Namaku Anjani, usiaku 7 tahun. Ibuku seorang pemulung barang bekas. Namun,aku memiliki cita- cita. Cita- citaku setinggi pelangi.
Saat hujan turun, aku sangat senang. Biasanya aku akan bermain di bawah curahannya sambil merentangkan kedua tanganku. Lalu aku akan berteriak, "Tuhaaaan......Tuhaaan.......tolong hadirkan pelangi!!"
Ya, pelangi. Salah satu alasanku mencintai hujan adalah Pelangi. Warna warni pelangi itu indah, memberikan banyak pengharapan.
Kata almarhum ayah, Pelangi adalah jembatan Tuhan. Jembatan yang menghubungkan antara Surga dan Dunia ini. Kata ayah, saat pelangi hadir ada 7 bidadari yang turun ke bumi. Bidadari-bidadari itu membawa selendang yang berwarna-warni.
Satu bidadari untuk 1 warna pelangi. Bidadari-bidadari itu akan menyebar di bumi lalu mengumpulkan permohonan dari manusia untuk dibawa kepada Tuhan. Tentu saja, permohonan yang dibawa oleh para bidadari-bidadari itu akan lebih cepat sampai bukan?!
Tapi, sampai hari ini aku masih bertanya-tanya. Apakah perkataan ayah itu hanyalah dongeng belaka yang di buat ayah sebagai penghantar tidur, ataukah memang kisah yang nyata.
Karena, aku masih ingat, saat ayah dulu berjuang mengatasi rasa sakitnya, aku memohon pada Tuhan di tengah derasnya hujan, untuk menyembuhkan ayah dari segala rasa sakit yang di deritanya. Tapi, Tuhan malah mengambil ayah dariku.
Apakah karena aku memohon pada saat hujan? Bukan pada saat pelangi hadir sehingga Tuhan salah mendengar doaku ? Karena doaku di telan suara derasnya hujan dan petir yang menggelegar? Aku tidak tahu.
Hanya saja, Ibu ku berkata, bahwa aku tidak salah. Tuhan mendengar doaku . Bukankah aku meminta supaya ayah tidak sakit lagi? Ya, ayah sudah di rumah Tuhan. Dan kata ibu disana tidak ada yang namanya sakit. Tidak ada yang namanya kesedihan.
Saat itu aku ingat, untuk pertama kali, Ibu yang membacakan dongeng untukku. Setelah sore harinya ayahku di makamkan di sebuah pemakaman umum.
Usiaku baru 5 tahun saat itu. Saat ayah menutup mata dan pergi untuk selama- lamanya. Aku hanya tau, bahwa ayah tertidur dan tidak akan pernah terbangun lagi untuk selamanya.
Karena jiwa nya sudah terpisah dari raganya. Namun, kata ibu jiwa ayah tidak pernah benar-benar berpisah dari kami. Dia, ayah selalu menjaga kami dari rumah Tuhan.