Menjemput Cinta

Daud Farma
Chapter #7

Bagian tujuh

DULU sebelum tingkat akhir dan sebelum pindah ke Darrosah, yakni masih tingkat tiga ketika ia bekerja di sebuah warung makan di Hayyu 'Asyir, tepatnya di Gamik, Zuhair mengantarkan pesanan katering kepada pelanggannya, pemesan adalah akhwat yang satu kekeluargaan degannya. Musim dingin belum berakhir, ujian termin satu baru saja selesai seminggu sebelumnya. Zuhair keluar dengan mengenakan jaket warna merah dan mengeluarkan sepeda kemudian membawa tiga bungkus nasi beserta lauknya dengan mengendarai sepeda milik warung nasi. Zuhair lewat belakang Suq Sayarat menuju Bawabah Tiga, suasana gelap dan hening. Jam sudah menunjukkan pukul satu dua puluh menit. Tiba-tiba sebatang besi berukuran sebesar pergelangan tangan dilemparkan ke arahnya dan tepat mengenai ban sepeda bagian depan, seketika Zuhair terpelanting tiga meter, sebab ia memang lumanyan kencang membawa sepedanya. Belum sempat ia bangkit, tiga orang berkulit hitam datang mendekatinya lalu satu orang menendang punggungnya, dua orang lainnya memegang kuat tubuhnya. Mereka semua berbadan besar dan lebih tinggi dibandingkan Zuhair. Satu orang menghajarnya, mukanya ditonjok berkali-kali, perutnya dipukul memakai besi, begitupun punggunya. Nyaris Zuhair tak berdaya, minta tolong juga tidak ada yang mendengar. Orang-orang sudah tidak ada lagi yang di luar rumah. Zuhair diletakkan di atas aspal yang berpasir dan sepedanya diambil. Zuhair tidak membawa handphone, kalau ia membawa handphone pasti juga diambil. Satu jam ia tergeletak, kemudian ia bangkit berdiri dan berjalan pulang menuju rumah makan, teman-teman juga bertanya-tanya tentang dirinya yang belum juga kembali. Jam sudah menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit. Teman-teman rumah berkali-kali menelepon dan teleponnya berderig, terdengar nyaring di dalam kamarnya. Perasaan teman-teman tidak enak, sehingga dua orang temannya pergi menyusul mencari Zuhair, sementara Zuhair hampir sampai. Hanya dua puluh langkah lagi, ia memaksakan dirinya untuk berjalan menuju pulang. Tak jauh melangkah dari rumah makan, Irawan dan Afrizal melihat Zuhair sedang berjalan sambil membungkukkan punggungnya. Mereka berlari dan tanpa-tanya tanya mereka langsung menggendong Zuhair ke rumah dan dipanggil taksi untuk dibawa ke rumah sakit. Mereka tahu tanpa harus bertanya lagi, sudah pasti itu adalah kecelakaan, kecelakaan habis dikeroyok orang. Tiga jahitan di kepalanya, gara-gara terpelanting tiga meter jatuh dari sepedanya dengan kepala terbentur ke aspal. Sejak itu Zuhair berhenti bekerja di rumah makan dan pindah ke Darrosah.  

Zuhair menunjukkan bekas jahitan di kepalanya itu ke semua yang sedang mendengarkan ceritanya. Mata ayahnya tampak mengkilat, begitupun paman Supardi, apalagi ibunya yang tidak bisa menahan air mata, pun bibi Jeroh dan Fitri adiknya tidak kuasa menahan air mata jernih dan menetes membasahi pipi mereka. Zuhair sengaja tidak menceritakan hal itu kepada siapa pun saudaranya di Indonesia, apalagi Ibu. Ia tidak ingin ibunya menjadi sedih, ia tidak ingin ibunya menangis. Lebih baik ia menahan sedih itu dengan sendirinya daripada berbagi kepada orang yang disayangi dan menyanyanginya. Ia hanya minta doa kalau ia lagi sakit, kalaupun ditanya, ia akan bilang sakit ringan. Tiba-tiba Zuhair ingin menghibur dengan cerita terakhirnya, yaitu dia berhasil menolak lamaran gadis Mesir dan menuruti nasihat ibunya yang melarang menikah kecuali dengan gadis pilihan ibunya.

"Oh ya, Ma. Dulu waktu aku tingkat dua, mama nyuruh aku menikah dan aku tidak mau karena belum mampu membina rumah tangga. Padahal waktu itu aku memang ingin menikah dengan gadis Mesir, tetapi karena mama tidak mengizinkan, ya tidak jadi. Dan sekarang aku sudah ada di rumah dan sudah lulus kuliah, aku ingin tawaran tiga tahun yang lalu mama tawarkan lagi secepatnya." kata Zuhair sambil sedikit tertawa mengatakan itu, ia ingin mengubah suasana. Ayahnya diam, paman Supardi diam, Fitri diam dan bibi Jeroh juga diam, apalagi ibunya, nyaris tak bisa menahan air mata dan diam mebisu. Yang terdengar hanyalah saura tangis isak ibunya. 

