Lelaki muda itu tertegun di samping mertuanya. Masih terngiang ucapan mertuanya yang terdengar kecewa,”Anakmu terlahir sebagai perempuan, Nak.” Mertuanya pun menghela napas panjang kemudian menggumam. “Perempuan. Berkalung usus, weton Anggara Kasih, lahirnya pun malam hari. Zodiac Gemini pula. Shio Naga. Mengapa aku merasakan nasibnya bakal tidak biasa?” mertuanya kembali melihat ke bayi merah itu.
“Kamu harus hati-hati dalam mengarahkannya. Sedikit lengah, ia bisa salah langkah.” lanjut mertuanya. Lelaki muda tersebut pun merasakan kegentaran bahkan meminta izin membawa anak isterinya pulang ke rumah orangtuanya.
“Tapi Kalian sudah kusiapkan rumah serta sawah ladang jika mau hidup di sini,”kata mertuanya.
“Saya memang ada kemungkinan dipindahkan ke daerah asal, Pak. Bukankah itu juga perkembangan yang baik untuk anak saya?”
Mertuanya tidak menjawab. Ia tiba-tiba teringat kepada isteri pertamanya. Wanita yang sabar dan tabah meskipun hampir tiap tahun melahirkan anak kendati kondisi ekonominya semasa muda, masih biasa saja. Begitu sawah ladangnya menghasilkan banyak uang, ia pun mengikuti jalan hidup lelaki patriarki pada umumnya, yaitu menikah lagi. Isteri keduanya pun beranak pinak, masing-masing delapan orang. Perbedaannya, isteri mudanya atau nenek dari cucu yang baru lahir berkalung usus tersebut, tidak pernah merasakan kesengsaraan. Ia telah berposisi sebagai isteri petani, tuan tanah, dan saudagar.
Lelaki muda itu pun tidak kalah gelisah. Kembali ia teringat proses kelahiran anak sulungnya yang nyeleneh. Lahir bershio Naga, berkalung usus, weton Anggara Kasih, zodiaknya pun dikenal sebagai player parah, dan malam 1)hari pula waktu kelahirannya. Duh, ia kembali mengacak rambutnya. Dosa apa aku mengemban amanat seberat ini? Ia pun teringat ibunya yang kawin cerai. Ia tentu tidak ingin anaknya mengulangi hal serupa karena yang menderita tentu cucu-cucunya. Suatu kebohongan baginya, jika si anak mengatakan tidak apa-apa, kendati cerai bukan dosa jika memang tidak ada kecocokan.
Mengapa harus anakku? Ia tidak menjawab ketika ibu mertuanya mengatakan bahwa anaknya kelak akan banyak disukai lelaki. Ucapan mertua perempuannya baginya terdengar bagaikan karma yang bakal ditanggung anak bayinya kelak. Orangtua mana yang tidak gelisah ketika membayangkan anak perempuannya akan menyandang beban sebagai pelakor, akibat langkah kakek neneknya? Mengapa harus anakku? Ia pun mencoba menggendong bayi merah tersebut.
“Wah, ia kelak bakal pinter,”suaranya memecah kesunyian pagi itu. Gadis kecilnya yang masih bayi, begitu digendong bapaknya, sebelah kakinya diangkat. Mengapa? Ternyata kentut dengan keras.
“Sejak di perut ia sudah bisa mendengar kalau bapaknya selalu kentut dengan keras sih. Jadinya ia meniru,”sahut isterinya sambil masih tertawa.
“Berarti mau mikir ini. Bagaimana agar kentutnya bisa keras? Sebelah kakinya harus diangkat,” bapaknya pun menciumnya sambil membisikkan kalimat,
“Meskipun kelahiranmu diiringi dengan citra diri sebagai wanita penggoda lelaki, kamu harus pintar ya, Ndhuk. Semua itu agar kamu tidak dilecehkan para lelaki. Betapa sedihku, ketika membayangkan kamu harus menyandang karma nenek moyangmu akibat ulah tidak empatik mereka terhadap lawan jenis. Kakekmu menduakan isteri. Nenekmu menjadi pelakor, ada pula yang dengan seenaknya ganti suami tanpa alasan pasti.
