Menolak Move on

Nona Adilau
Chapter #7

Bab 7

Selain hari kelima menstruasi yang masih membuat perut Wina seperti tertusuk jarum walaupun tak separah di hari pertama dan kedua, hadiah snack dari Lyon khusus untuk Caleb, dan Lyon yang menolak melihat wajahnya pada saat video call dengan Maya tadi malam, sukses menjadi penyebab mood Wina berantakan.

 Sejak bangun pagi sampai jam makan siang, Wina tak bersemangat melakukan apa pun. Seharian ini ia hanya tidur di sofa depan televisi, dan hanya bergerak mengambil makanan yang dipesan online.

 Ia juga membiarkan Caleb menangis lama hanya karena tak ingin mengganti channel dari film action Hollywood ke serial kartun sesuai permintaan adiknya.

 Suara tangis Caleb, suara baku tembak dari televisi berlomba menjadi pemenang. Ditambah lagi suara bel rumah yang dibunyikan oleh seseorang berkali-kali, tak diacuhkan oleh Wina.

  “Tuh, ada yang datang marahi kita karena Adek nangis sampai kedengaran ke tetangga.” Wina sengaja menakuti adiknya.

 Caleb diam sejenak. Kepalanya bergerak ke arah pintu dan wajah kakaknya bergantian dengan tetes air mata yang sedang menggantung di pelupuk. Kedua sudut bibir bocah laki-laki itu perlahan melengkung ke bawah dan pipinya kembali dialiri air bening itu.

 Wina mengacak rambut dan menjerit, “Adeeek, bisa diam nggak?!”

Bukannya berhenti, suara tangis Caleb berubah menjadi jeritan. Wina pun ikut-ikutan menjerit.

 Di tengah situasi yang panas di antara kakak-beradik ini, ponsel Wina berdering.

 “Kenapa?” tanya Wina galak.

 “Buset, aku salah apa, Beb, kenapa aku dibentak?” sahut Owen dengan intonasi yang ikut meninggi.

 Wina mengembuskan napas kasar. “Mood-ku lagi nggak bagus. Ditambah Adek lagi tantrum.”

 “Aku di depan, buka pintunya.”

 Dengan langkah gontai, Wina berjalan menuju ruang tamu dan membuka pintu. Wajah kusut ia tunjukkan untuk pacarnya yang mengenakan kemeja putih lengan pendek dan celana jeans biru pucat.

 “Senyum dong, Beb. Masa pacarnya datang wajahnya kayak gitu.”

 Wina memutar bola mata dan menghempas tubuhnya di sofa, tetapi tak mempersilakan Owen masuk.

 “Aku nggak disuruh masuk?”

 “Masuk aja, Owen. Gitu aja musti aku suruh!” sentak Wina dengan ekspresi semakin menyeramkan. Dahinya menukik, matanya tajam melirik cowok itu.

 Owen mengangkat jari telunjuk dan tengah sambil tersenyum lebar. “Peace, Beb….” Ia memandangi Wina dengan raut khawatir. “Bukannya kamu sakit hanya sampai hari ketiga aja?”

 “Kadang sampai hari kelima masih sakit, tapi nggak tau nih padahal darah yang keluar beneran dikiiit banget, tapi pinggang, perut, dan kepala nyut-nyutan mau pecah kayak lagi menstruasi hari pertama. Mana adikku tantrum dari pagi… Sumpah, Owen, aku nggak kuat.” Wina memijat pelipisnya dan satu tangan yang lain memijat pinggang.

 Tanpa diminta, Owen berinisiatif duduk di samping Wina dan memijat kepala gadis itu. Wina menutup mata merasakan pijatan lembut.

 Owen memindahkan pijatan ke bahu lalu ke punggung. Walaupun rasa sakit di tubuhnya masih ada, tetapi ajaibnya Wina merasa ada ketenangan yang sedang melingkupinya. Namun, perasaan itu hanya menetap sebentar karena telinganya menangkap suara debaman kencang dari dapur.