Air mata ibunya semakin cepat mengalir dari sebelumnya. Paman Supardi dan bibi Jeroh yang tidak tahu masalah keluarga mencoba tersenyum dan ikut tertawa kecil. Zuhair bingung melihat suasana itu, seakan ia sedang berada di atas panggung stand up comedy, yang mampu membuat orang sedih menjadi tersenyum bahagia bahkan sampai tertawa seperti paman Supardi dan bibi Jeroh. Namun orang yang paling ia cintai dan yang ia sayangi malah tidak ikut tersenyum. Pertanyaan bertubi-tubi menghampirinya. Ada apa? Kenapa Ibu tidak menjawab pintanya? Kenapa Ayah dan Fitri adiknya membisu seribu bahasa? Tiba-tiba malam gelap gempita, rembulan tak hadir, bintang pun enggan bersinar malam ini. Zuhair merenungi itu di dalam kamarnya yang telah ia matikan lampunya.

 Pagi ini semakin cerah, mentari sudah mulai menyihir bumi. Pagi ini terasa hangat dengan sinar sang surya. Para petani sudah mulai keluar dari rumahnya dengan seragamnya yang ditempeli dengan lumpur yang telah mengering. 

Beberapa rombongan ibu-ibu berjalan sambil bercakap-cakap diiringi dengan sorak suara anak itik yang mungil-mungil di depan rumah tetangga. Seorang ibu bertanya kepada rombongan itu ke mana tujuan mereka, dan ibu yang sedang mengunyah sirih, yaitu ibu salah satu dari para rombongan menjawab, "Pelengakhi!" dengan sedikit meninggikan suaranya. 

Ibunya Zuhair ingin ikut dengan rombongan ibu-ibu itu, namun dikarenakan Zuhair sudah balik dari Mesir dan baru dua minggu di rumah, ibunya mengurungkan niatnya untuk sementara. Lagi pula ibunya tidak punya utang pelengakhi atau utang tenaga kerja.

 Sudah dua minggu di rumah, minggu pertama ia telah mengunjungi Pesantren Sibawah, menjenguk beberapa guru yang terdekat. Buya Muhammad Abdan, selaku pimpinan Pesantren Sibawaih sangat senang melihat Zuhair telah kembali ke tanah air dan datang ke Pesantren. Ribuan terima kasihnya kepada guru-gurunya, terutama buya Muhammad Abdan. Buya meminta Zuhair untuk mengajar di Pesantren, lagipula dulu ia belum sempat mengabdi dan langsung kuliah ke Kairo. Zuhair senang atas tawaran itu, kalaupun tidak disuruh, maka ia sendiri yang akan meminta. Sebab ia ingin sekali meningkatkan kualitas ilmu bahasa arab Pesantren, sesuai dengan jurusannya yang memang mengambil kuliah Bahasa Arab. Tetapi Zuhair meminta ia akan mengajar seminggu tiga kali saja, karena sudah dari jauh hari ia dicanangkan untuk mengajar di kampus Universitas Bekhu Dihe (UBD) yang lumanyan jauh dari desanya, dua puluh menit naik motor. Orang yang mencanangkan dirinya ialah pamanya sendiri, yaitu paman Supardi yang juga salah satu dosen di Universitas Bekhu Dihe.  

Hari ini Zuhair mulai mengajar, sebenarnya ia tidak ingin mengajar di kampus, namun karena pamannya sendiri yang meminta, sehingga ia pun tidak bisa menolak dan harus memenuhinya. Ada beberapa alasan kenapa ia tidak ingin mengajar di kampus kuliah. Pertama karena ia ingin mengajar di Pesantren saja terlebih dahulu dan yang kedua karena ia belum menikah. Ia tidak ingin pandangannya tergelincir di saat mengajar. Beda kalau sudah menikah, mau bagaimana pun InsyaAllah akan selamat dari fitnah dan gunjingan orang dan bisikkan syaitan yang terus membisikki di dalam dada manusia. Pamannya malah mengatakan, semoga ada yang cocok untuknya dari salah satu mahasiswi di kampus. Paman Supardi berkata demikian karena paman Supardi tahu bahwa Sukma calonnya Zuhair sudah tiada, paman Supardi tahu setelah selesai makan malam saat pertama kali Zuhair tiba di rumah, diceritakan oleh Fitri adiknya. Ingin rasanya Zuhair langsung menjawab dari kalimat yang dikatakan pamannya itu, yaitu kalimat yang membuatnya tercengang "Semoga ada yang cocok untukmu dari salah satu mahasiswi di kampus."

