Suatu hari, ketika Tiwi membuka ponselnya, dia menemukan sesuatu yang agak aneh. Sebuah notifikasi muncul di layar, memberitahunya bahwa ada sebuah akun media sosial yang baru saja mengikuti dia. Namun, yang membuatnya bingung adalah bahwa akun tersebut memiliki nama yang tidak dikenal baginya, tanpa foto profil, dan tidak ada postingan sama sekali.
Pada awalnya, Tiwi menganggapnya sebagai kebetulan atau mungkin akun palsu yang dibuat secara sembarangan. Namun, ketika beberapa temannya mulai melaporkan hal yang sama, keheranan Tiwi pun meningkat.
Di lorong sekolah, ketika sedang istirahat, Rani, Fara, dan Dita juga mengalami hal yang sama. Mereka berkumpul di meja piknik mereka, membicarakan tentang akun sosial media misterius yang mengikuti mereka. "Apa kalian juga mendapatkan notifikasi aneh seperti itu tadi?" tanya Tiwi kepada mereka.
"Sama," jawab Rani, "Aku pikir itu hanya akun palsu yang dibuat untuk iseng.”
"Faktanya, aku juga mendapatinya," tambah Fara, "Tapi sepertinya semakin banyak orang yang mengalami hal yang sama. Aneh, ya?”
Dita mengangguk setuju, "Aku mencoba untuk mencari tahu siapa pemilik akun itu, tapi tidak ada informasi yang bisa kudapatkan. Semuanya kosong.”
Mereka bertukar pandangan, merasa semakin bingung dan khawatir. Apakah ada yang mencoba mengintai mereka? Ataukah ini hanya kebetulan belaka? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergulir di benak mereka tanpa jawaban yang pasti.
Keesokan harinya, suasana di sekolah menjadi tegang ketika sebuah postingan muncul dari akun media sosial misterius. Tiwi merasa jantungnya berdebar kencang saat dia membuka ponselnya dan melihat gambar yang mengejutkan itu. Postingan tersebut berisi sebuah gambar yang dihiasi dengan kata-kata ujaran kebencian yang ditujukan padanya. Apa yang membuatnya semakin terkejut adalah bahwa akun itu men-tag seluruh teman satu sekolah Tiwi.
Tiwi merasa marah dan frustrasi. Dia merasa seperti semua mata di sekolah tertuju padanya, menilainya karena isi postingan itu. Dia merasa terhina dan tidak tahu harus berbuat apa. Teman-temannya terlihat terkejut dan bingung, beberapa di antaranya mencoba menenangkan Tiwi, sementara yang lain hanya diam, tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan.
"Siapa yang berani melakukan ini?" desis Tiwi dengan suara gemetar.
Rani menatap Tiwi dengan simpati, "Jangan dengarkan omong kosong itu, Tiwi. Kita semua tahu bahwa itu tidak benar.”
Fara mengangguk setuju, "Ya, mari kita cari tahu siapa yang ada di balik akun itu. Mereka tidak bisa terus melakukan ini tanpa konsekuensi.”
Dita menyentuh lengan Tiwi dengan lembut, "Jangan biarkan mereka mendapatkan yang mereka inginkan, Tiwi. Kita akan hadapi ini bersama-sama.”
Tiwi merasa sedikit lega melihat dukungan dari teman-temannya, meskipun dia masih merasa marah dan terluka oleh apa yang terjadi. Mereka bersama-sama bersiap untuk menghadapi konsekuensi dari postingan itu, dan bersama-sama mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas tindakan keji itu.
Minggu demi minggu berlalu, namun postingan-postingan yang mengandung ujaran kebencian terhadap Tiwi terus bermunculan di media sosial. Setiap kali Tiwi membuka ponselnya, dia disambut oleh serangan kata-kata yang penuh kebencian dan fitnah. Tidak hanya itu, postingan-postingan itu mulai menyebar ke luar lingkungan sekolah.
