“Ingat, Adek Caleb hanya boleh dikasih screen time 25 menit per hari di jam 10 pagi. Adek udah ngerti jadwalnya, kalau pun tiba-tiba tantrum, biarin aja dia nangis sampai puas asalkan Kakak tetap ada di sampingnya. Kalau dia udah capek, biasanya langsung diam dan Kakak bisa langsung peluk dia,” jelas Filiyana sambil menarik resleting koper.
Orang tua Wina akan ke Pangkal Pinang selama satu minggu karena ada urusan pekerjaan, sekaligus akan berbulan madu ke Australia selama satu minggu. Memang bulan madu ini masuk agenda rutin setiap tahun, tujuannya agar pasangan suami istri itu menghabiskan waktu berdua dan mengeratkan kehangatan hubungan. Nanti setelah selesai bulan madu, Wina dan adiknya akan diajak jalan-jalan ke Jepang selama dua minggu.
Makanya Wina juga tak keberatan menjaga adiknya. Semua karena imbalan liburan dan uang yang sudah ditransfer masuk ke rekeningnya sebanyak 12 kali uang jajannya di sekolah.
Kedua anaknya dibiarkan sendiri menjaga rumah. Mereka tak memiliki ART yang menetap, hanya ada seorang wanita berusia 50 tahun yang ditugaskan membersihkan rumah tiap dua hari sekali.
Filyana tahu persis kalau anaknya tak memiliki bakat yang bisa ditonjolkan, terlebih keterampilan memasak. Jika dinilai dari skala satu sampai sepuluh, maka keterampilan memasak Wina dinilai minus satu. Makanya untuk 10 hari ke depan, selama tiga kali sehari akan ada katering yang akan mengantar makanan untuk kedua anaknya.
“Iya, Ma. Aku udah paham, kok. Aku udah biasa ngelakuin kayak gitu kalau Adek tantrum.” Wina tak tahan mencibir pada mamanya karena nasihat ini sudah sangat sering dikatakan tiap kali meninggalkan Caleb dijaga oleh Wina seorang diri.
“Kamu sering lupa, makanya harus Mama ingatkan berulang-ulang kali. Jangan kira Mama nggak pantau kamu dari CCTV, ya. Kadang kebablasan ngasih HP ke Caleb sampai satu jam.”
Wina yang gemas dengan rentetan kalimat dari wanita berkulit sawo matang itu, mendekati Filiyana dan memeluk erat.
“Mamaku cerewet sekali.”
“Kalau nggak cerewet kamu nggak akan ingat,” balas Filiyana.
Punggung Wina terasa berat karena Daneswara yang baru masuk ke kamar ikut memeluk anak dan istrinya.
“Jaga diri baik-baik, ya. Mama dan Papa percaya kamu nggak akan macam-macam bawa cowok ke rumah,” bisik Daneswara di telinga anak gadisnya.
Wina melebarkan kelopak mata dan segera meminta papanya melepas pelukan. “Aku udah putus sama Owen, Pa.”
Daneswara terkekeh. Ia menyentil dahi Wina. “Jangan kira Mama dan Papa nggak tau, kalian masih pacaran… yang penting Mama dan Papa udah kasih tau konsekuensi pacaran, terserah mau dengar apa nggak. Kalau sampai hamil, kamu langsung keluar dari rumah ini hanya membawa bekal baju yang melekat di tubuhmu aja. Ijazah, buku tabungan, ATM harus ditinggalkan.”
“Papa ngomongnya kejauhan! Aku sama dia nggak pernah pacaran di tempat gelap!” seru Wina merengek, menutupi kepanikannya.
Kemarin saat Wina berpamitan ke sekolah dengan alasan mengembalikan buku di perpustakaan kalau tidak ingin ijazahnya ditahan, ternyata bertemu dengan Owen di mall. Di saat yang sama, Daneswara sedang meeting dengan klien di mall tersebut.
Daneswara hanya menatap anaknya dari kejauhan dengan perasaan sedih dan tak berniat melabrak anaknya saat itu juga. Ia tak ingin mempermalukan anaknya di depan umum. Saat pulang ke rumah, ia berdiskusi dengan istrinya dan mereka sadar kalau apa yang dilakukan Wina persis seperti mereka dulu saat masih remaja. Menganggap larangan adalah perintah.
Daneswara sering dilarang merokok oleh orang tuanya, tetapi diam-diam melakukannya. Filiyana juga demikian, dilarang pacaran, tetapi diam-diam pacaran dengan kakak kelasnya yaitu Daneswara. Beruntungnya, mereka berakhir sampai ke pelaminan.
Melihat masa lalu seperti itu, akhirnya mereka memilih untuk memantau dan rutin mengingatkan anak gadis mereka saja dan tak mengintimidasi seperti orang tua kejam sampai membuat anak menutup diri dari orang tua. Mereka tak mau anaknya lebih percaya pada pacarnya dan berakhir melakukan sesuatu yang akan disesali.
Wina tak mengantar orang tuanya ke bandara. Saat mobil orang tuanya pergi, tak sengaja matanya menangkap penampakan Lyon yang sudah berpakaian rapi tengah duduk di kursi teras, sedang menghentak kaki kiri yang baru dipasangi sepatu.
Saat Lyon mengangkat wajahnya, mereka bertukar tatap, tetapi Wina yang terlebih memutus kontak mata. Wina langsung berpura-pura membersihkan debu yang menempel di daun dari tanaman bunga ibunya, kebetulan berada di dekatnya.
“Yuk, kita berangkat sekarang, Nak. Mending kita lama di bandara daripada telat. Eh, kamu nggak pamit sama Wina?” tanya Maya begitu tak sengaja melihat Wina yang masih memerhatikan tanaman.
“Wina!” panggil Maya dengan nada riang.
Wina menegakkan badan sambil merutuk dalam hati karena tak cepat masuk ke rumah dan berakhir harus melihat lebih lama mantannya yang akan pergi ke Singapore hari ini.
“Mama dan papamu udah berangkat?”
“Udah, Tante. Barusan berangkat,” balas Wina sambil menghentak pelan kakinya. Tubuhnya semakin kaku menyadari Lyon tengah memerhatikannya.
“Kasihan, berarti kalian sendirian, ya? Maaf, ya, Tante nggak bisa pantau kalian karena harus ke luar negeri hari ini.”
Wina mengangguk, matanya melirik ke taman mengawasi adiknya yang sedang bermain-main mencabut rumput hias.