Menjemput Matahari Terbit

Dewangga Putra
Chapter #4

BAB 4 - (MENCOBA) MENJEMPUT MATAHARI TERBIT

Seringkali, di balik tirai yang tebal di sebelah rumah Tiwi, terdengar suara-suara berteriak dan benda-benda yang terhempas dengan keras. Tiwi, yang sedang duduk di ruang tengah, menatap jendela dengan cemas, menyaksikan kejadian yang terjadi di sebelah rumahnya.

Raya, tetangga sebelahnya yang biasanya tenang dan pendiam, sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Suara-suara itu merupakan bagian dari rutinitas yang menyedihkan yang sering kali terjadi di rumah Raya. Tiwi sering mendengar tangisannya yang menyayat hati, tetapi dia merasa tidak berdaya untuk membantu.

Setiap kali Tiwi melihat Raya di halaman rumahnya, dia bisa melihat bekas-bekas luka yang tersisa di wajah dan tubuhnya. Ada luka memar yang membiru di pipi Raya, luka sayatan di lengan, dan bekas luka bakar di punggungnya. Semua itu adalah bukti fisik dari penderitaan yang tidak terlihat yang dialami oleh Raya di dalam rumahnya.

Di halaman belakang rumah mereka yang teduh, Tiwi duduk di kursi berdampingan dengan Raya yang terlihat lesu. Dengan lembut, Tiwi memulai percakapan.

"Ada yang salah, Raya?" tanya Tiwi dengan penuh perhatian.

Raya mengangguk pelan, ekspresinya mencerminkan kepenatan yang mendalam. "Aku hanya merasa lelah akhir-akhir ini," ucapnya dengan suara yang rapuh.

Tiwi merasa ada yang tidak beres. "Bolehkah aku bertanya tentang ayahmu? Aku hanya ingin mengerti.”

Raya mengangguk, lalu mulai bercerita. "Dulu, ayahku adalah sosok yang lembut dan penyayang. Dia selalu ada untukku dan ibuku.”

Tiwi mendengarkan dengan serius. "Apa yang terjadi?”

Raya menghela nafas. "Semuanya berubah sejak pandemi Covid-19. Ibuku meninggal karena virus itu, dan sejak saat itu, ayah mulai berubah. Dia kehilangan pekerjaannya dan sekarang bekerja serabutan. Yang lebih buruk lagi, dia mulai menyalahkan aku atas semua masalah ini. Setiap kali dia marah, dia melepaskan amarahnya padaku.”

Tiwi merasa ngeri mendengar cerita itu. "Itu tidak adil, Raya. Kamu tidak bersalah atas apa pun yang terjadi.”

Raya hanya bisa mengangguk, matanya berair. "Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku merindukan ayahku yang dulu.”

Tiwi menggenggam tangan Raya dengan penuh empati. "Kamu tidak sendiri, Raya. Aku akan selalu di sini untukmu.”

Raya menatap ke langit yang senja, matanya dipenuhi dengan ekspresi campuran kesedihan dan keinginan yang mendalam. "Aku begitu menyayangi ayahku, Tiwi," katanya dengan suara yang penuh rasa. "Aku ingin membuatnya bangga seperti dulu lagi.”

Tiwi merasa tersentuh oleh kekuatan perasaan Raya. "Aku tahu kamu pasti bisa melakukannya, Raya," ucapnya dengan keyakinan. "Kamu adalah orang yang luar biasa dan ayahmu pasti menyadarinya suatu hari nanti.”

Raya tersenyum lembut, seolah mendapatkan semangat baru dari kata-kata Tiwi. "Terima kasih, Tiwi. Aku berharap semuanya akan kembali seperti semula suatu hari nanti.”

Tiwi mengangguk mantap. "Aku juga berharap begitu, Raya. Dan aku akan selalu ada di sampingmu, mendukungmu setiap langkah yang kamu ambil.”

Perundungan yang Tiwi alami di sekolah terasa semakin menyakitkan. Setiap hari, dia harus menghadapi ejekan dan penolakan dari teman-teman satu sekolahnya. Namun, di tengah kekerasan itu, Tiwi menemukan tempat ketenangan yang langka, di halaman belakang rumahnya bersama Raya.

Setiap sore, setelah pulang sekolah, Tiwi dan Raya berkumpul di halaman belakang. Di sana, di antara pepohonan dan semilir angin, mereka merasa bebas dari tekanan dan hinaan yang melanda mereka di sekolah. Mereka berbagi cerita, tertawa, dan mendukung satu sama lain, menciptakan ikatan yang tak tergoyahkan.