Tiwi merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tidak berujung. Dia merasa seperti tidak ada tempat yang aman lagi, bahkan di dunia maya. Teman-temannya mencoba untuk membantunya, menghapus atau melaporkan setiap postingan yang mereka temui, tetapi muncul lagi dan lagi, seperti tidak ada akhirnya.
Kehidupan Tiwi mulai terganggu oleh semua ini. Dia mulai merasa takut untuk pergi ke sekolah, takut akan reaksi dan pandangan orang-orang terhadapnya. Bahkan ketika dia berada di rumah, dia merasa tidak aman, terus-menerus memeriksa ponselnya untuk melihat apakah ada postingan baru yang muncul.
Tiwi merasa putus asa. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Rasanya seperti dia terjebak dalam badai yang tak kunjung reda. Dia hanya ingin semuanya berhenti, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Tidak ada yang dapat dia lakukan kecuali menanggung beban itu sendirian, dengan harapan bahwa suatu hari nanti semua ini akan berakhir.
Ironisnya, semua ini dialami Tiwi saat dirinya mencapai puncak prestasi di sekolah. Tiwi merasa ada seseorang yang diam-diam mengamatinya dengan penuh iri dan ketidaksetujuan. Seseorang yang misterius dan tidak dikenal oleh Tiwi, namun kehadirannya begitu meresahkan.
Saat Tiwi berjalan di koridor sekolah, dia merasa seperti ada mata yang selalu mengawasinya dari kegelapan. Dia sering merasa ada bayangan yang mengikuti setiap langkahnya, meskipun dia tidak bisa mengidentifikasi siapa orang itu.
Tiwi mencoba untuk mengabaikan perasaannya yang tidak enak itu, menganggapnya sebagai imajinasi belaka. Namun, semakin lama, perasaan itu semakin kuat, hingga dia merasa seolah-olah ada yang mencoba menghalangi kesuksesannya.
Tiwi mencoba untuk mengabaikan rasa cemasnya dan tetap fokus pada tujuan-tujuannya, tetapi kehadiran orang misterius itu terus mengganggu pikirannya. Dia bertanya-tanya siapa sebenarnya orang itu dan mengapa dia merasa begitu terancam oleh keberhasilan Tiwi.
Saat Tiwi mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang siapa orang misterius itu, dia menemukan bahwa teman-teman dekatnya pun juga mulai merasa terganggu dengan kehadirannya. Mereka merasa seperti dilihat dari jauh dan diintimidasi oleh keberadaannya yang misterius.
Meskipun Tiwi tidak tahu apa motif sebenarnya dari orang misterius tersebut, dia merasa bahwa dia harus waspada. Dia tidak akan membiarkan ketakutan dan intimidasi menghalangi jalannya menuju kesuksesan. Tiwi bertekad untuk tetap teguh dan tidak terpengaruh oleh orang misterius yang mencoba mengganggu kehidupannya di sekolah.
Dengan tekad yang kuat dan dukungan dari teman-temannya, Tiwi siap menghadapi siapapun yang berusaha menghalangi jalannya. Dia yakin bahwa dengan keberanian dan ketekunan, dia dapat mengatasi segala rintangan yang mungkin menghalangi pencapaiannya.
Sosok misterius yang tidak suka dengan Tiwi dan pencapaiannya mulai meningkatkan gangguannya. Awalnya, Tiwi hanya merasakan kehadiran gelap yang mengintimidasi di sekitarnya. Namun, seiring berjalannya waktu, gangguan tersebut tidak hanya dirasakannya melalui sekedar postingan di sosial media, namun semakin terasa nyata.
Tiwi mulai menerima pesan-pesan anonim yang berisi ancaman dan ejekan. Pesan-pesan itu sering kali ditemukannya di dalam loker sekolahnya atau di meja kelasnya. Kata-kata yang tajam dan penuh kebencian membuat hati Tiwi terasa teriris.
Selain itu, Tiwi juga sering menemukan barang-barang miliknya yang rusak atau hilang tanpa jejak. Buku-buku catatan yang penting untuk pelajaran, perlengkapan sekolah, bahkan pakaian olahraganya, semuanya menjadi sasaran dari serangan misterius ini.
