Menolak Takdir

Kinanthi (Nanik W)
Chapter #4

4

4



 “Lalu, risiko apakah yang kaurasakan ketika bapakmu berjuang menolak takdirmu, yang dalam kepercayaan adat Jawa dianggap bakal menjadi wanita penggoda lelaki? Wanita penggoda yang bagaimanakah? Padahal di bumi ini hanya berlaku dua hal. Jika tidak “menggoda” tentu “digoda”, jika tidak “menggigit” tentu “digigit” dari analogi “surga” dan “neraka”, “Malaikat” dan “iblis”. Terbayangkah, risiko tersebut?”

“Tentu. Bapak beranggapan bahwa penggoda adalah menyakiti orang lain. Hal itu baginya akan terasakan lebih sakit daripada disakiti. Risiko menolak takdirku sebagai penggoda adalah kelak aku bakal makan hati digoda ulah lelaki. Maka, aku pun dipersiapkan dengan aneka bacaan, dipaksa menjadi guru pula. Jika kelak dari upaya menolak takdir, nasibku malah sebaliknya, bukan menyakiti hati lelaki tapi malah disakiti lelaki, hal itu tidak akan membuat mentalku menjadi down.”

“Lalu, Yudhistira si sulung dalam Pandawa pun diharapkan menjadi idolaku. Ia lelaki yang baik, jujur, serta tidak membiarkan rasa cemburu menguasai hati. Bukankah Drupadi pun menjadi istri Pandawa secara bergiliran? Ia pun menyadari bahwa jauh di dasar hati Drupadi, yang dicintai hanyalah Arjuna. Tapi, Yudistira tetap tabah dan setia kan? Ia pun tidak mencari selir meskipun raja kan? Bagaimanapun, ia menghargai Drupadi, karena dengan adanya Drupadi, ia bisa segera mempraktikkan ilmunya sebagai raja demi kemakmuran rakyatnya. Bukankah kerajaan Astina masih dalam kekuasaan Kurawa, ketika Drupadi diberi kerajaan oleh ayahnya?”

Istrinya pun mendekat kepadanya, memeluknya lalu mengatakan hal yang di luar dugaannya,

“Aku juga ingin bisa sesabar Yudhistira kan, Sayang. Bahwa, Kamu mau menikah denganku, itu sudah karunia bagiku. Karena denganmulah aku bisa merasakan cinta karena cinta. Akan halnya jauh di dasar hatimu, siapakah yang sesungguhnya Kaucintai? Aku ataukah wanita lainnya? Aku tidak akan kepo agar hatiku tidak sakit lalu cemburu. Aku sudah sangat berterima kasih kepadamu, beroleh kesempatan bisa mencintaimu karena cinta.”

“Jika harus memilih takdir, lebih senang mana diberi takdir sebagai penggoda lelaki yang bakal banyak membuat lelaki patah hati, atau membucin kepadaku yang berdampak sering merasa sakit hati?”tanya suaminya.

“Sejujurnya, disakiti memang sakit sih. Tapi, lebih sakit lagi kalau harus menyakiti hati lelaki. Jadi, aku mendukung upaya bapakku. Aku tidak memendam innerchild parah berkaitan dengan ulah lelaki. Innerchildku lebih berpusat kepada ketidaksukaanku dipaksa menjadi guru. Akan halnya, kaum lelaki, mereka orang-orang baik. Aku aman di negeri ini meskipun melajang lama dan itu kusyukuri.”

“Kalaupun dirimu terkesan suka dekat dengan para perempuan, hal ini aku harus membebaskan, karena tak ada yang bisa mengubah seseorang jika orang tersebut tidak ingin berubah.”

“Lagipula apa salahnya memiliki banyak teman perempuan? Kamu orangnya tidak enakan sih. Untuk pamer bisa setia kepadaku, tentu malu karena aku tua, kan? Aku pun malu kalau dirimu dianggap membucin kepadaku. Jadi, aku harus membebaskanmu. Asalkan masih ingat aku dan bisa menjaga diri kita. Nggak jorok karena mengundang penyakit.”

“Bagaimana reaksi bapakmu andaikan nasibmu seperti ini?”

