Hari itu, seperti biasa, Tiwi memasuki gerbang sekolah dengan langkah mantap. Udara pagi yang segar mencium wajahnya, memberinya semangat untuk menghadapi hari yang baru. Namun, ketika dia memasuki lorong sekolah yang ramai, rasa gugup mulai menyelinap masuk.
Tiwi berusaha memfokuskan pikirannya pada pelajaran yang akan datang, tetapi bayangan-bayangan perundungan yang selalu mengintainya terus mengganggu. Saat dia melintasi koridor menuju kelasnya, dia merasa mata-mata penuh ejekan mengikuti setiap langkahnya. Kata-kata yang menusuk seperti panah terus menghujani pikirannya, membuatnya merasa semakin terisolasi di tengah keramaian sekolah.
Ketika dia duduk di kelasnya, Tiwi mencoba untuk menyembunyikan rasa cemasnya di balik senyum yang dipaksakan. Namun, setiap kali dia melihat ke sekelilingnya, dia merasa seolah-olah semua mata tertuju padanya, menilai dan mengejek setiap gerakannya.
Waktu istirahat tiba, dan Tiwi merasa lega bisa keluar dari kelas. Namun, di luar kelas, tantangan baru menantinya. Dia harus berjalan melewati koridor yang penuh dengan siswa yang berkumpul, berbisik-bisik dan tertawa riang. Setiap kali dia melintas di antara mereka, dia merasa seperti jadi sasaran perhatian yang tidak diinginkan.
Tiwi mencoba untuk tetap tenang, tetapi tekanan yang terus menerus membuatnya merasa tercekik. Dia merindukan kedamaian dan ketenangan, tapi di sekolah inilah, dia merasa seperti dihantui oleh ketidakamanan yang tidak pernah berhenti.
Dalam keheningan yang menyelimuti hatinya, Tiwi berharap bisa menyelesaikan hari ini dengan selamat. Namun, dia tahu bahwa tantangan-tantangan yang menghadangnya di sekolah belum berakhir. Dan saat dia kembali memasuki lorong yang sepi, dia merasa seolah-olah sedang memasuki medan perang yang tidak berujung.
Hari itu Tiwi pulang lebih larut dari biasanya karena harus menyelesaikan beberapa tugas sekolahnya. Langit senja menyelimuti sekolah dengan kegelapan yang membalut setiap sudutnya. Cahaya redup dari lampu-lampu koridor hanya menambah suasana mencekam. Tiwi melangkah dengan hati-hati di tengah lorong yang sepi, setiap langkahnya terdengar seperti gema yang memantul dari dinding beton yang dingin.
Sudut-sudut gelap lorong tampak seperti menyembunyikan rahasia-rahasia gelap yang siap untuk muncul kapan saja. Setiap kali Tiwi melewati satu sudut, dia merasakan adrenalinnya meningkat, hatinya berdegup kencang. Dia merasa seolah-olah mata-mata tak terlihat sedang memperhatikannya dari balik bayangan-bayangan yang menakutkan.
Tiba-tiba, dari balik tikungan, suara langkah kaki yang berat terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti lorong. Tiwi menegang, matanya mencari sumber suara dengan cepat. Apakah itu hanya imajinasi atau ada sesuatu yang benar-benar mengintip dari balik sudut?
Nafas Tiwi terhenti sejenak, tubuhnya tegang dan siap untuk berlari jika perlu. Dia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, tetapi kehadiran yang tidak diketahui masih mengganggu pikirannya. Apakah ada yang sedang mengintai di balik bayangan-bayangan itu?
Tetapi ketakutan Tiwi bukan hanya terletak pada kehadiran fisik seseorang. Lebih dari itu, dia takut akan ancaman perundungan yang terus mengintai di lingkungan sekolahnya.
Suara langkah kaki terdengar gemuruh di lorong sepi sekolah. Tiwi mempercepat langkahnya, mencoba untuk menghindari kehadiran siapa pun. Dia ingin sendirian, untuk sejenak menyelam dalam pikirannya sendiri tanpa gangguan dari luar.
Namun, takdir mempunyai rencana lain. Ketika Tiwi membelok di pojok lorong, dia hampir menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari sudut gelap. Tiwi melangkah mundur, matanya memancarkan campuran antara kaget dan kebingungan. Namun, di saat itulah, takdir mempertemukannya dengan seseorang yang sama sekali tidak ia kira.
Itu adalah Raya.