ZUHAIR hanya berperasangka baik, mungkin mereka sudah menjadi pasangan halal. Zuhair mengalihkan pandangannya ke luar jendela sambil mendengarkan Mp3, dulu ketika perjalanan yang sering ia putar adalah lagu-lagu favoritnya dan sekarang juga lagu favoritnya, namun bahasanya terdengar ke arab-araban, ia mendengarkan lagunnya Hamzah Namira yang berjudul "Ehlam Ma'aya"
Bermimpilah bersamaku, seketika ia terlarut seakan berada di Mesir lagi, padahal baru dau hari kemarin ia tinggalkan Mesir. Begitulah lagu, lagu yang dulu atau lagu lama dapat mengingatkan dengan masa lalu. Dulu ketika ikut pramuka ke Medan, lagunya Siti Nurhaliza yang sering diputar, sehingga Zuhair masih hafal betul lagu Siti Nurhaliza yang dulu sering ia dengarkan Mp3-nya. Lagunya Siti Nurhaliza itu masih tergiang dalam ingatannya, yang berjudul “Nirmala.”
Mobil BTN sejenis angkot itu melambat lajunya lalu berhenti di Tiga Binanga, jam menunjukkan pukul empat belas lewat sepuluh menit, tiga jam lebih dari Medan ke Tiga Binanga. Kalau sudah tiba di Tiga Binanga, berarti sudah di pertengahan jalan. Biasanya memang berhenti, penumpang turun dan menuju warung nasi. Supir tampak lelah, ia minum kopi lalu berbaring, kelihatannya ia tak kuasa menahan kantuk. Zuhair tidak ingin makan, ia hanya makan kurma yang telah ia buka saat dari Kuala Lumpur Malaysia ke Kuala Namu Indonesia. Ia tidak ingin makan kecuali masakan ibunya yang ia rasakan tuk pertama kalinya setelah pulang dari Mesir, sudah lama sekali ia tak merasakan masakan lezat seperti yang dimasak oleh ibu tercinta. Masakan yang lain juga lezat namun tak selezat dengan masakan ibu kandung sendiri, lagipula ia belum lapar. Sejak di pesawat ia sudah makan banyak makanan. Ia hanya butuh ke kamar mandi.
Setelah semuanya selesai makan, kini mobil dan juga sejenis angkot BTN itu sudah penuh kembali dengan penumpang yang tadi, tiba-tiba seorang ibu-ibu yang masih muda, mendekati Zuhair. Dari penampilannya, ibu itu baru punya anak dua. Mungkin umurnya juga tidak lebih dari empat puluh tahun. Ibu itu semakin mendekati Zuhair lalu menyapa.
"Ise kin gelakhmu, Nakku, anak dape kin kau?" tanya ibu itu. Zuhair kaget, ternyata di dalam mobil BTN itu ada yang satu daerah dengannya, ia juga kaget ketika Ibu itu menyapanya dengan sukunya, yaitu suku Alas. Mungkin ibu itu tahu saat Zuhair menelepon ke ayahnya bahwa ia telah tiba di Tiga Binanga, Zuhair memakai bahasa Alas. Zuhair orang alas campur jawa, ayahnya orang alas tok atau tulen. Sementara Ibu, jawa tulen. Kalau ngomong sama ayahnya, dia tidak pernah berbahasa Indonesia, tapi kalau sama Ibu dan adiknya Fitri ia selalu berbahasa Indonesia dan terkadang bahasa Jawa.
"Gelakhku, Zuhair, Ame, aku khang jahe. Lebih tepatne anak Batu Seding, Ame. De kandu anak dape kane, Ame?" sahut Zuhair dan balik bertanya. Ibu itu kelihatan rapi, gayanya seperti anak gadis. Jilbabnya lumanyan besar, rupanya cantik, wajahnya belum keriput.