“Sejak awal telah disadari bahwa nasibku memang tidak menyenangkan. Serba salah. Berperan sebagai penggoda lelaki, juga salah dan nggak tega. Hal yang mengundang kepedihan di hati juga, kan? Tatkala manusia melanggar etika kemanusiaan, juga terasa sangat menyakitkan, bukan? Berperan membucin kepadamu yang banyak penggemar pun menyulut cemburu. Tapi, di situlah letak keindahannya. Egoku diuji kan, Sayang?”

“Kalau menuruti ego, langkahku bisa ditebak, kan? Aku yang merasa juga banyak penggemar, tentu akan melakukan hal serupa. Aku pun pamer bisa menyaingimu dalam hal kedekatan dengan lelaki. Lalu, apa yang kuperoleh? Aku memang diuntungkan karena tidak ada anak-anak andai kita bercerai karena adu ego. Kamu sok tampan, aku pun nggak mau kalah, sok cantik. Apa yang kuperoleh?”

“Tentu kita akan bercerai, lalu saling menyakiti? Padahal ulahmu bikin baper perempuan dilanjutkan dengan banyak penggemar, merupakan lahan penelitian psikologis yang layak dikupas dengan kesabaran. Mengapa Kamu demikian? Jangan-jangan jauh di dasar hati, batinmu mengalami kegersangan?”

“Kasihan. Sudah nggak punya ibu, nggak punya saudara perempuan pula, lalu aku harus marah-marah pula ketika cemburu? Aku harus sabar. Lagipula seharusnya sikapku, sejauh apa pun langkahmu dalam menganalisis makna cinta, berhasil atau tidak dalam menyimpulkan makna cinta, kembalilah kepadaku.”

“Takdirku memang bukan kanan kiri oke, melainkan kanan kiri tidak oke. Meskipun demikian, kalau harus memilih, aku mendukung takdirku sesuai pilihan bapak. Untuk berperan kepada takdir sebagai wanita di atas menara penggoda para pria, aku harus kehilangan reputasi. Itu pun masih dirajam nurani. Akan tetapi, takdir membucin kepadamu, selain tidak kehilangan reputasi, justru akan dianggap calon penghuni surga karena sabar. Justru diminta sabar dan sabar, harus membimbing karena dirimu masih sangat muda. Bagaimanapun, manusia tidak ada yang sengaja ingin menyakiti hati orang lain. Jauh di dasar hati, manusia pun akan sakit tatkala menyakiti hati orang lain. Jauh lebih sakit daripada disakiti.”

“Kamu lelaki baik. Kamu berhak kuberi peluang menemukan jati diri,” kata istrinya beruntun sambil masih memeluk suaminya.

***

Semilir angin sore menggoyang dedaunan. Air kolam pun tampak berpendar-pendar cahayanya. Suaminya kembali terdiam terbawa angan menghayati awal kelahiran isterinya yang seolah dibebani sumpah serapah akibat keteledoran para pendahulunyakah? Bukan hal yang salah karena doa orang teraniaya memang terkabul.

Bahwa neneknya berperan sebagai pelakor, lalu anak cucunya harus menanggung sumpah serapah mereka yang tersakiti, bukan hal yang tidak wajar. Toh, derita anak pun derita orangtua. Derita cucu juga derita kakek neneknya. Mereka memang sedarah dan hukuman tidak selalu diterima pelaku yang bersangkutan. Bagaimana sakitnya? Konon, rasa sakit yang ditimbulkan lebih parah daripada derita akibat ulahnya, diterima pelakunya. Si pelaku kadangkala menangis pilu dan meraung, mengapa harus anak cucuku yang menanggung dosaku?

Bahwa kelahirannya diprediksi sebagai pertanda bahwa kelak ia bakal menjadi wanita penggoda, tentu memiriskan bagi bapaknya. Sebagai lelaki, ia tidak rela anaknya dibebani peran demikian. Ia pun berjuang sekuat tenaga untuk mengalihkan takdir. Meskipun peran sebagai wanita penggoda sangatlah buruk di matanya sebagai lelaki, tapi bapaknya pun menyadari, andaikan pengalihan takdir yang membuatnya miris tersebut berhasil, belum tentu takdir baru akan membuat anaknya lebih baik di mata orang. Sementara itu, di bumi ini seolah hanya berlaku dua pilihan. Siang malam, surga neraka, baik buruk, digoda menggoda, ditelikung menelikung, ditipu menipu.

Lihat selengkapnya