Menolak Move on

Nona Adilau
Chapter #8

Bab 8

Hubungan Wina dan Owen sudah berjalan satu tahun. Bagi Wina, berpacaran dengan Owen yang saat ini sedang sibuk mempersiapkan pendaftaran masuk semester tiga di program studi Teknik Mesin Universitas Indonesia, tidaklah membosankan. Walaupun lebih banyak berpacaran di rumah dan hanya hitungan jari berkencan di luar--Caleb turut serta di setiap kencan--mereka tetap merasa bahagia.

 Wina juga bukan perempuan yang selalu menuntut Owen menjadi pasangan yang sempurna. Ia tak masalah harus bertemu satu minggu sekali di akhir pekan. Bahkan pernah satu bulan mereka tak bertemu, tetapi setiap malam selalu bertukar kabar lewat telepon. Wina juga menjadi pacar yang mendukung apa pun yang dicita-citakan Owen di masa depan.

 Melihat Owen yang sangat bersemangat sekolah, mendengar Maya yang selalu bercerita kalau Lyon terus mencetak prestasi, tak membuat Wina ingin melanjutkan kuliah di tahun ajaran baru ini. Sejak SMP ia sudah tak begitu antusias sekolah di lembaga formal. Ia sekolah karena terpaksa hanya untuk memenuhi wajib belajar 12 tahun dari pemerintah.

 Sebenarnya ia mulai merasa bosan dengan rutinitas selama satu tahun yang itu-itu saja. Ia sudah tak memiliki teman yang bisa diajak jalan-jalan karena semua sahabat semasa SMA-nya kuliah di luar kota. Ia juga sudah tak berkeinginan jalan-jalan ke mall untuk melepas penat seperti kebiasaannya dulu.

 Kepergian orang tuanya sangat mengubahnya. Dulu suka sekali belanja, sekarang untuk mengeluarkan uang seratus ribu rupiah saja harus dipikir matang-matang. Ia begitu takut kekurangan uang.

 Sebenarnya dua bulan terakhir ini ia mendapatkan tawaran menjadi foto model dari rekan bisnis mamanya yang akan meluncurkan produk kecantikan dengan mengusung tema, ‘kata cantik adalah milik semua perempuan, apa pun suku, jenis kulit, dan bentuk rambut’. Bayarannya lumayan untuk membeli jajan buat Caleb. Namun, Wina tak memiliki keinginan untuk menekuni bidang itu.

 Sekarang ia sedang giat-giatnya pada kesukaan baru, yaitu meracik nasi bakar yang sudah beberapa kali ia coba belum menemukan cita rasa yang pas. Sekadar informasi, keahlian memasak Wina sudah meningkat tajam. Ia sudah bisa memasak macam-macam masakan walaupun harus melihat cara membuatnya di internet dan beberapa kali rasa masakannya sedikit mengecewakan.

 “Tante, ganggu nggak?” tanya Wina menempel pada pagar rumah Maya sementara pemilik rumah sedang duduk santai di beranda rumahnya.

 Maya menghampiri Wina. “Nggak, Tante lagi senggang. Kenapa?”

 Wina menggaruk belakang telinganya yang tak gatal sambil mengeluarkan cengirannya. “Tante mau nggak cobain nasi bakar buatanku, setelah itu tolong kasih penilaian. Apa aja yang masih kurang.”

 Maya mengangguk antusias dan mempersilakan gadis berkulit cokelat itu masuk.

 Maya membuka bungkusan nasi bakar yang terbuat dari daun pisang dan mengibas uap panas yang menguar dari nasi dengan tangannya.

 “Harum banget, Sayang. Aduh, Tante langsung ngiler.” Maya menatap nasi bakar dan Wina bergantian dengan raut wajah penuh antusias.

 Maya mengambil satu sendok lalu mengunyah. Pada kunyahan ketiga ia membuka lebar kelopak matanya. “Wina, ini enak banget. Tekstur nasinya pas, rasa gurih bercampur pedas, bumbu-bumbunya juga meresap. Ikannya enak banget.”

 Maya menelan makanan itu, kemudian mengambil lauk satu per satu untuk merasakan cita rasanya.

 “Ini sih 9/10 dari Tante. Kok tumben kamu buat nasi bakar?”

 Wina memamerkan susunan giginya. “Aku udah latihan buat nasi bakar sejak tiga bulan yang lalu, Tante. Sebenarnya ada dua macam nasi bakar, tapi untuk hari ini aku cobain Tante satu aja. Besok baru aku kasih menu satunya.”

 “Boleh, besok bawa aja, ya.”

 “Oke, aku nggak sabar mau jualan nasi bakar ini.”

 “Emangnya tabungan kamu udah menipis?” tanya Maya masih menikmati nasi bakar itu.

 “Masih cukup, Tante. Tapi aku pengen lebih produktif, mumpung masih muda sekaligus melatih diri cari uang. Malu juga hanya berpangku tangan dan menikmati warisan orang tua.”

 “Loh, buat apa malu, warisan itu hak kamu. Orang tua kamu juga pasti bahagia, tahu anaknya memakai uang mereka dengan bijaksana dan nggak foya-foya.”

 “Aku ingat kata Mama, ‘nggak apa-apa kalau nggak mau kuliah, yang penting harus kerja, biar mengerti caranya menghasilkan uang karena warisan orang tua bisa aja habis, tapi ketika kita jago menghasilkan uang dan mengelolanya pasti jumlah warisan itu akan bertambah berkali-kali lipat’. Dan aku nggak mau jadi orang yang nggak bisa berbuat apa-apa di saat, amit-amit, tabungan menipis.”

 Filiyana dan Daneswara adalah yatim piatu yang ditinggalkan warisan hanya berupa rumah dari masing-masing orang tua. Setelah menikah, mereka sepakat menjual peninggalan orang tua dan uangnya dipakai untuk membangun sekolah model dan kantor pengacara yang menghasilkan uang berkali-kali lipat dari harga jual properti itu. Dari contoh itulah Filiyana menasihati Wina agar pandai mengelola warisan orang tua.

 Maya menatap Wina bangga, matanya berkaca-kaca. Ia mengusap rambut yang semalam dicatok milik anak gadis itu dengan gerakan lembut.

 “Tante bangga sama kamu. Masih muda, tapi bisa menjalankan tanggung jawab sebesar ini. Pokoknya kalau minta bantuan apa pun, Tante akan siap bantu.”

 Wina meletakkan tangannya di pelipis dengan sikap hormat. “Siap, Komandan. Aku udah tanya-tanya Om Andre tentang strategi bisnis. Tenang aja, aku yakin bisnisku pasti minim kendalanya.”

 Bukan hanya Maya saja yang dijadikan percobaan untuk merasakan masakannya. Ia juga memberi nasi bakarnya pada satpam kompleks dan dua orang tetangga lainnya. Semua menunjukan respon yang sama, yaitu memuji rasa nasi bakar buatan Wina.

 Sekarang tinggal Owen yang belum mencoba nasi bakar buatannya. Wina penasaran bagaimana respon pacarnya itu. Makanya untuk pertama kalinya, Wina memaksa Owen mengunjunginya di luar jadwal pacaran.

 “Gimana rasanya?”

Lihat selengkapnya