Menjemput Cinta

Daud Farma
Chapter #3

Bagian tiga

ZUHAIR pergi ke Tahrir, di sana ia menanyakan tiket yang murah. Tiket paling murah seharga tiga juta tiga ratus ribu rupiah, sama seperti yang ada di Hayyu'Asyir. Jika memilih transit, harus menambah dua ratus ribu lagi menjadi tiga juta lima ratus ribu rupiah. Transit pun hanya ada di Bangkok. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya Zuhair setuju. Ia resmi akan balik ke Tanah Air minggu depan.

Sukma telah mengetahui bahwa Zuhair akan pulang pada minggu depan. Sukma tahu dari Ibunya Zuhair. Ingin sekali Sukma mengirim inbox untuk kedua kalinya ke Zuhair lewat whatsapp, namun terhalangi dengan perasaan malu. Sebab inbox yang ia kirim satu minggu yang lalu juga belum dibalas oleh Zuhair. Terpikir olehnya, “Mungkin saja Zuhair sudah punya pilihan, sehingga secuek itu Zuhair terhadap diriku.” Sukma tidak kuasa menahan air matanya. Perlahan air matanya mengalir membasahi pipinya yang bersih, ia terisak-isak, matanya sedikit bengkak, batinnya tersiksa, dirinya gundah gulana dan selalu saja dicampuri rasa malu.

Minggu kedua, Zuhair belanja oleh-oleh ke Pasar Hussain. Membeli pernak-pernik atau hiasan-hiasan yang tidak dijual di Indonesia, kalaupun ada harganya pasti jauh lebih mahal yang di Indonesia. Ia mebeli stiker-stiker yang bertuliskan arab untuk ditempel di Rumah dan Masjid. Ia membeli batu pyramid, mata cincin yang ukuran kecil dan segala macam ragam ukiran ia beli dan juga Papirus yang bertuliskan kaligrafi yang mempunyai cahaya tatkala malam tiba. Zuhair membeli lima puluh lembar. Dua puluh lima lembar yang ukuran besar dan dua puluh lima lainnya ukuran kecil. 

Setelah semua yang ingin ia beli di Passar Hussain tuntas alias tidak ada lagi yang ingin dibeli, kemudian ia pergi ke Pasar Attabah, tempatnya belanja pakaian. Zuhair ditemani seorang adik kelasnya yang masih aktif di Darul Lughah, baru enam bulan di Mesir, Kurniawan dan panggilannya Wawan. Zuhair dan Wawan tidak naik angkot menuju Pasar Attabah, dari Pasar Hussain langsung jalan kaki sambil menarik koper ukuran standar. Zuhair dan Wawan lebih memilih jalan kaki daripada naik angkot, karena kalau malam hari sangatlah ramai dan macet. Bisa jadi tiga puluh menit perjalanan. Padahal lazimnya hanya lima atau tujuh menit saja dari Hussain ke Attabah, sekali lagi kalau tidak macet. 

Zuhair, membeli pakaian dengan harga lima belas pound paling kecil, selebihnya ia pilih diatas tiga puluh dan lima puluh pound. 

Jika dirupiahkan sebesar seratus ribuan. Ia membeli lima pasang kemeja, dua puluh kaus, tiga pasang syal, lima pasang surban, tiga pasang jilbab Turki, empat gamis ibu-ibu ala Mesir, dan satu pasang sepatu pantopel ukuran empat puluh satu. Itu semua barang miliknya dan beberapa titipan dari teman-teman di Indonesia yang ia pisahkan bungkusannya. 

Koper ukuran standar yang menampung isi dua puluh lima kilo gram itu, kini sudah hampir penuh diisi dengan hiasan yang ia beli di Pasar Hussain dan diisi dengan pakaian-pakain yang baru saja ia beli di Pasar Attabah. Segala nama pakaian yang ia tulis di selembar kertas itu, sudah ia contreng satu-persatu, termasuk juga perhiasan. Hanya tinggal beberapa macam lagi yang belum tercontreng di sana, yaitu makanan atau buah-buahan yang sudah dikemas dalam bungkusan plastik. Untuk buah-buahan dan obat-obatan seperti minyak zaitun, habbatussauda' dan lain sebagainya akan ia beli nanti di sekitar Darrosah saja, yang dekat dengan tempat ia tinggal.  

Zuhair sudah kualahan keliling dan bertanya-tanya tentang harga kepada penjual. Syukur penjualnya bukan ibu-ibu atau inang-inang, tetapi bapak-bapak. Kalau saja penjualnya inang-inang, pasti suasana di Mesir ini tidak jauh bedanya dengan pasar senin di Lawe Desky Aceh Tenggara. Tetapi ia tetap mencoba menawar harga per pakaian yang ingin ia beli, meminimalisir pengeluaran. Dia letih dan kakinya pegal karena keliling. 

