Menjemput Cinta

Daud Farma
Chapter #4

Bagian Empat

HERANNYA, orang-orang Mesir malah menjadikan itu adalah sebagai hiburan dan orang yang basah kuyup tadi pun malah tertawa, tidak ada tanda marah di wajahnya apalagi dendam, sepertinya mereka tidak pedendam. Tetapi mereka memilikki lawan, yaitu siapa saja yang memusuhinya. Salah satu dari mereka malah berkata kepada temannya yang basah kuyup tadi, "Ya beginilah orang Mesir bro...!" sambil tertawa tebahak-bahak yang tidak bisa lagi ditahan oleh mereka semua. Ada juga yang malah asik selfie-selfie sambil menunggu bus lewat. Tidak takut disambar petir yang begitu mengkilat, padahal hujannya sangatlah lebat, untungnya tidak sempat disambar kilat, karena begitu hendak selfie lalu busnya lewat dan langsung berangkat, ternyata memang tidak ada kilat. 

Sebelumnya pernah gerimis, mengikis debu-debu yang hinggap di pelipis, waktu gerimis juga banyak yang narsis. Hujannya luar biasa, hati hampa terasa sirna, menyirami bumi yang sangat merindukannya, seakan jiwa pun ikut larut merasakannya. 

Ada juga yang menepi ke jendela kamarnya, lalu mengeluarkan handphone genggamnya dan memasang muka senyumnya kemudian mengambil gambar wajahnya bersama hujan yang membasahi gedung rumahnya. Bangunan kelabu itu tampak kecoklatan karena diguyur hujan lebat. Semoga membawa berkat.  

Selepas salat Magrib, Zuhair menemui ustaz Rahmat yang tidak terlalu jauh dari rumahnya, hanya menghabiskan waktu lima menit dengan berjalan kaki. Rumah ustaz Rahmat ada di belakang Masjid Hussain gedung lima belas lantai lima. "Assalamualaikum..." sapa Zuhair kepada ahlul bait setelah menekan bel.

"Wa'alaikum salam ... Tafadhol liddukhuul ya, Akhi." jawab ustaz Rahmat setelah membuka pintu lalu mempersilakan masuk dan duduk. Ustazah Fatimah istrinya ustaz Rahmat, menghidangkan minuman. Kali ini jus ruman yang dihidangkan.

"Silakan, ustaz ..." kata ustazah Fatimah mempersilakan untuk diminum jus buatannya. Ustazah Fatimah sedang menjalani tingkat akhir yang juga di Kampus Al-Azhar di bidang Tafsir. Umur Zuhair lebih tua dua tahun dari umurnya ustazah Fatimah. 

Setelah meneguk setengah gelas jus ruman buatan ustazah Fatimah, ustaz Rahmat memulai pembicaraan. 

"Apa masalah antum akhii, Zuhair? Sehingga antum ingin sekali bertemu dengan saya?." tanya ustaz Rahmat pada Zuhair yang duduk tepat di depan ustaz Rahmat.

"Begini, ustaz, ana sedang ditimpa kegundahan dan kebingungan. Semoga antum bisa mengerti apa yang sedang ana alami." jelasnya, matanya mulai mengkilat dengan air matanya yang hampir menetes. 

"Ya, masalah, Antum apa? Cerita dong agar ada solusinya" timpal ustaz Rahmat kembali.  

"Ada dua orang akhwat yang ana cintai, dan mereka berdua juga cinta pada ana, dan ..." belum sempat ia melanjutkan ceritanya, ustaz Rahmat menyela.

"Wah... Super, Antum, ingin punya dua istri. Kalah dong saya. Hehehe" canda ustaz Rahmat, agar suasana tidak seperti orang yang sedang tertimpa musibah, yang sedihnya mempengaruhi orang yang ada di sekitarnya.

"Dan kenapa?" ustaz Rahmat kembali bertanya, menyambung ucapan Zuhair, agar Zuhair melanjutkan ceritanya.