Pada suatu hari, Tiwi bahkan menemukan dinding lorong sekolah yang dicoret-coret dengan kata-kata penghinaan dan ancaman terhadapnya. Coretan itu seperti pukulan telak yang membuat Tiwi merasa semakin terjatuh dalam jurang ketidakpastian dan ketakutan.
Meskipun Tiwi merasa terhempas oleh serangan-serangan tersebut, dia tetap bertekad untuk tidak menyerah. Dia mencoba untuk tetap kuat dan teguh, meskipun hatinya terluka dan kepercayaannya terus diuji.
Tiwi menyadari bahwa orang misterius ini memiliki niat jahat yang tidak akan berhenti sampai dia menyerah pada tekanan tersebut. Namun, Tiwi bersumpah untuk tidak membiarkan dirinya dikalahkan oleh ketakutan dan intimidasi.
Dengan tekad yang kuat dan dukungan dari teman-temannya, Tiwi bersiap untuk menghadapi siapa pun yang berusaha menghalangi jalannya. Dia yakin bahwa dengan keberanian dan ketekunan, dia dapat mengatasi segala rintangan yang mungkin menghalangi pencapaiannya.
Tiwi merasa perlu untuk berbicara dengan wali kelasmnya, Ibu Lina, tentang situasi yang dia hadapi. Setelah pelajaran selesai, dia mengunjungi ruang guru dan meminta izin untuk berbicara sebentar dengan Ibu Lina. Ketika mereka duduk berdua di meja guru, Tiwi dengan hati-hati menjelaskan apa yang sedang dia alami.
"Maaf Bu, saya ingin berbicara tentang sesuatu yang sedang saya alami," ucap Tiwi dengan suara terdengar ragu.
Ibu Lina mengangkat alisnya, menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganggu Tiwi. "Tentu, Tiwi. Apa yang sedang kamu alami? Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya Ibu Lina dengan lembut.
Tiwi menghela napas, merasa lega bisa berbicara dengan seseorang yang dia percayai. "Ini tentang akun media sosial yang mengirimkan pesan-pesan yang tidak menyenangkan kepada saya dan teman-teman saya. Saya merasa tidak nyaman dengan situasi ini dan tidak tahu harus berbuat apa.”
Ibu Lina mengangguk, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Tiwi. "Saya sangat menyesal mendengarnya, Tiwi. Kamu sudah melakukan yang benar dengan memberi tahu saya. Kami akan mencoba yang terbaik untuk menangani situasi ini.”
Tiwi berharap bahwa dengan bantuan Ibu Lina dan pihak sekolah, mereka bisa menemukan siapa pelaku di balik akun media sosial misterius tersebut. Ketika dia mengungkapkan masalahnya kepada kepala sekolah dan beberapa guru yang dia percayai, mereka merespons dengan cepat, menjanjikan untuk mengambil tindakan segera.
Namun, setelah beberapa waktu berlalu, Tiwi merasa kecewa karena belum ada hasil yang memuaskan. Pihak sekolah memang telah berusaha untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi tanpa adanya bukti yang cukup atau informasi yang jelas, mereka sulit untuk mengidentifikasi pelaku. Selain itu, situasi semakin rumit karena sekolah belum memiliki sistem CCTV yang terpasang, yang sebenarnya telah direncanakan untuk dipasang pada tahun ajaran depan.
Tiwi merasa frustasi. Dia ingin sekali mengetahui siapa yang ada di balik akun media sosial itu dan menghentikan serangan-serangan yang terus menerus tersebut. Namun, tanpa bantuan pihak sekolah atau bukti yang cukup, tampaknya itu akan menjadi tugas yang sangat sulit dilakukan. Dia merasa seperti dia terjebak dalam situasi tanpa jalan keluar, di mana dia harus menanggung beban ini sendirian.
Suatu pagi di sekolah, ketika Tiwi tiba di sekolahnya, dia merasa atmosfer yang berbeda. Pandangan sebentar dari teman-temannya membuatnya merasa tak nyaman. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara mereka melihatnya, sebuah ekspresi yang mencampurkan keheranan dan cemoohan.