Dia berjalan mulai dari Pasar Hussain yang pengunjungnya ribuan orang, bulek-bulek atau turis-turis terus saja berdatangan, jalanan sesak oleh pengunjung. Segala macam ragam manusia berbaur di dalamnya. Pasar Hussain tidak pernah sepi dari pengunjung setiap harinya, begitupun pasar Attabah yang juga dikerumuni banyak orang. 

Zuhair melambai-lambaikan tangannya, pertanda agar angkot datang untuknya, untuk ia naikki pulang menuju Darrosah. Dia sudah tidak kuat menggendong koper seberat dua puluh lima kilo gram itu. Kalau ditarik juga susah, lagipula jalan menuju pulang tidak macet, karena lewat Kubri. Semacam angkot kecil pun mendekati Zuhair dan Wawan, atau nama yang sering dipakai orang yang hidup di Mesir ialah Tremco. 

Orang-orang semakin ramai berdatangan, selepas magrib adalah waktu yang tepat untuk belanja. Jikalau siang hari, terik mentari yang cukup panas dan hanya sedikit yang berkunjung. Toko-toko dan pedagang pakaian juga sebagian kecil yang jualan, sebab panas yang tak tertahankan. Baru saja Zuhair dan Wawan masuk ke dalam Tremco dan Tremco itu bergeser sedikit, handphonenya berdering. Ada inbox masuk lewat whatsapp. Dia buka. Nomor baru lagi yang masuk, nomor orang Mesir yang awalnya plus dua puluh (+20), kode negara Mesir. 

"Salam 'alaikum ya akhii, Zuhair...Emil eih? Kuweis? Bukroh tigi ila baitii, abii 'aiz yukallimak. Abii 'aiz yaullak 'ala hagah!. Syukron.. Wassalam... Sarah." Dia tidak percaya bahwa itu adalah nomornya Sarah, anak ta'mir Masjid yang rumahnya berdekatan dengan tempat ia tinggal, hanya dipisahkan gang kecil yang biasanya hanya lewat seekor keledai membawa gerobak yang isinya buah-buahan. Sarah baru berumur sembilan belas tahun, baru masuk kuliah tahun ini. Sarah kuliah kedokteran di salahsatu Provinsi Kairo, Zagaziq. 

Dulu ketika Sarah masih aliyah, Zuhair sering main ke rumahnya, diajak oleh baba-nya. Baba-nya Ta'mir Masjid, yang mengumandangkan azan, imam dan menjaga kebersihan Masjid. Sudah empat tahun Zuhair mengenal baba (Ayah) Sarah, yaitu sejak Zuhair tingkat satu atau tahun pertama di Kuliah. Zuhair sering disuruh imam dan azan di Masjid Mu'adz bin Dawud, yang tidak jauh dari Kampus Al-Azhar, tepatnya di depan Mustasyfa Hussain. 

Tidak jarang Zuhair diajak makan malam selepas magrib ke rumahnya Sarah. Baba-nya Sarah sangat baik, suaranya bagus, tetapi tidak sebagus dan semerdu suaranya Zuhair.  

Sarah yang memiliki paras cantik jelita, bola matanya sedikt besar, alisnya lebat, hidungnya mancung dan berkulit putih bersih dan juga hafal Alquran, sama seperti baba-nya. Sarah bisa merawat dirinya, ia tahu betul bagaimana ia harus bersolek. Sarah tidak memakai cadar, katanya ia tidak akan memakai cadar kecuali sesudah menikah. Zuhair pernah menanyakan hal itu pada baba-nya. Dari parasnya, ia terlihat elok, titisan Cleopatra. Ciri rupa gabungan atau blesteran antara Prancis dan Arab Mesir. 

Zuhair semakin penasaran, tidak pernahnya Sarah mengirim pesan untuknya. Zuhair menebak-nebak, “Pasti Sarah meminta nomorku dari baba-nya. Tetapi, ada perlu apa ya? Kok tiba-tiba?." heranya. Ia pun membalas inbox Sarah,

"Wa'alakumussalam. Alhamdulillah, ana bikhair wallah. Dii, Sarah, shah?! Enti, Mama wa Baba, emil eih? Tamam wala tanam? Insya Allah, ana geiy bukroh bi idznillah. Salimni 'ala Baba wa Mama, maasyi?" balasnya. 

