Matahari terbit. Langit cerah dan udara segar menyambut pagi di kota kecil tempat tinggal seorang pelajar SMP kelas 9 bernama Pertiwi atau yang lebih akrab disapa Tiwi. Dengan ransel yang digendong di pundaknya dan senyum yang cerah di wajahnya, Tiwi bersiap-siap untuk memulai hari yang baru di sekolahnya. Sejak kecil, Tiwi sudah terbiasa untuk mandiri karena dia hanya tinggal berdua bersama ayahnya, sejak ibunya meninggal saat melahirkannya ke dunia ini. Pekerjaan ayah Tiwi mewajibkannya untuk berangkat sebelum fajar menyingsing dan pulang setelah malam menjelang. Namun bagi Tiwi, dia tahu betul bahwa selain untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, itu juga adalah cara ayahnya mengalihkan perhatiannya dari rasa rindunya terhadap ibunya.
Tiwi, yang meskipun tidak pernah mengenal seperti apa ibunya, sangat mengetahui betapa besar rasa sayang kedua orang tuanya terhadap keluarga kecilnya. Untuk itulah, Tiwi selalu berjanji kepada dirinya untuk menjadi anak yang tidak merepotkan serta senantiasa bisa membanggakan orang tuanya.
Tiwi adalah siswi yang rajin dan berprestasi, dan dia sangat menikmati setiap kesempatan untuk belajar dan berkembang. Dia sering kali menjadi pusat perhatian di kelas karena kecerdasan dan keberaniannya dalam mengemukakan pendapat. Namun, meskipun prestasinya gemilang, Tiwi tetap rendah hati dan ramah terhadap teman-temannya.
Tiwi selalu berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Aturan zonasi yang diterapkan pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu menguntungkan murid-murid seperti Tiwi karena dapat menghemat ongkos transportasi ke sekolah.
Tiwi selalu berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Aturan zonasi yang diterapkan pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu menguntungkan murid-murid seperti Tiwi karena dapat menghemat ongkos transportasi ke sekolah. Di tengah perjalanan, Tiwi bertemu dengan tiga temannya, Rani, Dita, dan Fara, yang juga berjalan menuju sekolah.
"Hey, Tiwi! Pagii!" sapa Rani sembari melambai-lambaikan tangannya.
Tiwi tersenyum dan bergabung dengan mereka. "Hai, Rani! Hai, Dita! Hai, Fara!”
Rani, dengan senyumnya yang cerah, adalah sosok yang selalu membawa semangat positif ke dalam kehidupan Tiwi. Ia lahir dan besar dalam lingkungan keluarga yang hangat, di mana kasih sayang dan dukungan selalu menjadi pendorong utama bagi impian dan aspirasinya. Meskipun tidak selalu menjadi yang teratas dalam hal prestasi akademis, Rani memiliki kecerdasan yang cukup untuk tetap bersaing di sekolah. Namun, lebih dari itu, ia dikenal sebagai teman yang setia dan selalu siap membantu Tiwi dalam setiap situasi.
Sementara itu, Dita, dari keluarga sederhana di sekitar lingkungan mereka, tumbuh dengan tekad yang kuat dan semangat yang membara. Meskipun tanpa kemewahan materi, keluarganya kaya akan nilai-nilai moral dan ketekunan. Dita adalah sosok yang gigih, selalu berjuang keras untuk meraih kesuksesan di sekolah. Terlepas dari seringnya bersaing secara sehat dengan Tiwi untuk memperebutkan peringkat pertama di kelas, Dita tidak pernah menyerah. Ia terus berusaha untuk menjadi yang terbaik, meski kemenangan tidak selalu berpihak kepadanya.
Di sisi lain, Fara, dengan latar belakang keluarga yang sangat terbuka dan liberal, selalu menjadi sumber inspirasi bagi Tiwi. Dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja sebagai pekerja sosial dan seorang ayah yang merupakan seorang guru, Fara diberikan kebebasan untuk mengejar minat dan bakatnya sendiri. Kreatif dan berjiwa bebas, Fara sering membawa warna ceria ke dalam kelompok teman-temannya. Meskipun tidak terlalu memperhatikan pencapaian akademis, Fara selalu menunjukkan minat pada seni dan musik. Ia adalah sosok yang menginspirasi, selalu membantu Tiwi untuk melihat sisi terang dalam setiap situasi.
"Mau kemana kamu, Tiwi?" tanya Dita sambil menyisipkan sedikit lelucon di antara percakapan mereka.
"Ke sekolah, Dita. Kamu pikir aku akan kemana lagi?" balas Tiwi sambil tersenyum.
"Siapa tahu, mungkin kamu akan kabur dari ujian hari ini!" seru Fara sambil tertawa.
Tiwi dan teman-temannya tertawa bersama. Obrolan ringan mereka membuat perjalanan ke sekolah terasa lebih menyenangkan. Mereka bercerita tentang apa yang mereka lakukan selama akhir pekan dan apa yang mereka rencanakan untuk hari ini.
"Kamu sudah siap untuk ujian hari ini, Tiwi?" tanya Rani, menarik topik ke hal yang lebih serius.
"Belum benar-benar, tapi aku sudah berusaha belajar semaksimal mungkin," jawab Tiwi sambil mengangguk. "Bagaimana dengan kalian?”
Ketiganya berbagi cerita tentang persiapan mereka untuk ujian hari itu sambil terus berjalan menuju sekolah. Meskipun mungkin ada tekanan dari tugas dan ujian, kehadiran teman-teman membuat Tiwi merasa lebih baik. Dengan ceria, mereka melanjutkan perjalanan menuju sekolah sambil terus mengobrol dan tertawa bersama.
Saat Tiwi tiba di sekolah, dia disambut oleh sorot mata hangat dari teman-teman sekelasnya. Mereka memberinya sapaan hangat dan senyuman, menunjukkan betapa Tiwi dicintai dan dihormati oleh semua orang di lingkungan sekolahnya.