Gadis melankolis ini bisa kalian sapa, Mita. Lengkapnya, Swastamita Putri. Gadis pecinta cahaya pagi dan sore. Penikmat teh tawar dan penyair bait-bait takdir atas dirinya sendiri.
Orang-orang menyebutku PUJAKESUMA (Putri Jawa Kelahiran Sumatera). Lahir pada senja hari, tanpa suara tangis. Begitulah secuil cerita dari Ibu. Sosok wanita perkasa yang acap kali menggantikan posisi Ayah. Lima tahun menjadi putri tunggal kesayangan Ibu, menjadi lencana kebanggaan tersendiri bagiku. Menjadi pendampingnya ketika rumah kami harus digusur, alih-alih dengan alasan tanah itu milik pemerintah. Penepuk pundak, ketika dadanya sesak selepas Dept Collector membanting pintu. Menjadi balita yang membantunya menutup telinga ketika para tetangga mencibir. Pengusap air matanya, ketika harus kehilangan seisi rumah sebab musibah kebakaran. Dilanjutkan dengan Ayah. Ia pergi merantau untuk mencari rupiah agar istri dan anak gadisnya bisa bertahan hidup. Setiap kepedihan terselip kebahagiaan. Sebelum Ayah pergi, Ibu telah melahirkan bayi mungil bernama Bumi. Enam tahun kemudian, lahirlah Bintang, adik keduaku. Menjadi penyebab Ibu bisa tertawa lepas. Apalagi setiap salah satu dari anaknya pulang. Membawa piala penghargaan. Atau, ketika mendengar kabar anak gadisnya mendapat beasiswa pada Universitas impiannya. Ya, impian orang tuaku. Sebab, dari awal aku lebih tertarik untuk hidup mandiri. Bekerja adalah satu-satunya targetku sejak awal masuk SMA. Seiring berjalannya waktu. Pola pikirku berubah dan mimpiku kian bertambah. Meski keluarga kami tidak sesulit dulu. Menjadi putri sulung yang tidak selalu bergantung pada orang tua tetap menjadi moto hidupku. Keluarga kami sangat sederhana. Hanya rasa syukur dan cinta yang membuat semua tampak mewah.
Aku tidak pernah tahu bagaimana aku di masa depan. Baik keluarga, sahabat, pekerjaan, atau pendamping hidup sekalipun. Perjuangan atas kesulitan dirasa cukup.
Kebanyakan orang menganggap untuk menjadi sukarelawan harus hidup berkecukupan. Padahal berbagi bukan sekedar perihal materi. Namun, tentang tulus dan ikhlas atas semua yang sanggup kuberi. Selepas menjalani hidup bersama deretan kesulitan. Aku semakin kuat bertekad. Mendedikasikan diri untuk hal positif. Mencoret berbagai bucket list yang kutulis bersama sketsa abstrak.
Sebenarnya ada hal lain yang akan lebih panjang kuceritakan. Aku telah mencoba melihat kedepan. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang memaksa ingatanku kembali ke belakang. Sebuah kisah yang sedikit lucu tapi menyebalkan. Tentang DIA, yang menatap tanpa menetap. Orang dengan kepribadian ganda yang hingga detik ini belum kupahami maksudnya. Cerita ini tidak seharusnya diungkit sebab akan mengundang rasa sakit. Namun, jika terus tertunda maka aku akan selalu dihantui janji yang dibuat sendiri.