Beberapa bulan setelah kepergian orang tuanya, Wina mendapat pencairan asuransi jiwa atas nama Daneswara, asuransi kecelakaan dari maskapai, dan sumbangan dari rekan kerja orang tuanya. Total hampir 3 Miliar rupiah yang masuk ke rekeningnya. Jika ditambah dengan tabungan atas nama orang tuanya di saham, rekening bank, emas, dan deposito totalnya mencapai 12 miliar rupiah.
Seluruh tubuh Wina gemetar ketika mendengar total kekayaan yang harus ia kelola mulai dari sekarang. Seumur hidup ia hanya dipercaya memiliki tabungan sebanyak 10 juta, itu pun langsung habis dalam waktu satu bulan. Untuk ukuran anak SMA yang kebutuhan pokoknya masih ditanggung orang tua, Wina memang sangat boros.
Ia sering dimarahi oleh mamanya karena tak bisa mengelola uang dengan baik. Sekarang, setelah ditinggal pergi oleh orang tuanya, ia tak tahu cara mengelola uang sebanyak ini. Ia khawatir uangnya akan habis dalam jangka waktu satu tahun saja karena kecerobohannya mengelola uang.
Kedua orang tuanya adalah anak tunggal dan yatim piatu sehingga tak ada sanak saudara lagi yang bisa membimbimbingnya. Namun, ia beruntung memiliki tetangga sebaik orang tua Lyon yang mau membantu dan mengawasinya dalam penggunaan uang.
Andre Mulya, papanya Lyon berprofesi sebagai konsultan keuangan, membantu Wina memecah pos-pos pengeluaran dan mengajarinya cara mengelola keuangan. Pria berusia 50 tahun itu mengarahkan Wina menyimpan uang di jenis investasi yang mudah dipelajari dan rendah resiko seperti reksadana pasar uang dan deposito.
Setelah itu, Wina akan dibimbing untuk mempelajari instrumen investasi yang lebih tinggi penghasilan dan resiko, seperti saham jika ia sudah cukup siap mental kehilangan uang jika mengalami kerugian. Atau jika Wina ingin berbisnis, Andre akan membantu membuat konsep bisnis yang benar agar meminimalisir kerugian.
“Makan yang banyak. Tante masakin ayam bakar kesukaan kamu. Dihabiskan, ya,” kata Maya, membawa satu ekor utuh ayam bakar yang ia taruh dipiring untuk Wina.
Wina sedang bermain bersama Caleb di ruang tamu, buru-buru mengambil piring berisi ayam bakar itu.
“Nih, ada titipan dari Lyon buat kalian. Kemarin Om dan Tante kunjungi dia.”
Wina mengambil kantong berukuran medium sambil mengucap terima kasih dengan setengah hati. Saat ia membuka kantong itu, aroma cokelat menyapu hidungnya. Ada sedikit rasa sesak mengetahui Lyon masih ingat Wina sangat menyukai cokelat.
Namun, kebenciannya pada Lyon sudah mengakar sejak kepergian lelaki itu ke Singapore, ia berjanji tak akan mencicipi sedikit pun cokelat itu. Biar Caleb yang menghabiskan.
Ia menaruh dendam pada Lyon karena tak menghubunginya sama sekali sejak kabar jatuhnya pesawat yang ditumpangi orang tuanya sampai detik ini. Padahal laki-laki itu berada di grup alumni SD sampai SMA yang sama dengannya.
Setiap hari anggota grup itu selalu menanyakan kabarnya dan mereka ikut memantau perkembangan penemuan para korban pesawat jatuh karena bukan hanya Wina saja yang ditinggalkan oleh anggota keluarganya, melainkan ada satu orang temannya yang lain kehilangan kakaknya.
Wina tahu Lyon membaca semua pesan-pesan di grup, tetapi lelaki itu tak menangapi sama sekali. Bagi Wina, Lyon sudah bukan siapa-siapanya lagi. Hanya orang asing yang pernah mampir dalam hidupnya. Kenangan tentang orang itu sudah mati.
“Katanya semalam Caleb demam. Udah bawa dia ke dokter?” tanya Maya seraya menyentuh kening Caleb. Maya mengetahui kabar Caleb sakit karena dihubungi Wina yang bertanya tentang cara menurunkan demam pada anak-anak.
