Bab 5
“Padahal bapakmu suka menyanyi. Bisa menyanyikan lagu berirama keroncong pula,”kata suaminya sambil mendengarkan lagu “Di Tepinya Sungai Serayu” dari YouTube,”Suaranya pun bass, sama dengan suaramu yang alto. Mengapa dirimu nggak diarahkan jadi penyanyi? Padahal Krisdayanti, Ruth Sahanaya, Fatin, juga bersuara alto. Ada yang dikukuhkan sebagai Diva malah,” pertanyaan suaminya memecah kesunyian, setelah beberapa saat mereka tenggelam bersama gawai masing-masing, meskipun duduk bersebelahan.
“Itulah pengorbanan bapak yang luar biasa. Demi cemas aku ingin menjadi penyanyi yang akan tampil-tampil di muka umum dan hal itu pasti dikaitkan dengan proses kelahiranku, bapak rela menanggalkan alat musik dan suaranya. Hari-harinya hanya diisi dengan buku-buku. Hanya membaca dan menggambar.”
“Segitu percayakah? Mitos bukan sih?”
“Percaya bahwa Tuhan menciptakan sesuatu tidak sia-sia. Percaya bahwa setiap perbedaan tentu ada kesan dan maknanya. Warna merah tentu menggoreskan kesan berbeda dibandingkan dengan warna hitam kan? Demikian pula weton, bulan kelahiran, tanggal, bahkan jam. Bapak percaya hal itu menyampaikan makna tersirat. Maka, demi memfokuskan perhatianku untuk mau menjadi guru, bapak tidak pernah lagi mau menyanyi. Ibu juga heran, kok bapak tidak lagi menyanyi, padahal dulu demi menarik perhatian ibu, bapak selalu menyanyi pada acara pernikahan temannya maupun di berbagai undangan. Bahkan ketika di negeri penari, bapak sudah bergabung dengan orkes keroncong, dengan para guru, bahkan penulis Jawa bernama Esmiet, itu pun teman bapakmu.’ Itulah yang diceritakan ibu.”
“Dirimu betul-betul memberontak ketika diarahkan menjadi guru? Mengapa?”tanya suaminya sambil menutup gawainya, berusaha mendengarkan secara bersungguh-sungguh.
“Lebih kepada heran saja sih. Ada apakah gerangan? Aku merasa didoktrin saja, sehingga aku menolak. Padahal andaikan tidak dipaksa, belum tentu aku tidak mau,”jawab istrinya sambil menutup gawainya pula, mengikuti cara-cara suaminya.
“Agar mau menjadi guru, bapak pun memamerkan tulisan temannya, bernama Esmiet, yang sudah sering muncul menggunakan Bahasa Jawa. Kamu bisa menjadi penulis Jawa seperti pak Esmiet ini. Ini temanku,” kata bapak sambil menunjukkan majalah berbahasa Jawa, Jayabaya.
“Tapi, aku memang terlihat lebih menekuni bakat nenek. Nenek moyangnya, ibunya bapak, kan bisa menjahit dan mendesain baju, sehingga mereka semula tinggal di Surabaya sebagai penjahit bahkan desainer pula, mungkin, entah sejak keturunan keberapa. Mereka bekerja di hotel Sarkies. Tapi memang ada tanah nenek moyang yang masih tersisa di desa asal nenek moyangnya tempo dulu. Itulah yang kami tempati dulu. Kini ditempati saudaraku.”
“Saat itu kelas dua SMP, setelah menstruasi, dadaku tampak cepat tumbuh membesar seperti nenek. Mungkin faktor genetik. Beberapa teman lelaki menggoda mengatai aku seksi. Aku kan mendapat uang saku bulanan. Artinya ibu memberikan uang saku setiap bulan. Jika uang sisa boleh ditabung, jika kurang dilarang minta tambah. Perjalanan ke sekolah melewati pertokoan. Di antara sekian toko tersebut, ada beberapa toko kain pula kan? Maka, begitu teringat pernah dikatai seksi meskipun kucuekin, bangga juga kan, jauh di lubuk hati? Apalagi dari sekian ratus siswa, yang buah dadanya tampak menonjol kan nggak banyak. Maka, yang kulakukan kemudian adalah membeli kain untuk mendesain baju yang bakal menonjolkan keseksian tubuhku. Hehehe.”
“Demit negeri penari mulai merasukimu nih,” goda suaminya sambil melihat air kolam yang tampak bening, tapi ia tidak ingin berenang karena sore itu, angin malam sudah mulai terasakan dingin.
“Mungkin. Mereka mungkin mengerahkan energinya agar aku ingin tampil-tampil di muka umum. Kembali ke program asal sesuai pertanda kelahiranku, bukan menuruti upaya bapak dalam mengalihkan takdirku untuk menjadi guru,”jawab isterinya menimpali dugaan suaminya.
“Desain baju pun kubuat. Apalagi nenek ketika ambil uang pensiun sesekali membelikanku majalah Gadis, yang sangat populer pada masa itu. Asalkan kutemani ketika mengambil uang pensiun, tentu aku dibelikan majalah remaja tersebut. Tapi, mana bisa menemani kalau tidak sedang libur? Adakalanya aku pun membeli dengan uang sakuku. Dengan melihat-lihat gambar baju dari majalah-majalah, aku pun mendesain bajuku.”
“Lagipula saat itu ada pelajaran prakarya dan guruku pun mengajari membuat pola baju. Aku pun mendesain baju. Kubuat pola seperti yang diajarkan guruku menggunakan koran setelah mengukur tubuhku berkaitan dengan kebutuhan pola baju, yaitu lingkar dada, panjang bahu, lingkar pinggang, lingkar pinggul, kerung lengan, dan seterusnya. Kalau ada yang kurang, biasanya nenek mengarahkan semestinya begini dan begitu.”
“Desain tersebut kubuat dengan belahan rendah yang menampakkan keindahan payudara. Punggung pun tanpa kain, hanya tali-tali seperti sepatu. Tahu nggak, begitu melihat hasil karyaku itu kucoba di depan cermin, kutaruh lagi di atas mesin jahit sebelum finishing dengan menambahi kancing-kancing, kutinggal tidur. Begitu terbangun, baju setengah jadi itu sudah tidak ada. Aku menangis mencarinya. Apa kata bapak?”
“Mana aku tahu?”