"Dan orang yang aku cintai ini ada di Mesir dan satunya lagi di Indonesia, aku tahu persis bahwa yang di Mesir ini juga cinta padaku, tadi siang aku baru saja dari rumahnya. Sedangkan yang di Indonesia aku masih ragu, dulu kami sempat saling suka. Akan tetapi sudah lima tahun ini aku tidak tahu kabarnya, mungkin ia sudah punya pilihan." jelasnya. "Orang Mesir? tanya ustaz Rahmat, Zuhair hanya menganggukkan kepala.

"Lalu bagaimana hasilnya? Katanya sudah ke rumahnya tadi siang, iya?"

"Ya, ustadz. Tapi ..."

"Tapi apa??"

"Ibu tidak merestui, Ibu pernah berpesan kepadaku sebelum berangkat ke Mesir untuk tidak menikah kecuali dengan pilihan beliau. Aku bingung apa yang harus aku perbuat, yang jelas aku tidak boleh menikah dengan gadis Mesir" jelasnya kembali.

"Kamu benar mencintai yang di Indonesia?"

"Benar, ustaz"

"Kamu sudah pernah bilang padanya?"

"Belum pernah, ustaz, aku menunggu ia yang mengatakannya terlebih dahulu."

"Antum, salah akhi, Zuhair, antum itu laki-laki, seharusnya laki-laki yang mengungkapkannya terlebih dahulu, bukan perempuannya. Akhwat itu paling pandai menyembunyikan perasaannya. Jangan gantung harapannya, Akhi. Dia pasti menunggu Antum untuk melamarnya. Kalau memang saling mencintai, ya menikahlah atau jangan pernah mencintainya sebelum halal. Agar tidak terjadi pacaran. Syaitan sangat licik untuk menjerumuskan anak muda, maka anak muda itu juga harus cerdik untuk menaklukkan rayuan syaitan yang terkutuk itu. Kalau memang saling mencintai, ya menikahlah, Akhi. Semoga yang di Indonesia itu adalah pilihan Ibu, Antum," Ustaz Rahmat menjelaskan panjang lebar beserta saran yang dianjurkan kepada Zuhair.

Ustaz Rahmat sudah biasa menghadapi curhatan masalah seperti itu dari orang-orang yang datang ke rumah beliau, terutama yang baru Lisensi. 

"Sepertinya dia sudah punya pilihan, Ustaz." katanya kembali menyerah.

"Sudah, Antum tanyakan padanya? Atau pada temannya?"  

"Belum"

"Dia tahu, Antum suka padanya akhi, Zuhair?"

"Tahu, Ustaz"

"Wah, gawat, Akhii." Yang seperti inilah yang menyiksa batin akhwat,” jelas Ustaz Rahmat. 

"Menyiksa bagaimana, Ustaz?" tanya Zuhair penasaran. 

"Antum mau saya beri contoh yang mirip sekali seperti yang antum alami sekarang?" tanya Ustaz Rahmat menawarkan sebuah permisalan. 

"Silakan, ustaz," jawab Zuhair singkat. Sebelum memulai bercerita, ustaz Rahmat sempat meneguk jus ruman yang terhidang manis berwarna merah di atas meja buatan ustazah Fatimah, istri beliau.

"Ada seorang teman, sahabat saya sendiri. 

Mulai dari kelas satu SMP dia dicomblangin ke seorang gadis yang cantik jelita. Keshalihahannya yang membuat lelaki semakin penasaran dan kagum padanya. Namun si akhwat tidak ada seorangpun yang ia cintai kecuali orang yang dicomblangkan kepadanya. Lagipula teman saya itu orangnya pintar, hafal sepuluh juz Alquran dan suaranya yang bagus.  

Teman saya tahu bahwa si akhwat ini suka padanya, namun teman saya acuh tak acuh. Tidak mau tahu betapa besar cinta akhwat itu padanya. Hingga sampai kelas tiga SMA mereka tetap menahan perasaan mereka, tidak pernah terungkap. Si akhwat sangat berharap sekali teman saya ini membuktikan bahwa ia juga cinta padanya, namun hingga sampai duduk di bangku kuliah belum juga terucapkan."  

Lihat selengkapnya