2022
Tak terasa tiga tahun sudah Wina menjalani hidup tanpa pasangan dan memilih fokus pada bisnisnya. Ternyata keputusan itu ada gunanya juga. Terbukti, dari usaha rumahan kini berkembang memiliki satu ruko yang disewa karena ingin menjangkau lebih banyak pelanggan yang tidak terbiasa membeli makanan secara online.
Selain itu, menu makanan nasi bakar yang dijual di ruko juga lebih bervariasi lauknya. Wina juga membuka lapangan pekerjaan dengan mempekerjakan lima orang karyawan.
Caleb juga sudah berusia tujuh tahun di kelas satu sekolah dasar di sebuah sekolah dasar swasta tempat yang sama dengan Wina waktu masih SD. Jarak sekolahnya hanya sekitar 15 menit jika menggunakan kendaraan beroda dua. Setiap pagi sebelum ke ruko, Wina akan mengantar adiknya dan pulang akan diantar oleh mobil dari jasa penjemputan anak sekolah.
Wina jelas tak menyangka bisa melangkah sejauh ini. Dari anak manja yang tak mengerti tentang kerasnya hidup, dalam waktu sekejap dipaksa belajar beradaptasi oleh keadaan. Walaupun harus berdarah-darah, dan sekarang sedikit demi sedikit hidupnya jauh lebih baik dari sebelumnya.
Hari ini Wina berada di sebuah stasiun televisi untuk menghadiri undangan wawancara infotainment yang dikemas dalam bentuk talk show. Mereka ingin Wina menceritakan perjuangan hidupnya.
Nama Wina dikenal karena ada salah seorang teman SD-nya yang sekarang menjadi content creator, dengan sukarela membuat konten tentang perjuangan Wina sebagai anak yatim piatu yang berhasil membangun usaha kuliner dari nol sampai memiliki penjualan setiap hari minimal seribu buah nasi bakar. Tak disangka konten itu viral dan dibahas di mana-mana.
Makanya banyak media yang menghubungi Wina minta diliput. Namun, Wina banyak menolak diwawancarai langsung karena ia tak nyaman berbicara di depan umum. Hanya infotainment ini saja yang disetujuinya untuk diwawancarai karena ia sangat mengidolakan pembaca acaranya, yang dulu mantan model internasional seperti mamanya.
Wawancara berjalan dengan baik, semua pertanyaan bisa dijawab dengan mudah. Wina tak meneteskan air mata sedikit pun ketika diminta menceritakan tentang perasaannya saat kehilangan orang tua. Ia tak ingin menjual air mata untuk mendulang simpati publik.
Bukan berarti orang-orang yang bersedih adalah orang yang mencari perhatian, tetapi ia tak mau lagi dikasihani. Sudah cukup kenyang mendengar kata-kata mengasihaninya dari orang-orang. Ia ingin menunjukkan kalau ia adalah sosok yang kuat. Bukan perempuan merepotkan dan manja seperti kata Lyon dan Owen.
Awalnya acara berjalan dengan suasana yang menggembirakan, tetapi sampai pada pertanyaan satu ini, membuat Wina merasa tak nyaman. “Kita berandai-andai aja, nih, misalnya orang tuamu masih ada, kira-kira kamu tetap jadi pengusaha?” tanya pembaca acara itu.
Wina menegakan punggung dan menaikan kaki kanan bertumpu ke kaki kiri, kedua tangannya ia truh di atas lutut. “Mungkin aku masih jadi mahasiswa di luar negeri atau bisa jadi aku kuliah di dalam negeri, tapi ngambil kampus swasta karena nggak mau ribet ikut SNMPTN.
“Mungkin beberapa kali aku akan mengulang semester karena nilaiku nggak bagus… aku kuliah hanya memenuhi tuntutan orang tua, sambil menghamburkan uang, tapi orang tuaku nggak marah. Mereka hanya bilang ‘nggak apa-apa, Nak. Yang penting kamu jadi sarjana udah lebih dari cukup.’”
Pembawa acara mengeluarkan tawa kerasnya. Tak menyangka dengan jawaban Wina.
“Berarti ada hal positif yang bisa kamu petik dari kepergian orang tuamu, kamu jadi orang yang lebih mandiri dan bisa cari uang sendiri?”
Wina menahan diri tak melempar tatapan sinis. Ia tak suka pertanyaan itu. “Walaupun kata orang, selalu ada hal baik yang bisa kita ambil dalam setiap musibah, tapi aku masih belum bisa melihat hal baik yang terjadi dalam hidupku sepanjang tiga tahun ini. Aku jadi mandiri karena keadaan. Kalau disuruh memilih, aku tetap ingin orang tuaku ada. Walaupun aku berakhir jadi anak yang gak berguna dan hanya menghamburkan uang orang tua.”
Wina mengembuskan napas pelan dari mulutnya sambil menetralkan dadanya yang bergemuruh. Rasanya sakit sekali jika selalu disuruh memikirkan hal-hal positif dari kepergian orang tuanya. Padahal hidupnya masih dijalani dengan penuh duka.
Sudah empat tahun berlalu, tetapi hatinya belum rela mengikhlaskan kepergian orang tuanya. Ia tahu hal ini tak baik untuk mentalnya, tetapi ia ingin diberi kesempatan menikmati rasa sedih ini entah sampai kapan atau mungkin tak akan berakhir.
“Gimana perasaanmu saat mendengar berita kehilangan orang tua, apa yang kamu bayangkan saat itu?” tanya pembawa acara itu dengan wajah yang terlihat sedih. Seolah sedang menanti cerita sedih dari narasumber.
Wina mengulas senyum samar, lalu terkekeh kecil sambil geleng-geleng sebelum menjawab, ”Pastinya saya nggak tertawa terbahak-bahak, ya, Kak.…” Wina menggantung ucapannya lalu membuang muka.
Wina kembali memusatkan perhatian pada pembawa acara, tetapi tak membuka suara sama sekali. Sesaat suasana berubah tegang. Pembaca acara itu juga ikut terdiam.
Selang beberapa detik kemudian, pembawa acara itu tertawa salah tingkah, menyadari sudah menanyakan hal yang tak perlu dilontarkan pun semua orang sudah mengetahui jawabannya.
“Ya, jelas orang pasti akan sedihlah saat mendengar berita kematian orang tua kita. Duh, maaf, ya, Wina.”
Wina kapok. Ini adalah pengalaman pertama dan akan menjadi pengalaman terakhir masuk siaran televisi nasional. Lebih baik ia kotor-kotoran di dapur selama 12 jam, bermandikan bumbu nasi bakar, daripada dandan rapi lima jam di acara yang mengorek luka dan privasinya. Memang tak sepenuhnya salah acara itu, ia yang sukarela menerimanya. Hanya saja ia tak mau jika di masa depan manghadapi resiko ini.
Wina masuk ke mobil Ruli yang setia mengantarnya sambil menggeretu. “Aku nggak mau lagi diundang wawancara sama siapa pun. Mereka tuh kayaknya emang lebih peduli menggali kesedihanku. Kalau belum nangis akan ditanya sampai aku bisa menjatuhkan air mata.”
Sambil menyalakan mesin mobil, Ruli membalas, “Apa aku bilang. Acara itu emang suka banget menjual kesedihan bintang tamu. Kamu sih, terima tawaran hanya karena pengen ketemu pembawa acaranya.”