“Bye… nanti aku jemput, ya,” ucap Owen diikuti kedipan mata kanannya.
Wina membalas dengan senyum malu-malu dan melambaikan tangan sebelum masuk ke kelas. Senyuman itu tak hilang dari bibirnya saat masuk ke kelas yang sudah ramai oleh suara berisik dari teman-teman sekelasnya.
Kemesraan Wina dan Owen sampai tingkah malu-malu Wina tak luput dari perhatian kedua temannya.
“Wina sekarang semakin nggak terjangkau, ya, Bun,” sindir Ruli ketika Wina sudah duduk di bangku sebelahnya.
“Iya, nih. Aura yang punya pacar emang beda, ya,” sambung Nadya yang duduk di depan kedua temannya itu.
Wajah sumringah Wina berubah sinis. “Diam deh, rakyat jomlo.”
“Nggak apa-apa jomlo. Setidaknya nggak melupakan teman sendiri,” sahut Ruli tak mau kalah sinis.
“Maaf, ya, aku kayak melupakan kalian. Padahal aku nggak bermaksud kayak gitu. Kalian kan tau sendiri, aku hanya bisa pacaran di sekolah, makanya aku mau pakai waktu sebanyak mungkin ketemu dia.” Wina menatap wajah teman-temannya meminta pengertian.
Wina memang sejak berpacaran dengan Owen sangat jarang menghabiskan waktu bersama teman-temannya karena lima menit setelah bel istirahat berbunyi, Owen sudah menunggu di depan kelas menjemputnya untuk berkencan di kantin, ada kalanya di kelas cowok itu, atau di perpustakaan.
Walaupun berpacaran dengan Owen membuat hubungan Wina dan teman-temannya menjadi renggang, tetapi lebih banyak hal positif yang dirasakan, yaitu ia jadi lebih semangat belajar. Pacarnya selalu mengajak membahas soal bersama. Terlebih mata pelajaran matematika, menjadi mata pelajaran yang sulit bagi Wina.
Owen sangat sabar mengajarinya. Tak pernah marah-marah seperti Owen jika Wina salah mengerjakan soal. Alhasil, gadis itu lebih antusias belajar dan berakibat pada nilai saat try out minggu lalu yang menjadi try out terakhir sebelum ujian nasional, mengalami peningkatan dibandingkan yang sebelumnya. Wina jadi optimis bisa menghadapi ujian nasional minggu depan dengan lancar.
Wina yang biasanya tidur telat, sekarang bisa tidur lebih awal karena sudah ada yang meninabobokannya sebelum tidur. Owen selalu menemaninya lewat telepon, bercerita sampai ia terlelap dengan sendirinya. Cowok itu juga tak pernah absen mengirim kata-kata pengemangat untuk Wina di sela jam pelajaran.
Kalau mereka menyebrang jalan, Owen selalu mengandeng tangan Wina dan memosisikan gadis itu di sebelah kiri. Perhatian sederhana ini membuat Wina sangat tersentuh. Ia merasa sedang berada pada salah satu fase terbahagia dalam kehidupan remajanya karena menjalani hubungan pacaran seperti yang ia impikan selama ini.
“Tapi aku rasa kamu sama Owen lebay banget. Maksudku pacarannya terlalu heboh, nunjukin kemesraannya bikin aku gedeg sendiri. Beda waktu sama Lyon, kalian pacaran sewajarnya.”
Wina berdecak tak terima dengan pernyataan itu. “Bedalah. Bahasa cintanya Owen, physical touch sama word of afrimation makanya ke mana-mana maunya gandengan dan suka memuji aku. Beda sama Lyon bahasa cintanya physical attack, maunya jahili aku terus. Bawaannya mau senggol bacok aja.”
Ruli dan Nadya terkekeh. Mereka jadi saksi Wina yang selalu mengeluhkan kejahilan Lyon padanya yang selalu berakhir kedua sahabat jadi cinta itu akan saling menjambak rambut.
“Terserah ajalah, kamu pacaran sama siapa, tapi kalau disuruh pilih sih, aku lebih suka kamu pacaran sama Lyon. Dia nyantai, nggak suka ngatur kamu. Beda sama Owen yang menurutku dia terlalu perfect, jatuhnya membosankan.”
“Aku sih, kamu pacaran sama Owen aja. Dia lebih sweet sih,” sambung Nadya.
“Ya, iyalah kamu dukung. Jangan kira aku nggak tau kalau buku sejarahnya Wina sengaja kamu kasih ke Owen biar dia punya kesempatan buat PDKT sama Wina,” kata Ruli pada Nadya dengan nada tinggi.
Wina hanya tertawa menanggapi karena ia sudah tahu. Nadya yang mengatakannya sendiri padanya dua hari yang lalu. Wina tak marah karena berkat temannya itu ia memiliki kisah indah di sekolah sebelum lulus. Mungkin setelah lulus hubungan mereka tak akan berlanjut karena masing-masing sibuk mengejar masa depan.
Omong-omong soal masa depan, Wina jadi ingat pada hari Jumat sore minggu lalu, Tante Maya--mamanya Lyon--cerita saat mengantar satu loyang puding untuk keluarga Wina kalau Lyon lulus di NTU dan kemungkinan satu minggu setelah ujian nasional, Lyon sudah berangkat ke Singapore untuk mempersiapkan perkuliahan di sana. Cowok itu juga menerima beasiswa penuh dari ASEAN Scholarship. Ia tak lagi khawatir dengan biaya kuliah dan biaya hidup selama kuliah di sana karena sepenuhnya ditanggung oleh beasiswa. Ya, Wina tak kaget dan sudah bisa memprediksi kalau masa depan mantannya itu pasti cerah seterang cahaya matahari di jam dua belas siang.
Berbeda dengannya ketika teman-temannya sedang sibuk memilih jurusan dan universitas mana yang ingin dimasuki setelah tamat, ia bahkan belum memikirkan akan masuk universitas mana.
Mungkin karena tak punya cita-cita membuatnya tak bergairah membicarakan rencana kuliah. Wina bahkan sudah mengakui ke orang tuanya kalau ia sudah lelah sekolah dan mereka menerima kalau Wina memang ingin mengambil gap year.
Saat mengantar kembali loyang puding ke rumah Lyon, ia sempat berpapasan dengan cowok itu. Wina yang memang dasarnya tak bisa menyimpan amarah terlalu lama pada orang yang menyakitinya, memberi selamat dengan wajah berseri-seri karena ia juga turut bangga dengan pencapaian sahabatnya dan sudah memaafkan. Namun, ucapannya hanya dibalas anggukan tak acuh oleh Lyon.
“Lyon, kok kita jadi asing kayak gini? Kamu marah sama aku?” tanya Wina sambil menahan Lyon yang ingin pergi begitu saja.
Lyon mengangkat kedua bahu. “Kenapa kamu mikir gitu?”
“Setiap kita berpapasan entah itu di sekolah atau di rumah, kamu langsung buang muka. Seolah aku ini virus mematikan. Kamu benci aku?”
“Perasaan kamu aja… udah, ya, aku udah telat ke tempat les.”