Menolak Move on

Nona Adilau
Chapter #10

Bab 10

Wina hanya bisa tertidur pulas dari pukul dua sampai tiga subuh--setelah tersadar dari mimpi aneh yang menghampiri--ia tak bisa memejamkan mata sampai matahari terbit. Bahkan ia pun tahu saat Lyon akan ke bandara karena suara cowok itu terdengar sampai ke kamarnya yang menghadap rumah Lyon.

 Mimpi itu tentang Lyon yang mengejarnya sambil membawa pukat harimau. Mantannya itu meneriakinya dengan tuduhan mencuri bunga kesukaan maminya, padahal Wina tak mengambil barang apa pun dari kediamana tetangganya itu.

 Hal yang mengenaskan adalah Wina tak mengenakan sendal sampai kakinya melepuh terkena aspal panas yang dipanggang matahari. Akhirnya Wina memilih menyerah ditangkap oleh Lyon.

 Wina meringis merasa kepalanya begitu berat diangkat seperti dihantam kayu balok. Ia mengambil ponsel yang berada di sampingnya dan mencari nomor Owen. Wina setia menunggu panggilannya dijawab, tetapi pacarnya tak mengangkat teleponnya. Sampai lima kali panggilan, tak ada tanggapan sama sekali.

 Wina butuh Owen saat ini, keadaannya sangat tak baik-baik saja. Ia butuh ditenangkan sekaligus ingin menyampaikan rasa bersalah karena sudah mengizinkan Lyon menyentuhnya. Ia ingin mengaku pada Owen tentang apa yang terjadi tadi malam.

 Wina mengetik pesan pada Owen.

 Owen, kalau udah nggak sibuk tolong telepon aku, ya.

 Wina mengalihkan tatapan ke samping, memerhatikan adiknya yang masih tidur. Caleb juga baru bisa terlelap pada pukul lima subuh. Wina bersyukur kehadiran Caleb membuatnya bisa menahan diri tak mengobrak abrik kamar karena marah pada Lyon.

 Wina mengusap kepala adiknya dan tak lama ia kembali berbaring dan jatuh tertidur.

 Jam dua belas siang ia baru bangun dan mendapati Caleb sudah tak ada, ia bergegas turun dari tempat tidur. Namun, langkahnya terhenti dan ia langsung menjerit ketika merasakan sedang menginjak sebuah benda tajam. Ia menunduk dan menemukan ada pecahan botol menggores tepi kakinya.

 Bisa-bisanya ia tak sadar ketika adiknya mulai berulah mengeluarkan semua pakaian dan sepatu dari lemari, menjatuhkan parfum, serta peralatan make up di meja riasnya ke lantai.

 Kelopak matanya membulat ketika matanya menyapu sekeliling kamar yang hancur lebur seperti baru saja dihantam badai Seroja. Sementara pintu kamar sudah terbuka lebar.

 Dengan langkah tertati Wina berjalan setengah lari mencari adiknya. Jantung Wina memompa kencang ketika mendapati pintu depan terbuka.

 “Caleb… Adek… Adeeek!” Wina berteriak kencang setelah keluar dari halaman rumahnya.

 Ia berjalan mencari Caleb tanpa sendal bahkan mengabaikan rasa sakit di kakinya. Sebenarnya kompleks ini sangat aman karena selama ia tinggal, belum pernah mendengar ada kasus penculikan atau pencurian yang dialami oleh para penghuni kompleks rumah ini.

Namun, Wina tetap saja khawatir akan segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi, adiknya dibawa pergi oleh orang asing yang kebetulan lewat saat Caleb keluar dari halaman rumah. Soalnya Caleb termasuk anak yang tak sulit didekati oleh siapa saja. Ia akan tersenyum manis menyambut siapa pun yang mengajaknya bermain.

Di tengah kekalutan menghilangnya sang adik, dari kejauhan ia melihat satpam komplek menggendong Caleb dari pos satpam yang letaknya bisa dilihat dari depan rumah. Seketika napasnya berembus lega.

“Caleb!” panggil Wina sambil meringis menyadari kakinya sudah berdarah.

Melihat kakaknya, Caleb berontak minta diturunkan. Anak laki-laki itu berlari kecil ke arah Wina dengan senyum lebar, seolah tak menyadari kalau kobaran api amarah sedang melingkupi kakaknya.

Caleb memeluk kaki kakaknya dan langsung minta digendong. Namun, Wina tak mau menuruti permintaan adiknya. Ia hanya menggengam tangan sang adik karena ia ingin memberi hukuman biar Caleb tahu lain kali tak boleh keluar rumah tanpa pamit.

“Gimana adik saya bisa sama Pak Samsul?” tanya Wina pada satpam yang sudah bertugas selama 11 tahun menjadi kepala keamanan di kompleks ini.

“Tiba-tiba aja Caleb muncul di pintu pos. Saya juga kaget gimana anak ini bisa jalan sendiri sampai ke sana.”

“Saya lagi tidur, Pak. Bangun-bangun anaknya udah nggak ada.”

Wina berjongkok agar sejajar dengan adiknya.

“Adek, lain kali kalau keluar rumah harus pamit sama Kakak, ya. Kalau diculik orang jahat gimana?”

“Nggak, aku main sama Om,” balas Caleb dengan kata-kata yang sudah jelas diucapkan. 

Satu bulan sebelum ulang tahunnya yang keempat, Caleb sudah lancar bicara bahkan mengucapkan huruf R juga sangat jelas. Semua berkat Wina yang selalu rajin membacakannya buku pada malam hari sebelum tidur dan mengajak Caleb bicara tentang apa pun itu.

“Pokoknya mulai sekarang nggak boleh keluar rumah tanpa pamit. Ingat?”

Caleb mengangguk seolah paham ucapan kakaknya.

“Mbak itu kakinya berdarah.” Pak Samsul menunjuk kaki Wina.

Wina menunduk lalu membalas, “Iya, Pak. Setelah ini akan saya obati.”

Lihat selengkapnya