Bagi Tiwi, halaman belakang rumahnya bersama Raya menjadi oase kecil dalam kehidupannya yang penuh tekanan. Di sinilah dia bisa melepaskan beban yang selalu menghimpitnya di sekolah, dan merasakan kedamaian yang sulit ditemukan di tempat lain. Bersama Raya, Tiwi merasa diterima apa adanya, tanpa harus khawatir tentang ejekan dan penolakan.

Meskipun dunia luar mungkin penuh dengan kekerasan dan kebencian, halaman belakang rumah mereka menjadi tempat di mana Tiwi dan Raya dapat menemukan ketenangan dan kebahagiaan yang mereka cari.

Suatu sore, ketika matahari mulai meredup di langit, Tiwi melihat Raya memasuki halaman belakang rumahnya dengan wajah yang dipenuhi kegembiraan. Raya tampak tidak sabar untuk memberi tahu Tiwi tentang sesuatu yang penting.

"Dengar, Tiwi," ucap Raya dengan antusias. "Aku menemukan sesuatu yang menarik di internet tadi sore.”

Tiwi mengangkat alis, penasaran dengan apa yang membuat Raya begitu bersemangat. "Apa itu?" tanyanya.

Raya tersenyum lebar. "Ini adalah postingan di akun sosial media pemerintah kota kita. Mereka mengadakan sayembara bertajuk Krenova - Kreasi dan Inovasi - untuk pelajar, baik secara individu maupun berkelompok. Hadiah utamanya adalah beasiswa hingga ke tingkat perguruan tinggi.”

Raya menjelaskan dengan antusias, "Krenova adalah sayembara yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat bagi siapa pun yang memiliki terobosan atau penemuan baru di berbagai bidang. Ini adalah kesempatan besar bagi kita untuk mengembangkan ide-ide kreatif kita dan mendapatkan pengakuan yang pantas.”

Tiwi mendengarkan dengan serius. "Jadi, kita bisa mengembangkan apa pun yang kita inginkan?" tanyanya.

Raya mengangguk. "Ya, tepat sekali. Tidak ada batasan dalam hal apa yang bisa kita ciptakan. Apakah itu sebuah inovasi teknologi, produk, layanan, atau bahkan ide sosial yang memecahkan masalah di masyarakat, semuanya bisa menjadi bagian dari Krenova."

Tiwi mendengarkan dengan cermat, namun dia merasa ragu. "Itu terdengar menarik, Raya, tapi aku tidak yakin apakah aku bisa melakukannya.”

Raya mengangguk memahami. "Apa yang membuatmu ragu, Tiwi?”

Tiwi menatap Raya dengan ekspresi campuran kekhawatiran dan keputusasaan. "Sejujurnya, Raya, alasan aku ragu adalah karena aku takut. Takut bahwa jika aku berhasil lagi, perundungan terhadapku akan semakin menjadi-jadi. Aku sudah lelah menghadapi ejekan dan penolakan dari teman-temanku di sekolah. Aku tidak tahu apakah aku bisa menghadapinya lagi.”

Raya merasakan beban yang teramat berat dalam kata-kata Tiwi. Dia menggenggam tangan Tiwi dengan lembut. "Aku mengerti perasaanmu, Tiwi. Tapi kita tidak boleh membiarkan ketakutan itu menghalangi impian kita. Kita harus memperjuangkan apa yang kita percayai, meskipun tantangan dan rintangan mungkin menghadang di depan.”

Tiwi menundukkan pandangannya, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu kamu benar, Raya. Tapi terkadang, rasa takut itu begitu kuat sehingga sulit untuk melepaskannya.”

Raya tersenyum penuh pengertian. "Kamu tidak sendiri, Tiwi. Aku akan selalu ada di sini untukmu, membantumu mengatasi setiap rasa takut dan ketakutan. Bersama-sama, kita akan melewati semua ini.” Tiwi pun menjelaskan semua yang Sudah pernah terjadi padanya.

Raya mendengarkan dengan serius saat Tiwi menjelaskan akar permasalahan yang mengganggunya. "Jadi, semua perundungan itu berasal dari satu akun sosial media?" tanya Raya, mencoba memahami.

Tiwi mengangguk sedih. "Ya, itulah yang terjadi. Sejak beberapa waktu yang lalu, ada akun sosial media misterius yang menyerangku dengan ujaran kebencian dan fitnah. Mereka menghasut teman-teman sekolahku, bahkan teman-teman akrabku, untuk membenci dan mengejekku.”

Raya menatap Tiwi dengan ekspresi prihatin. "Itu sungguh kejam dan tidak adil. Apakah kamu sudah mencoba melaporkannya kepada pihak sekolah atau pihak berwenang?”

Tiwi menggelengkan kepala. "Aku sudah mencoba, tapi belum ada hasilnya. Pihak sekolah tidak bisa berbuat banyak karena belum ada bukti konkret, dan aku tidak tahu siapa pelaku di balik akun itu.”

Lihat selengkapnya