 Memang Caleb sudah tak menangis lagi saat Wina meninggalkannya sendiri di ruang tengah, tetapi firasat buruk langsung mampir di benaknya. Pasti sang adik sedang membuat kekacauan.

 Benar saja, mangkuk kaca yang berisi sup ayam pemberian Maya yang diletakkan di meja, pecah berkeping-keping di lantai.

 “Adeeek!” bentak Wina dengan lengkingan tajam.

 Wina menarik adiknya keluar dari dapur dengan gerakan kasar. Seketika tangis Caleb pecah. Anak laki-laki itu memegang tangan kanannya begitu dihempas oleh Wina di dekat pintu masuk dapur.

 Owen ikut menyusul tak berusaha membujuk Caleb atau berinisiatif mengganti baju adik pacarnya yang basah karena bermain air keran di tempat cuci piring. Cowok itu hanya memerhatikan dari ambang pintu dapur.

 Wina menyuruh Caleb kembali ke ruang keluarga bersama Owen, setelah itu ia membersihkan dapur sambil mengomel dan menitikan air mata. Rasanya ia capek sekali menjalani hidup seperti ini. Mentalnya tak pernah siap menanggung kacaunya hidup ini.

 Rasanya ia ingin meminta Tuhan mengambil nyawanya saat ini juga, biar bisa bersenang-senang dengan kedua orang tuanya.

 Dalam bayangan ia pikir semakin besar adiknya, semakin mudah diajari disiplin, tetapi kenyataannya berbeda. Adiknya yang sudah bisa mempertahankan kemauan, belum lagi mereka sama-sama keras kepala, membuat Wina hampir menyerah.

Pernah keinginan menitipkan Caleb di panti asuhan muncul ketika tak bisa mengatasi anak laki-laki itu. Namun, ketika ia sudah bisa berpikir jernih, Wina akan memeluk adiknya dan menyampaikan permohonan maaf karena belum bisa jadi kakak yang sabar.

“Kita jalan-jalan, yuk. Aku traktir kalian makan di luar,” ajak Owen setelah Wina selesai membereskan semua kekacauan yang dibuat sang adik.

Walaupun kondisi tubuhnya sedang tidak fit, Wina menerima ajakan Owen karena ia juga butuh hiburan. Ia akan menjadi gila kalau berdiam diri di rumah bersama sang adik.

Wina tak memiliki firasat buruk pun ketika mobil yang dikemudikan Owen keluar dari kompleks rumahnya. Namun, ketika mobil itu masuk ke sebuah perumahan yang berjejer rumah-rumah megah, ia merasa hari ini adalah hari terbutuk dalam hidupnya. Ia merasa ditipu.

Tujuan mereka bukan ke mall, melainkan ke rumah Owen di kawasan perumahan elit. Jantung Wina rasanya ingin terbang dari tempatnya, keringat dingin mengaliri pelipisnya, kepalanya kembali nyut-nyutan, dan perutnya serasa ditusuk-tusuk. Ia melayangkan protes keras pada pacarnya, tetapi hanya dibalas cengiran saja.

Ketika pintu dibuka oleh asisten rumah tangga, Owen menarik tangan Wina masuk ke rumah. Wina menahan napas beberapa detik saat berada di ruang tamu yang luas ini. Saking luasnya, kayaknya Wina bisa bermain bola bersama Caleb.

Perabotan didominasi warna ungu muda. Mulai dari sofa, karpet, gorden, dan anggrek berbunga ungu. Rumahnya rapi sekali, berkebalikan dengan rumah Wina yang sangat tak layak menerima tamu karena siapa pun yang datang, pasti akan langsung pusing melihat betapa berantakannya rumah itu.

“Ma, aku sama Wina dan adiknya.” kata Owen lewat telepon.

Lihat selengkapnya