Zuhair ingin sekali menjawab, “Semoga tidak ada yang cocok!.” Karena ia sudah punya orang yang ingin ia nikahi dan ia tahu persis bahwa orang itu juga mencintai dirinya, yaitu Sukma. Namun sampai sekarang kabar Sukma belum pernah terdengar, ia juga belum menanyakan tentang Sukma kepada ibunya, sebab ia terhitung masih baru di rumah. Alasan lainnya kenapa Zuhair berharap tidak ada yang cocok? yaitu melihat betapa bebasnya pergaulan sekarang ini, dengan masuknya budaya barat semua terlihat berubah total dari sebelumnya. Kenapa tidak? Orang sekarang hampir semuanya memiliki pacar, dan cara mereka yang pacaran persis seperti suami istri yang sudah halal. Jangankan berduaan di pantai, sekarang berduaan di sekitar rumah juga sudah berani dan sudah jadi hal yang biasa. Pergaulan dunia modern benar-benar merusak anak muda, tidak lain serambi mekkah ini. Cara mereka pacaran itu yang tidak disukai Zuhair. Dulu saat ia masih di Kairo, ia mendengar langsung penjelasan dari salah satu temannya di Indonesia. Temannya begitu heboh dan bersemangat menceritakan bahwa ia telah berani menyentuh pacarnya, mereka melakukan seperti yang dilakukan oleh mereka yang sudah menikah. Dengan alasan karena tidak dikatakan pacar kalau belum menyentuh pacarnya. Na'udubillah! Ingin sekali Zuhair mematikan teleponnya waktu itu, tapi karena sahabat dekat, ia memcoba bertahan dari cerita tersebut. Begitulah yang sedang terjadi di Indonesia, tidak terkecuali di desa-desa terpencil sekalipun. Karena handphone begitu murah dijual dan tidak sesulit dulu untuk membeli sebuah handphone. Handphonelah awal mula merusak generasi muda dan bahkan ke generasi sepuluh tahun ke depan. Awalnya minta nomor, teleponan, ketemuan dan terjadilah maksiat yang tak pernah dirindukan. Bagaimana boleh dikata, anak muda sekarang lebih pintar dari kedua orangtuanya, namun anak lebih minim imannya. Pintar yang tidak di dasari iman, amat sangat mencelakakan diri remaja itu sendiri, orangtuanya, saudaranya dan bahkan bangsa.  

Remaja adalah gambaran masa depan dari suatu bangsa, dari satu umat. Bagaimana nasib dan warna Indonesia dua puluh tiga puluh tahun mendatang, maka pemuda sekarang jawabannya. Kalau remaja sekarang kerjanya hanya pintar menyekik botol, maka bangsa Indonesia mendatang akan menjadi bangsa teler. Kalau remaja sekarang kerjanya hanya bisa pacaran dan berani mojok di depan rumah, maka sepuluh dua puluh tahun mendatang, bangsa ini akan menjadi bangsa cinta yang tak beraturan dan mojok di dalam rumah, tidak peduli dengan kedua orangtuanya. Na’udzubillah!.

Orangtua lupa menanamkan keimanan kepada anaknya sejak dini, mereka hanya berpikir bagaimana anaknya agar segera sukses mendapatkan gelar dan pekerjaan, demi meraih martabat yang tinggi dipandang oleh tetangga lainnya, namun teramat rendah di sisi Allah. Kita masih bersyukur sekarang sudah banyak Pesantren dan bahkan ada di desa-desa kecil. Syukur masih ada orangtua yang mau memasukkan anaknya ke Pesantren, semoga mereka-mereka itu akan terus teguh keimanannya dan bertambah ilmunya, untuk menolong agama Allah, untuk umat dan bangsa. Bukan berarti yang tidak masuk Pesantren adalah sama merata dengan mereka-mereka yang tidak bisa menjaga dirinya, namun semua itu kembali pada individu masing-masing. Kembali kepada kedua orangtua bagaimana ia mendidik anaknya. Dari mana pun asal-muasalnya, Pesantren atau tidak , kalau orangtuanya membimbing keimanan dan ketakwaan anaknya sejak dini, niscaya tidak jauh bedanya dengan yang belajar agama di sebuah Pesantren yang mengajarkan keagamaan. Bahkan terkadang terjadi semacam musibah yang menimpa, malah alumni Pesantren sendiri yang tidak bisa menjaga kehormatannya, almamaternya. Mungkin ia lupa bahwa, “Alumni yang baik adalah yang mampu menjaga nama baik almamaternya.” Masuk ke sebuah lingkungan yang baik tidak selalu menjamin kebaikan pada seorang anak, tapi lingkungan orang-orang baik sangat berpengaruh mengubah orang yang jahat menjadi baik, begitu pun sebaliknya. Lagi-lagi, kembali pada invidu masing-masing.

 Zuhair memakai kemeja merah, dasi merah, celana hitam dan peci hitam yang bermeret Latansa. Persis seperti dulu ia peraktek mengajar di Pesantren Sibawaih. Zuhair membawa sebuah buku Nahwu, yaitu Matanul Ajurumiah yang ditulis oleh seorang ulama, Muhammad Bin Shalih Al-usaimin, juga sebuah mushaf kecil beserta persiapan yang sudah matang. 

Dia sempat membuat ‘idad atau persiapan untuk mata kuliah yang akan ia ajarkan. Karena ‘idad adalah salah satu syarat guru mengajar. Kalau tidak ada persiapan, maka besar kemungkinan sampai di kelas guru hanya bisa bercerita. Persis seperti seorang ibu yang sedang mendongeng untuk anaknya sebelum tidur. 

Lihat selengkapnya