“Permisi, Mbak,” sapa suara asing di depan pagar.
Wina yang sedang menyiram bunga langsung melepas selang setelah keran air sudah ditutup untuk menemui pria yang sedang memeluk buket bunga mawar merah dan boneka beruang warna cokelat berukuran besar.
“Dengan Mbak Wina?” tanya pria itu ramah.
Wina mengangguk dengan ekspresi bingung. “Iya, saya sendiri.”
“Ada kiriman buat Mbak Wina dari Mas Owen.”
Wina ragu-ruga menerima kedua benda itu. Kalau mengikuti ego sebenarnya ingin menolak, tetapi ia masih mempertimbangkan rasa kasihan pada pak kurir yang sudah jauh-jauh menerjang kemacetan, membawa kedua benda berukuran besar itu dengan susah payah.
Wina beberap kali hampir tersadung karena kesulitan membawa boneka dan buket itu dalam sekali jalan karena ukurannya berat dan hampir menutupi pandangannya. Sesampainya di ruang tamu, ia membuang kedua benda itu ke sofa begitu saja.
Ia mengambil ponsel yang diletakkan di meja, ingin menghubungi Owen, tetapi belum menekan layar, matanya menangkap sepucuk surat yang ditempel pada permukaan bunga.
Untuk Wina, pacarku.
“Maafkan aku udah keterlaluan. Memaksamu mengubah diri dan nggak menghargai batasan yang kamu bangun. Aku janji akan lebih menghargai dan menyayangimu seutuhnya. Hari ini aku kuliah sampai malam, aku kirim bunga dan boneka ini sebagai permintaan maaf. Tolong, jangan putuskan hubungan kita. Aku masih sayang sama kamu.”
Hati Wina seperti tercubit ketika menatap barisan tulisan itu. Ia masih sebal dengan Owen karena mencoba melanggar batasan yang sudah mereka sepakati tentang sentuhan fisik, tetapi hatinya mulai luluh ketika membaca permohonan maaf yang tulus dari Owen.
Sebenarnya tadi malam ia juga tak serius mengatakan putus. Kata itu diucapkan saat dikuasai emosi. Wina sadar, ia sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Owen. Baru satu malam tak mendengar suara pacarnya lewat telepon saja, ia sudah gelisah dan merasa sangat kesepian.
Memang sudah menjadi rutinitas harian, setiap malam sebelum tidur, Owen selalu mengiringnya dengan suara lembut dan merdunya dengan cerita dan nyanyian sampai Wina tertidur. Ada kalanya, ketika Caleb sedang rewel di malam hari, Owen akan menemaninya lewat telepon walaupun tanpa bicara. Kehadiran Owen walaupun lewat virtual membuat Wina tak merasa sendiri dan ketakutan di rumahnya yang sepi.
Owen termasuk laki-laki langka yang selalu sabar mengajarinya masak, dan tak pernah mengeluh ketika menjadi sasaran emosinya yang tak stabil akibat kesakitan di tiap datang bulan, dan membawakannya minuman pereda nyeri haid. Semua kebaikan Owen itu pantas diberi kesempatan kedua.
Wina mengambil ponsel dan menghubungi pacarnya.
“Kamu udah maafin aku?” tanya Owen di seberang sana yang menjawab panggilan sangat cepat pada dering kedua.
Wina mengangguk walaupun tak bisa dilihat Owen. “Iya, tapi lain kali jangan maksa cium aku. Nggak sopan dan bisa aku laporkan ke polisi karena pelecehan seksual.”
“Maaf, aku khilaf,” ungkap Owen dengan suara lirih.
“Semalam kamu nakutin, tau gak, sih? Aku udah mau teriak biar kamu digebukin para tetangga.”
Owen menyampaikan kata maaf lagi. Dari suaranya terdengar jelas penuh penyesalan. Ia juga tak mengerti mengapa tiba-tiba muncul keinginan melampiaskan hasrat mencium pacarnya.
Padahal sebelumnya, jika keinginan itu datang ia bisa mengendalikan diri dengan mengalihkan meminta izin ke toilet untuk membasuh wajahnya. Memang semalam ia kerasukan setan nafsu makanya berkata kurang ajar pada pacarnya.
“Aku nggak akan mengulaginya lagi… jadi, kita udah baikan?” tambah Owen.
“Iya, kita udah baikan.” Wina menutup ucapannya dengan senyuman lebar.
Terdengar suara jeritan tertahan dari Owen, yang sedang berada di kelas sedang menunggu dosen yang belum masuk. Wina tertawa membayangkan wajah Owen yang ekspresif itu.
Hal yang disukai Wina dari Owen adalah laki-laki itu sangat mudah mengekpresikan diri. Jika marah, sedih, kecewa, Owen akan mengungkapkannya lewat kata-kata dan mimik wajahnya akan kelihatan menyiratkan perasaannya.
Lain halnya dengan Lyon, Wina sulit menerka kapan lelaki itu ketika sedang marah, senang, dan sedih. Ada kalanya Lyon sedang tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa, sebenarnya ia sedang marah. Ada juga ekspresi dingin, padahal ia tak sedang marah melainkan sedang sedih.
Makanya dulu Wina dengan seenak hati meminta Lyon menemaninya karena cowok itu akan menerima ajakan Wina dengan senyuman, padahal sebenarnya Lyon keberatan menemaninya.
Setelah pembicaraaan mereka berakhir, Wina membuka galeri di ponselnya, melihat foto dirinya bersama Owen. Ia mengelus bagian wajah pacarnya. Hatinya terasa menghangat menatap senyuman lebar dengan lengung pipi sebelah kanan cowok itu.
Kedua sudut bibirnya pun ikut menyambut senyum itu. Wina harus akui kalau ia sangat menyayangi Owen sejak cowok itu selalu setia menunggunya di kelas dan mau mempertahankan hubungan mereka di saat restu tak diperoleh.
Wina pernah curiga pada Owen saat mendekatinya hanya ingin membuat Lyon cemburu. Kenyataannya, Owen terbuka padanya kalau sudah menyukainya sejak di kelas 10. Berawal dari rasa kagum akan keberanian Wina melawan orang-orang yang pernah menghina fisiknya karena berkulit gelap dan rambut keriting, beberapa kali melihat Wina di kantin suka mentraktir teman-temannya yang berasal dari golongan keluarga tak mampu.