"Tee kin, anak Batu Seding kin, Kau? Edi me ni khanah jahe nde di de ndak salah? Aku anak Pelonas, Nakku" sahut ibu setengah itu. Akhirnya kedua insan yang bersuku Alas itu pun kembali masuk ke dalam mobil, si Ibu minta tukar tempat duduk kepada seorang ibu-ibu yang duduk di samping kanan Zuhair, Ibu itu pun setuju. Sekarang Zuhair dan Ibu Ratna bersampingan, mobil BTN itu pun melanjutkan perjalanan panjangnya yang kemungkinan memakan waktu tiga jam lebih kurangnya untuk tiba di Kuta Cane, dan mereka pun bercerita sepanjang perjalanan. Di akhir cerita, bu Ratna memberikan nomor handphonenya kepada Zuhair dan juga meminta nomor Zuhair. Lalu mereka pun berpisah saat mobil itu berhenti di Simpang Semadam pada pukul delapan belas lewat dua puluh menit. Terkadang memang terasa cepat, apalagi supirnya killer, ia tidak peduli dengan repetan penumpang. Yang penting segera sampai tujuan. Tetapi para supir BTN memang sangat ahli mengatasi jalan yang penuh rintangan itu, mereka tahu bagaimana menarikan mobilnya saat melewati jalan yang melukiskan banyak keluhan. Jalan Medan–Kuta cane yang terkenal dengan jalan seribu lubang.
Siapa saja yang pertama datang ke Kuta Cane dengan mobil BTN, maka begitu sampai di rumah badan akan terasa pegal-pegal ngilu. Bisa jadi itu adalah uji keperibadian seseorang, kalau ia mengeluh dengan jalan seperti itu dan ingin balik lagi ke Medan, berati keinginannya untuk datang ke Kuta Cane tidak kuat, strong desire-nya tidak original. Tetapi kenyataannya memang begitu tatkala tiba di jalan yang membuat mobil berjoget itu, pasti Strong Desire para penumpang akan langsung memudar. Yang berlubang itu bukan di Aceh Tenggaranya, tetapi jalan menujunya yang penuh cobaan. Dan begitu tiba di gerbang perbatasan Medan-Kuta Cane, yaitu Lawe Pakam, jalan terasa mulus dan nyaman. Semoga ada yang memerhatikan jalan misterius itu.
Zuhair pun turun, lalu supir BTN mengeluarkan dua koper miliknya. Bu Ratna tampak bahagia setelah mendengar cerita dari Zuhair. Si Ibu juga membagi ceritanya dan juga cerita anak putrinya. Zuhair membagi cerita singkatnya selama lima tahun di Mesir, sebenarnya ia tidak ingin menceritakan itu kecuali sesudah ia ceritakan kepada ibunya tercinta.
Namun karena bu Ratna itu sangat meminta agar Zuhair bercerita, akhirinya ia pun menceritakannya, namun tidak sempat habis karena sudah sampai dan ia harus turun. Supir sedang menurunkan koper miliknya, Zuhair memandang ke dalam mobil. Di sana tampak dua insan yang tadinya ia dengar berbahasa indonesia berlogat batak dan karo, dan wajahnya kelihatan seperti wajah orang karo pada umunya, manis dan bertingkah di dalam mobil, mereka belum turun, "Berarti, mereka bukan orang karo, karena sudah sampai di Simpang Semadam kok mereka belum turun? Mungkin gabungan Alas dan Karo?" lirihnya pelan. Sekarang memang sudah banyak pernikahan antar suku, tidak memandang suku maupun adat. Terkadang hal itu yang merubah rupawan yang menawan, cantik jelita dan indah walaupun terkadang malah terjadi sebaliknya. Sempat Zuhair mendengar si gadis di dalam mobil BTN itu menelepon dengan menggunakan bahasa Alas, "Atau si gadisnya orang alas dan lakinya orang Karo?" hatinya bertanya-tanya. Ah, kenapa juga sibuk mengurusi orang? Toh urusannya juga banyak. Namun karena tingkah mereka di dalam mobil itulah yang tidak menerima di hatinya, membelai mesra di depan umum? Jika sudah halal, kenapa tidak bersabar menunggu sampai di rumah? Kalau belum halal, berarti inilah yang dicap, bahwa "Budaya barat membasmi remaja serambi!.”
Setelah koper itu diturunkan, Zuhair pun kembali menarik kopernya menuju ke tukang ojek. Karena desanya terhitung masih jauh di bawah sana, penurunan. Kira-kira memakan waktu dua puluh menit dari simpang semadam ke Batu Seding.
"Desa Batu Seding, ya, Pak?!."
"Oke, siap, Nak!"
"Tau kan, Pak?!"
"Ah, masa enggak tahu orang pribumi?"