“Udah, Tante. Tadi pagi aku langsung bawa ke dokter anak terus udah dikasih obat. Bersyukur panasnya udah reda. Terima kasih, Tante atas rekomendasi dokter anak-nya.”
Maya merentangkan tangannya meminta Caleb masuk ke dekapan. Anak berusia tiga tahun itu bangun dari duduknya dan memeluk erat Maya. Ia terlihat sangat nyaman menikmati pelukan. Caleb juga rindu dipeluk mamanya.
Wina memalingkan wajah dan bergegas ke dapur untuk menyalin ayam bakar ke piringnya sekaligus melarikan diri agar ia tak hilang kendali, menitikan air mata di depan tetangganya itu.
Sesampainya di dapur, cairan bening itu tak bisa ditahan. Wina terisak sambil memindahkan ayam dan mencuci piring milik Maya. Ia masih belum bisa mengendalikan kesedihan ketika melihat ada orang tua menyanyangi seorang anak. Pikirannya akan otomatis mengingatkan kalau ia sudah tak bisa lagi merasakan hal itu selama-lamanya.
Rasanya masih seperti mimpi ia harus kehilangan kasih sayang orang tua dalam sekejap dan memaksanya menerima tanggung jawab besar mengurus adiknya seorang diri.
Dua minggu pertama sangat berat ia jalani. Wina merasa sedikit terhibur jika beberapa rekan kerja mamanya menengok karena mereka akan membawakan lelucon yang mengundang tawa. Namun, rasa hampa itu akan langsung hinggap di relung hatinya ketika mereka sudah pergi dan meninggalkan Wina sendiri bersama sang adik. Pada malam hari menjelang tidur, ia akan menangis bersama adiknya yang selalu memanggil nama orang tua sampai mereka terlelap.
Wina masih menerima kiriman katering setiap hari karena ia belum mahir memasak. Untuk mengurus rumahnya yang berlantai dua dan pakaian kotor, masih ditangani oleh orang yang bertugas membersihkan rumah. Walaupun tak jarang asisten rumah tangga infal itu sering memarahinya karena selalu menemukan rumah bagaikan kapal pecah. Banyak tumpahan makanan di lantai yang tak dibersihkan dan pakaian yang bercecer di mana-mana.
Selama ini untuk urusan memasak selalu ditangani oleh Filiyana. Wina hanya diizinkan mencuci piring, itu pun menggunakan dish washer. Mamanya memang terlalu memanjakannya.
Mengetahui pacarnya tidak seperti dirinya yang tahu mengerjakan pekerjaan rumah yang sederhana, Owen turun tangan memberi kursus kilat tentang cara mencuci piring dengan cara dicuci menggunakan sabun cuci dan dibilas dengan kran, serta mengajari cara menggoreng telur dadar, memasak mie instan, dan makanan sederhana seperti tumis kangkung serta sawi.
Merasa sudah sangat lama melamun di dapur, Wina segera menemui Maya dengan membawa piring yang sudah bersih.
Langkahnya berhenti ketika matanya menangkap pemandangan Caleb sedang ditimang oleh Maya. Adiknya punya kebiasaan tidur lebih sore kalau tidak tidur siang.
Lagi-lagi mata Wina kembali berembun. Ia seperti melihat gambaran mamanya pada diri Maya.
Wina membersihkan tenggorokan, memaksa senyum dan kembali berjalan mendekati Maya. “Tante, maaf aku lama di dapur. Maaf juga udah merepotkan Tante harus gendong Caleb.”
“Nggak apa-apa, Win. Tadi kelihatan udah ngantuk karena nguap beberapa kali. Ya, udah Tante inisiatif timang dia… senang banget bisa nidurin Caleb. Jadi kangen Lyon masih kecil… Tante nggak merasa direpotkan sama sekali. Anakku hanya satu dan sekarang lagi jauh, kehadiran kalian buat Tante nggak merasa kesepian.”
Keesokan paginya ketika Wina berada di dapur, sedang ingin mencoba membuat nasi goreng untuk pertama kalinya, tiba-tiba terdengar suara tangisan Caleb dari ruang keluarga.
“Kenapa, dek?” tanya Wina dengan nada khawatir ketika mendekati adiknya.
“Atit.” Caleb menunjuk kakinya dengan ucapan khas anak-anak yang berarti ‘sakit’.