Dia baper-an, ia deg-degan, tangannya basah dengan keringat dinginnya saat mengetik balasan kepada Sarah. Diam-diam Zuhair naksir padanya sejak Sarah masih kelas dua aliyah, demikian juga Sarah yang pernah berkata kepada ayahnya, bahwa ia ingin menikah dengan salah satu Mahasiswa Indonesia di Mesir, Masisir. Zuhair mengerti bahwa yang Sarah maksud adalah dirinya, ia terlihat senang dari sifat bapernya yang tinggi. Dulu ketika masih aliyah, baba-nya tidak menjawab pertanyaan putri satu-satunya itu, lagipula masih kelas dua aliyah. 

"Alhamdulillah. Ihnaa bikhair wallah. Na’am Ahsant, dii Sarah. Maasyi ya akhi Zuhair" balas Sarah kembali. Sarah tidak memasang fotonya di profil whatsapp miliknya, ia hanya memasang karikatur akhwat yang sedang membaca Alquran. Sudah lama Zuhair ingin mengirim pesan kepada Sarah, namun ia tidak tahu nomor Sarah. Mau minta ke Baba juga tidak mugkin. Dia merasa malu jika meminta nomor Sarah kepada baba-nya. Ia pun mengutarakan niatnya. Zuhair pernah mencari nama Sarah di Facebook. Pertama ia tulis dengan tulisan huruf latin, "Sarah Humairah" yang muncul sangat banyak sekali. Ia perhatikan photo profil dan biodata yang tertulis, tidak ada satu pun yang sama seperti Sarah. Kebanyakan foto profilnya adalah gambar ibu-ibu. 

Dia coba ketik ulang memakai huruf Arab سارة حميرةyang muncul ialah halaman untuk disukai. Ada beberapa akun, tetapi tidak ada yang mirip dengan identitasnya. Hingga sekarang akhirnya Sarah sendiri yang langsung mengirim pesan padanya, alangkah gembiranya ia. Tiba-tiba, ia teringat pesan ibunya sebelum berangkat ke Mesir. 

"Zuhair, kamu jangan menikah kecuali dengan gadis pilihan, Mama. Apalagi menikah dengan orang Arab gadis Mesir, Mama tidak mau. Sebab nanti kamu ditahan di sana, kamu tidak tinggal di Indonesia. Mama tidak sanggup lama tidak berjumpa denganmu, Nak. Gadis Arab jarang ada yang mau dibawa ke Indonesia, Nak. Ingat pesan Mama baik-baik!"

Zuhair semakin linglung, pikirannya melayang mengingat nasihat ibunya lima tahun silam. Berkali-kali ia beristighfar. “Kenapa aku tidak mengingat nasihat Ibu saat pertama kali aku melihat, Sarah? Kenapa malah sekarang?” kesalnya pada dirinya yang lupa akan nasihat ibunya. Dia terlanjur mencintai dan menyukai, Sarah. Gadis Mesir yang suka makan ful. Ia tidak ingin batinnya tersiksa memendam rasa cinta pada, Sarah, namun ketika ia ingin mengungkapkannya kepada Sarah, ia teringat nasihat ibu tercinta, yang tidak boleh dilanggar. Zuhair tidak ingin menjadi batu seperti Malin Kundang. Walaupun itu hanya Legenda, tetapi sangat baik untuk nasihat agar anak tidak durhaka pada kedua orangtuanya. 

Zuhair mecintai orang yang lebih ia cintai dari orang yang belum halal baginya, Ibu. Tidak mungkin ia mengkhianati ibunya yang ia sayangi. Tak ayal air mata Zuhair menetes membasahi layar handphone miliknya.

"Ada apa akhi, Zuhair? Ada masalah kah?." tanya Wawan keheranan. 

"Tidak ada apa-apa, Wan, akhi cuma ingin nangis aja. Karena hanya beberapa hari lagi di Mesir ini, setelah itu ntah kapan lagi bisa menginjakkan kaki di bumi ulama ini, Wan. Akhi sangat sedih meninggalkan Mesir, terutama Al-Azhar. Mesir ini sudah seperti negeri akhi sendiri. Akhi ingin lebih lama lagi di sini. Tetapi Ibu menyuruhku tuk segera kembali. Akhi juga tidak tahu kenapa? padahal akhi ingin melanjutkan S2 di sini, Wan." Zuhair menjelaskan. 

Ia tidak menyebutkan nama Sarah sekali pun, ia tidak ingin Wawan tahu bahwa ia mencintai Sarah dan Sarah juga cinta padanya. Yang dikatakannya juga benar, bahwa ibunya memang menyuruh dirinya untuk segera kembali ke Indonesia, kampung halamannya.

Lihat selengkapnya