SWASTAMITA
Di bibir pantai kupandang diri sendiri lewat gulungan ombak. Semburat cahaya senja menimpa wajahku. Bersama bucket list dan bloknot berisi kerangka cerita. Semacam buku diari berisi curahan hati. Namun, isinya bukan sekedar kisah romantisme belaka. Terlalu beragam untuk dikelompokkan. Aku hanya berusaha membalut kisah patah hati menjadi lebih rapi. Karena patah tak selamanya salah. Takdir memang selalu demikian, “mempertemukan untuk memisahkan”. Akulah gadis sederhana pemeran utama dalam cerita itu. Mencoba ikhlas atas kenyataan. Janjiku pada diri sendiri belum ditepati. Tentang secuplik tulisan ini, yang akan menjadi bukti bahwa aku pernah seserius itu padanya. Meski semuanya tinggal kata PERNAH.
"Apa kabar Ta?"
Terdengar suara sayub datang dari belakangku. Aroma tubuh yang khas masih terekam jelas. Ia berdiri gagah dengan jaket kulit kebanggaannya. Detak jantung yang semula normal jadi berdebar. Tatapannya sangat teduh. Ia tidak seperti dulu. Penampilan dan nada bicarapun, berubah. Apakah juga dengan hatinya? Belum bisa dipastikan.
"Malah bengong, apa pertanyaanku salah Ta?" ucapnya lagi dengan suara rendah. Aku diam, sambil melipat bibir ke dalam mulut. Lidahku tiba-tiba keluh. Semesta seketika membuat jagatku berhenti berputar. Bersamaan dengan tangan yang gemetar. Setelah dengan sukarela aku membiarkannya pergi. Sulit dipercaya, ia benar-benar kembali. Untuk siapapun ia pulang, yang pasti aku bimbang.
"Aaa, aku cuma kaget Run!" Kuturunkan pandangan sambil tertawa kecil. Ia telah duduk tepat disampingku. "Kaget? Hanya karena aku pulang?" Dia tertawa dengan suara renyah. Sudah lama tak kudengar suara itu. Aku berusaha menguatkan batin. Berusaha sekuat-kuat mungkin. Itu hanya untuk memberanikan diri. Menatap bola matanya yang cemerlang. Pandanganku lebih tepat jatuh pada alisnya yang tebal. Sesekali menatap dahi, meski tertutup rambutnya yang lebat dan sedikit berantakan. Dengan menarik nafas panjang, lalu kupasang ancang-ancang. Pura-pura tenang, meski hati tegang bukan kepalang.
"Aku baik Run, kamu sendiri gimana?" Kuteguhkan hati membalas dengan pertanyaan serupa, Meski dengan setengah gugup. Pertanyaan yang sebenarnya, aku tahu jawabannya. Dari apa yang aku lihat, dia sehat. Tapi, entah dengan hatinya. Seseorang bisa saja berkata BAIK, meskipun sebenarnya TIDAK bukan? Senyumku yang setengah terpaksa diabaikan. Mungkin, pertanyaanku terkesan basi. Ia malah mengambil bloknot dari tanganku tanpa permisi. Diperhatikannya dengan sungguh sketsa abstrak yang kulipat. Sudah lusuh, dan tertulis beberapa patah kata pada kertas buffalo itu. Dibacanya dengan perlahan dengan penuh perasaan.
"Patah, hancur, remuk, sakit, kecewa, menangis, tinggal puing-puing, dan serpihan gelas pecah. Saatnya melupakan!" (Ruang kosong, 17 Maret 2015)
"Sebegitu marahnya kamu Ta?"
"Itu hanya deretan kata dan angka ganjil Run!"
"Maaf, pernah buat kamu sekacau itu."
Ya Tuhan, tatapannya membuatku hampir meneteskan air mata, LA-GI. Untungnya, Mentari segera tiba.
"Mita!" Sahut Mentari, memperlambat langkahnya ketika melihat Arun di sampingku. “Apa yang lo mau dari sini Run? Andaikan gue yang jadi interviewer lo, nggak bakal gue terima!”
“Nggak professional, menentukan hasil dari permasalahan pribadi bukan berdasarkan kualifikasi!” Ucap Arun, membantah ungkapan Mentari. Mereka memang tidak pernah akur sejak dulu. Lebih parah daripada seekor anjing dan kucing.
“Sejak kapan orang individual kayak lo suka kegiatan sosial? Apalagi masuk divisi pendidikan, pasti ada maksud terselubung, jujur aja deh!”