Menolak Takdir

Kinanthi (Nanik W)
Chapter #1

1

1


“Tidak marah, Sayang?” lelaki itu mendekat ke arah isterinya.

 Wanita itu tengah berada di balkon. Ia duduk di kursi yang sengaja diletakkan di situ. Siku lengannya bertumpu pada pagar balkon dengan jemari mengepal yang digunakan untuk menyangga dagu. Pagi itu terasakan cerah. Sinar mentari pagi menerobos dedaunan, menembus bening embun yang segera memancarkan aneka warna. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Bening butiran embun diterpa sinar mentari, dari kejauhan bak butiran permata indah yang berserak di tanah air tercinta.

“Tidak. Untuk apa marah? Memang aku pernah marah?” sahutnya sambil menoleh ke arah suaminya.

Ia kembalikan pertanyaan suaminya sambil menatapnya. Tubuh suaminya yang berdiri di belakangnya, membuat kepalanya tepat berada di antara kedua pangkal paha suaminya. Ia pun menyandarkan kepalanya di situ sambil meraih jemari suaminya,

“Tapi ini ikut liar tidak ya?” godanya sambil menekankan kepalanya dengan lembut ke arah benda yang pagi itu terasakan mengeras. Beberapa saat ia menikmati suasana itu sambil meraih kedua lengan suaminya yang segera diletakkan ke dadanya.

“Kopimu sudah dingin?”tanya isterinya sambil menikmati lalu lalang kendaraan di jalan tol. Lalu lalang yang terlihat jelas dari balkon apartemen yang mereka tempati.

“Sudah kuminum. Begitu aku pulang, dirimu sudah tidur pulas. Aku terbangun merasa kehilanganmu di sisiku. Ternyata melamun di balkon sepagi ini setelah subuhan. Aku tidak dibangunkan pula. Kukira marah,”jawab suaminya sambil tetap berdiri di belakangnya.

Ia membiarkan kedua lengan dan tangannya diletakkan ke dadanya oleh isterinya. Wanita tersebut bahkan memegangi lengan suaminya dengan tangan kiri dan mengunci tangan suaminya yang tengah ditempelkan di dadanya, dengan tangan kanannya, agar tidak bergerak.

“Aku melamunkan apa? Tahu nggak?” tanya isterinya.

“Mana aku tahu. Memangnya aku peramal?”jawabnya sambil masih berdiri di belakang isterinya.

“Aku heran. Mengapa Kamu mau menikahiku? Bukankah isu buruk seolah ditimpakan kepadaku, ibarat gunung yang menguburku hidup-hidup?”

“Jangan berburuk sangka,”kilahnya,”Bukankah kaum muda pun banyak yang mau kepadamu? Bukan hanya aku.”

“Tapi, umumnya mereka mokondo. Kamu kan pekerja keras,”jawab isterinya lalu menarik lengan suaminya agar duduk di kursi sebelahnya.

Ia kemudian menyandarkan kepala ke bahu suaminya sambil mengupas buah apel. Irisan pertama disuapkan ke mulut suaminya, baru kemudian irisan kedua diarahkan ke mulutnya. Irisan ketiga kembali diarahkan ke mulut suaminya. Ketika bibir suaminya terbuka siap menerima irisan apel ketiga, perempuan itu malah menyodorkan bibirnya. Jadilah, pagi itu mereka berciuman lama di balkon.

“Seperti masa pacaran ya?” kata suaminya kemudian setelah terengah-engah dan menggumam. Liar betul pagi ini padahal kukira ia marah aku pulang malam. Marah lalu seolah malah memerkosa aku ataukah ia memang tidak marah? Ah, entahlah.

“Kapan kita pacaran sampai segitunya? Bukankah dulu kita taaruf?” goda isterinya yang bersyukur tidak pernah mengunggah kebersamaan mereka ke media sosial sebelum sah sebagai suami isteri.

“Aku bahkan seperti mimpi ketika kamu mengajakku menikah. Padahal aku merasa sudah tidak layak hidup di negeri ini. Aku merasa diriku banyak tertimpa fitnah sehingga yang mendekati pun mokondo-mokondo lajang, mokondo-mokondo beristeri, seolah aku lebih jahat daripada koruptor. Padahal aku cuma ingin berhemat,” isterinya pun meneruskan ucapannya sambil tetap menyandarkan kepala ke bahunya. Suaminya tidak segera menjawab ungkapan isterinya yang seolah berisi curhatan.

“Yang kurasakan hanyalah aku mencintaimu. Aku cinta dengan sepenuh rasa cinta yang pernah ada. Aku bisa memaknai cinta untuk cinta ketika bersamamu. Dulu, sebagai gadis patriarki, aku merasa tidak mendapatkan arahan untuk mencintai lelaki dengan baik dan benar. Begitu menstruasi pertama, dijuluki perawan kencur, sekitar sudah mengarahkan bahwa kewajiban utama wanita adalah masak, macak, dan manak. Wanita tidak usah bersekolah tinggi-tinggi toh akhirnya ke pekarangan untuk mencari kayu bakar.”

“Lelaki adalah pencari nafkah dan pemberi penghidupan bahkan kemewahan jika pekerjaannya menghasilkan banyak uang. Suami ideal itu yang pekerjaannya memegang bolpen atau senjata. Bajunya seragam. Bekerja ke luar rumah berangkat pagi pulang siang atau sore. Biasanya menjadi PNS, ABRI, dokter, insinyur, pilot, manager. Itu pun kalau wanita tersebut anak orang kaya. Mereka sekolahnya mahal jadi harus menikahi anak orang kaya. Kedua, tidak kaya tapi sangat cantik bak boneka Barby yang bisa dipamerkan ke pesta pernikahan,” lanjutnya tertawa kecil.

“Apanya yang lucu?” tanya suaminya.

“Lucu. Kan kini bukan zaman batu. Di sekolah, anak-anak perempuanlah yang lebih rajin mengerjakan PR. Anak-anak lelaki sukanya main layang-layang dan main bola lalu nyontek kalau ada PR. Memang nggak semua sih. Tapi komposisinya tetaplah lebih banyak anak perempuan yang rajin belajar daripada anak lelaki.”

“Lalu, Dirimu nggak segera menikah?” sahut suaminya.

“Tentu. Itu juga satu di antara sederet alasanku tidak segera menikah. Tuntutan patriarkis yang bagiku nggak logis sih.”

“Bagaimana dengan reaksi orangtuamu?”

“Mereka percaya, Tuhan tidak mencipta sesuatu dengan sia-sia. Dengan keberuntunganku yang lulusan D-2 lalu beroleh ikatan dinas untuk segera ditempatkan bekerja sebagai PNS, itu sudah cukup. Orangtuaku pun membebaskan aku dalam menentukan menikah. Mencintai dan dicintai merupakan keseluruhan hidup wanita. Untuk hal ini, orangtuaku tidak akan mengintervensi, toh aku sudah bisa mandiri.”

“Ulah yang aneh tentunya.”

“Tentu. Aku pun siap mental andaikan dianggap aneh. Tetapi, syok juga ketika prasangka buruk berkembang melampaui arah bandul jam. Hehehe.”

“Maka, aku heran ketika kamu mau menikah denganku.”

Lihat selengkapnya