Menolak Miskin, eh, Mistis

Rudie Chakil
Chapter #2

PROLOG

Jika Anda pernah merasakan hidup di era 80-an sampai 90-an —apalagi tinggal di pinggiran Jakarta dan bernaung dalam strata sosial kelas menengah ke bawah— tentu Anda merasakan bagaimana kehidupan ini berjalan apatis, seiring pahit getirnya dirasakan bak bisul di pantat yang kagak kempis-kempis.

Bayangkan saja. Makan daging ayam satu bulan sekali, kalau malam kipasan pakai kipas sate, lotion anti nyamuk menggunakan minyak tanah, tampilan dapur macam kuburan keramat, menengok ke atas langsung kelihatan genting rumah, atap bocor waktu hujan, ranjang besi bertingkat, keramik warna kuning, kompor minyak tanah, pompa air manual yang udah karatan, lampu ruangan kayak kafe remang-remang, dan masih banyak lagi hal yang gak bisa dijabarkan satu per satu. Terlalu banyak.

Namun, jika Anda tidak merasakannya lantaran terlahir di zaman hape Nokia tahan banting, atau ponsel Blackberry sedang merajalela, atau bahkan di zaman persaingan antara Android dan Apple berlangsung, terus mayoritas orang Indonesia cuma bisa menyaksikannya sambil ngiler, maka Anda bisa bertanya pada orang-orang yang hidup pada masa itu. Jawaban mereka pasti akan beragam. Dan, lagi, perihal ini cuma sebatas prolog aja, kok. Kisah aslinya mah nanti, saat anak mereka yang masih kecil itu menemukan barang peninggalan mendiang Si-Bapak.

Oke. Ceritanya, kala itu Si-Bapak baru punya dua orang anak, dan anaknya yang nomor dua masih berusia dua bulan, bayi perempuan yang sedang terlelap di dalam kojongan —tudung anti nyamuk seperti tutup saji hidangan makan yang talinya bisa ditarik— dengan posisi di tengah-tengah kasur.

Sementara, anak sulungnya, laki-laki berusia empat tahun, sudah tidur setengah pulas sembari dikipasin sama istrinya yang juga tidur-tidur ayam. Posisi mereka berada di dekat tembok batu bata yang cuma didempul semen. Terkadang corak tembok tersebut tervisual seperti bentuk pohon cemara, kepala buaya, serigala, muka dedemit, atau pocong. Itu pun bukan faktor kesengajaan seperti dinding unfinished masa kini pada hunian modern yang bergaya industrial, tetapi memang belum di-cat lantaran sulitnya mencari uang selain untuk kebutuhan makan.

Jadi, kondisi mereka memang agak memprihatinkan.

Pria dewasa yang hanya memakai singlet dan kain sarung itu kemudian melirik pada sang istri dan anak. Dalam benaknya merasa miris melihat kondisi hidup keluarganya. Pikirannya melayang-layang, menerawang gaji bulanan yang sekadar cukup untuk kakus.

Suasana kamar seakan-akan bercengkerama dengan keheningan malam. Padahal jarum pendek pada jam dinding masih terarah ke angka sembilan. Tidak kurang tidak lebih. Hanya bohlam lampu kuning yang memancar getir, bagai menenggelamkan angan dan harapan untuk menjadi keluarga kaya dan terpandang.

Sebenarnya Si-Bapak punya sarana hiburan yang setiap hari dia gunakan saat menjelang tidur, yaitu sandiwara radio yang berjudul Saur Sepuh. Namun entah kenapa kala itu ia lebih menginginkan berteman dengan kesunyian.

Tak lama kemudian pria berkulit sawo matang itu mematikan lampu kamar dan bersiap-siap beristirahat. Beberapa menit pun berlalu dalam suasana gelap, tetapi ia masih belum juga bisa terlelap.

Seekor tikus tiba-tiba jatuh ke tempat tidur, tepat di antara kedua kakinya. Mungkin kepeleset saat sedang memanjat kerangka penyangga genting. Tikus itu terasa berlari di atas kain sarung yang ia kenakan, juga mendecit dalam kegelapan.

Lihat selengkapnya