Kecemasan yang semakin menepi ketika pada acara tedhak siten2), gadis kecilnya itu memilih buku dan bolpen, bukan memilih lainnya. Sebagai bapak, nyalinya tentu ciut karena sebagai guru masa itu, gajinya hanya cukup untuk hidup dua minggu andaikan tidak ditopang mertuanya. Akan tetapi, ia dititipi anak perempuan dengan citra diri sebagai wanita penggoda. Wanita penggoda dalam angannya tentu gila materi. Ia yang bergaji kecil menjadi ngeri, kelak anak gadisnya bakal tumbuh menjadi wanita liar, binal, dan jalang demi uang. Maka, begitu si anak malah memilih buku dan bolpen, bukan bedak, gincu, dan uang, ia pun bisa bernapas lega. Lalu, ia merasa tidak sia-sia berpuasa empat puluh hari ketika isterinya hamil anak pertamanya. Anak yang semula dikira lelaki, sehingga nama lelakilah yang disiapkan, bukan nama wanita.
Kembali digendongnya gadis kecilnya yang sudah mulai menyukai buku. Ulah gadis kecilnya di acara tedhak siten tersebut baginya seolah petunjuk dari Yang Maha Kuasa, bagaimana kelak ia harus mengarahkan anak tersebut? Anak yang terlahir seolah terbebani keharusan untuk menjalani kehidupan neneknya, yaitu kawin cerai lalu membuat anak-anaknya memiliki bapak berbeda-beda. Anak yang serba salah. Kanan kiri salah. Ketika menoleh ke arah bapaknya, ada nenek yang kawin cerai. Apabila menengok kepada nenek dari ibunya pun salah, karena harus menjadi isteri kedua lelaki kaya.
“Kamu harus suka membaca ya, Ndhuk,”ujarnya sambil memberikan beberapa buku kepada gadis kecilnya itu.
Si anak pun menurut. Buku-buku itu pun diraihnya, dipukul-pukul, dibanting-banting. Tapi ia sungguh bisa tertawa riang, setelah beberapa hari dirundung duka kebingungan harus mengarahkan anak perempuannya bagaimana, agar terbebas dari kawin cerai dan dimadu? Sebagai bapak, sebagai lelaki modern, hatinya menangis. Ia sungguh tidak rela, darah dagingnya akan berperan sebagai wanita yang bakal menyakiti cucu-cucunya karena ulah kawin cerai dan rela dimadu, lalu beranak pinak pula?
Maka, tiap sore ketika si gadis kecil telah dimandikan dan telah didandani cantik, baju jahitan ibunya, rambutnya yang sudah tampak lebat itu diponi kemudian diberi pita kiri kanan, si anak pun diberi buku-buku. Ia bahkan tidak dibelikan boneka. Ia didudukkan di antara buku-bukunya yang memang banyak sebagai guru tempo dulu. Guru tempo dulu seolah satu-satunya sumber ilmu. Perpustakaan belum banyak, internet pun belum tampak. Maka, gurulah satu-satunya sumber pertanyaan. Oleh karena itu, uang gajinya pun semakin habis untuk membeli buku, ketika biaya hidup sekeluarganya ditanggung mertuanya yang memang termasuk kaya di desanya.
“Nanti, kalau besar, kamu bekerja jadi guru seperti bapak, ya, Ndhuk," kata bapaknya sambil mulai membacakan dongeng kepadanya, meskipun si anak belum mengerti. Akan tetapi, si anak mulai menyukai buku-buku. Ia selalu meraih buku ketika digendong melewati rak buku.
“Lho, mengapa diarahkan menjadi guru? Mengapa tidak diarahkan menjadi 3)penari gandrung, Mas? Ayu-ayu lho penari gandrung itu. Ingin deh, punya keponakan penari gandrung. Nanti kalau besar, aku ingin menikah dengan penari gandrung,”celoteh adik iparnya, lelaki yang masih SD.
Lelaki itu tidak menjawab. Yang terlintas di hatinya, ia ingin segera memindahkan keluarganya ke daerah asalnya, agar anaknya tidak minta menjadi penari. Ia kembali dihantui peristiwa yang mengiringi kelahiran anaknya. Terlahir berkalung usus, zodiac Gemini, weton Anggara Kasih, Shio Naga, lalu lahirnya pun malam pertanda wanita pemberani. Itu pun masih dikelilingi oleh nenek-nenek yang baginya berulah tidak menyenangkannya sebagai lelaki. Ibunya yang kawin cerai dan mertua perempuannya yang rela dimadu menjadi isteri kedua lelaki kaya.