Tiwi mencoba mengabaikan perasaan aneh ini, mencari tempat duduknya seperti biasa. Namun, setiap kali dia melewati sekelompok teman sekelasnya, dia bisa mendengar bisikan-bisikan dan gelak tawa yang terselubung. Rasanya seperti mereka membicarakan sesuatu tentangnya, sesuatu yang membuatnya merasa tak enak.
Ketika bel berbunyi dan pelajaran dimulai, Tiwi mencoba fokus pada guru di depan kelas. Namun, rasa tidak nyaman terus menghantui pikirannya. Dia merasa seperti semua mata di kelas tertuju padanya, menilainya dengan pandangan yang penuh kecurigaan.
Tiwi berusaha untuk mengabaikan perasaan itu dan mencoba untuk memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Tetapi, semakin lama, semakin sulit baginya untuk mengabaikan cemoohan dan perhatian yang tidak diinginkan dari teman-temannya. Dia merasa seperti menjadi pusat perhatian yang tidak diinginkan, tanpa alasan yang jelas.
Di tengah-tengah pelajaran, Tiwi merasa seperti dia tidak bisa lagi menahan perasaannya. Rasanya seperti dunia di sekelilingnya berputar lebih cepat, dan dia merasa terjebak di dalamnya. Dia bertanya-tanya apa yang telah dia lakukan untuk membuat teman-temannya berubah menjadi begitu dingin dan tidak Rayah. Tetapi, tidak ada jawaban yang dia temukan, kecuali rasa kesepian dan kebingungan yang semakin menggelayut di hatinya.
Setelah bel berbunyi untuk istirahat, Tiwi merasa lega bisa melarikan diri sejenak dari atmosfer yang tegang di dalam kelas. Dia keluar dari ruangan dengan hati yang berat, mencari tempat yang tenang di sekolah tempat dia bisa merenungkan apa yang baru saja terjadi.
Duduk di bangku taman yang teduh, Tiwi merasa air matanya mulai menggenang di matanya. Segala macam emosi bercampur aduk di dalam dirinya - kesedihan, kekecewaan, dan rasa takut. Dia merasa seperti dunia di sekitarnya runtuh, dan dia tidak tahu harus berbuat apa.
Tanpa bisa menahan diri lagi, Tiwi mengambil buku harian kesayangannya dari dalam tasnya. Dengan tangan gemetar, dia mulai menulis semua keluh kesahnya, mencurahkan segala perasaan yang dia rasakan ke dalam halaman-halaman buku tersebut.
"Dear Diary," tulisnya dengan suara gemetar, "Hari ini adalah salah satu hari terburuk dalam hidupku. Aku merasa seperti tidak ada yang bisa kuhadapi lagi. Teman-teman sekolahku, mereka mengolok-olokku dan aku tidak tahu kenapa. Aku merasa begitu sendirian dan tidak ada yang bisa kuminta tolong. Kenapa semua ini terjadi padaku?”
Dengan setiap kata yang dia tulis, Tiwi merasa beban di hatinya sedikit demi sedikit berkurang. Menuliskan semua perasaannya membuatnya merasa sedikit lega, meskipun rasa sakitnya masih begitu dalam. Dia berharap, mungkin dengan membagikan pikirannya dengan buku hariannya, dia bisa menemukan sedikit ketenangan di tengah badai yang sedang melanda hidupnya.
Saat Tiwi sibuk menuliskan semua keluh kesahnya, suara langkah kaki yang dikenalnya menghentikan aliran pikirannya. Rani, Fara, dan Dita, teman-teman akrabnya, mendekatinya dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Tiwi, apa yang terjadi?" tanya Rani, suaranya penuh dengan kepedulian.
Fara mengulurkan tangannya untuk menepuk bahu Tiwi dengan lembut. "Kami melihat kamu pergi sendiri dan terlihat sangat terpukul. Apa yang terjadi?”