Tik Tok!
Tik Tok!
Tik Tok!
Kresek kresekkk....
Ta, aku masih ada di tempat yang sama...
Aku tahu, kamu juga pasti masih disini!
Kamu nggak bisa bohong sama perasaanmu, cuma aku yang bisa bohong!
Jawab Ta...
Ayo jawab!
Jawab aku....
(Alarm berdering)
"Mitaaa... kita kesiangan, ayo cepet bangun!" Suara nyaring Mentari membantuku bangun dari mimpi buruk. Astaga, aku terlambat lagi. Tanpa basa-basi kami bergegas. Segera berkemas menuju lokasi penitipan barang donasi.
Keadaan kamar indekos ini lebih mirip kapal pecah. Beberapa pajangan seperti foto, sketsa maupun lukisan hampir jatuh, menggantung. Tumpukan baju kotor menggunung. Lembaran kertas bekas berserakan di setiap sudut. Bahkan menimpa wajahku sendiri. Apalagi di pojok dinding, dekat meja belajar. Merayap semut merah yang sedang mengangkut remahan wafer. Semuanya berantakan sekaligus menyeramkan. Ditambah suara balapan antara alarm ponsel versus radio yang kehilangan frekuensi. Benda jadul kesayanganku itu memang sering kumat.
Sial, aku melewatkan banyak hal. Jam sudah menunjukkan pukul 10.17 WIB. Ponselku sudah diisi belasan panggilan tak terjawab dari Program Director. Jadwal siaranku absen lagi. Sebelumnya aku sempat menolak menjadi penyiar, sekalipun itu paruh waktu. Orang-orang bilang aku people pleaser. Membuatku merasa berat untuk menolak tawaran Bagas saat itu. Ya, Bagas adalag sahabatku setelah Mentari. Sebenarnya di radio itu menyenangkan. Tapi lumayan sulit untuk manusia nomaden sepertiku. Apalagi aku baru merintis sebuah komunitas sosial. Harus panda memilih skala prioritas. Ditambah lagi tugas akhir yang belum benar-benar tuntas. Menjadi penyiar radio memang salah satu isi dari bucket list-ku sejak kecil. Bukan astronot, dokter, apalagi pilot. Sesederhana itu. Namun, apa yang sedang aku bangun harus aku jaga apalagi menyangkut manusia.
Untuk pertama kalinya aku membuat suatu kegiatan ekspedisi sosial tingkat nasional. Tidak tanggung-tanggung, relawan yang diseleksi adalah orang-orang baik perwakilan dari setiap provinsi di Indonesia. Bersama dengan Mentari sahabatku. Setahun yang lalu. Aku dan Mentari merintis suatu komunitas sosial, RELAWAN SEMESTA. Lokasi ekspedisi kali ini cukup jauh, di pelosok Nusa Tenggara Timur. Sebenarnya, tugasku pada ekspedisi kali ini hanya fasilitator pembantu. Semua kepanitiaan sudah terbentuk dan terstruktur dengan lengkap. Namun aku harus tetap bertanggung jawab. Mendampingi orang-orang baik yang mau membantuku mencoret isi bucket list.
Termasuk dalam golongan manusia random. Sebelum masuk dunia radio dan membentuk komunitas ekspedisi sosial, aku sempat menjadi seorang aktivis seni. Lebih tepatnya seni pertunjukan. Untuk sebagian orang yang baru tahu hal itu, pasti mengira aku pandai bersandiwara. Mereka salah, karena aku bukan spesialis keaktoran. akting-ku tergolong payah. Aku bukan orang yang percaya diri. Aku lebih suka bekerja di belakang layar. Menulis naskah, tim manajerial atau sutradara misalnya. Berusaha aktif dan produktif. Masa muda kupergunakan untuk mencoba dan terus mencoba. Semua itu upaya untuk me-lu-pa-kan. Memang perlu menghabiskan waktu cukup lama. Sebab, menulis cerita baru rasanya lebih mudah ketimbang harus merobek cerita yang sudah berlalu.
"Aku mimpi aneh lagi Mer!" dalam perjalanan menuju Bandara. Aku berusaha melepas sedikit keluh kesah. Namun, sahabatku itu tak segera memberi jawaban. Ia malah menyipitkan matanya yang sudah sipit. Menekuk wajahnya sambil menatapku dengan sinis. "Mimpi apa?" nada dari pertanyaan singkat itu mengerikan. Aku paham betul kalau sudah berekspresi demikian, pasti Mentari tahu mimpi apa yang aku maksud. Beberapa minggu belakangan aku selalu mimpi aneh. Mimpi itu pula yang sering membuatku menelan omelan Mentari.
"Gue capek Ta, udah bertahun-tahun lho!" Seru Mentari kesal.
"Itu cuma mimpi Mer,"
"Kalo tahu cuma mimpi, gak seharusnya lo inget terus."
"Masalahnya ini udah yang ketiga kalinya, isinya juga orang yang sama."
"Ya iyalah, gimana mau ganti orang kalo yang lo pikirin selalu dia dia dan dia!"
Untuk kesekian kalinya pembahasan ini menghancurkan semangatku. Mentari terlampau membencinya, aneh. Padahal aku yang seharusnya lebih membenci orang itu. Sebetulnya sudah sejak lama aku berhasil lupa. Tapi, akhir-akhir ini entah apa maksud tuhan mendatangkannya dalam mimpiku. Perihal rasa, aku pun bingung harus jawab apa jika diberi pertanyaan demikian.