbox facebook. Aplikasi di handphone miliknya hanya ada dua akun, yaitu facebook dan whatsapp. Karena ia hanya membeli paketan yang lima belas pound, hanya cukup untuk membuka dua aplikasi tersebut. Maklum mahasiswa, irit biaya. Dia baca status terakhir yang ia tulis, "Selamat menempuh ujian teman-teman, semoga ujiannya kita lancar dan mendapatkan hasil yang terbaik. Aamiin ..." Banyak dari teman-teman indonesia dan Masisir yang memberi komentar ataupun like. Akan tetapi yang suka atau memberi like lebih banyak daripada yang berkomentar.
Zuhair tercengang dengan nama orang yang terakhir kali memberi like di statusnya itu.
"Loh, kok ada Sukma yang like statusku?" lirihnya, heran. Sukma adalah temannya yang pernah satu pondok dengannya selama enam tahun. Sukma mengabdi di pondok, sedangkan Zuhair begitu lulus menjadi alumni ia langsung mendaftar mengikuti seleksi ke Timur Tengah, yaitu Universitas Al-Azhar Kairo.
Zuhair pun lulus seleksi hingga akhirnya kuliah di Al-Azhar dan resmi menjadi mahasiswa Al-Azhar. Sukma menjadi ustazah di pondok Pesantren Modern Sibawaih yang berdiri di tengah gunung. Lumayan jauh dari Desa Batu Seding. Pondok yang asri nan damai, banyak bukit-bukit kecil. Dulu ketika masih nyantri, Zuhair dan kawan-kawan sering pergi ke tanjakan bukit, ia pandangi desanya dari bukit tersebut. Desanya terlihat jelas dari ketinggian itu. Kalau di hari Jumat, santri diperbolehkan izin keluar dari kampus, terutama bagi yang ingin pergi ke bukit untuk menghafal Alquran, dan tetap ada ustaz yang mengontrol. Di bukit itu ada tumbuh dua pohon rambutan dan dua gubuk khusus untuk santri.
Setelah salat Asar, banyak santri yang pergi ke sana, hanya lima menit jalan kaki dari lokasi Pesantren Sibawaih. Santriwati tidak diizinkan keluar, kecuali jika pergi ke desa. Itu juga diantar naik angkot milik pesantren. Ongkosnya dua ribu rupiah per orangnya, pulang pergi. Pesantren Sibawaih yang kurikulumnya adalah Tahfidzul Quran dan Ilmu Alat, seperti Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Balaghah dan Adab (Sastra). Sukma mengajar sambil kuliah, setiap hari pulang-pergi dari pesantren ke kampus yang ada di kota.