Menolak Takdir

Kinanthi (Nanik W)
Chapter #6

#6

Bab 6




Mereka pun berjalan-jalan senja hari itu, berkeliling kota sambil singgah mencari makan malam ketika sudah merasa lapar. Suaminya pun masih ingin mendengarkan kisahnya yang semula menolak menjadi guru, akhirnya jadi guru juga.

“Bapak menceritakan kegagalannya dalam upayanya mencoba berbisnis seperti yang dilakukan kakek. Tentu saja kakek menenangkan. Selain menyanggupi akan membantu penyelesaian rumah yang terbengkelai, juga menenangkan bapak agar tidak terlalu cemas. Aku kelak tidak segitunya mata duitan seperti yang dicemaskan bapak. Lagipula, berjuang menjadi saudagar seperti kakek memang tidak semua orang bisa. Andaikan ibu yang diizinkan bapak untuk mencoba berbisnis, mungkin malah bisa.”

“Konon, sebagai perantau di tanah penari, kakek yang berasal dari Jawa Tengah sebetulnya juga masih ada hubungan kerabat dengan pengusaha rokok terkenal. Maka, tidak mengherankan jika dalam upaya mencoba peruntungan di dunia bisnis, uang seolah semrinthil mengalir lancar. Tapi, bapak melarang ibu ikut campur dalam mencari uang. Sementara itu, bapak seolah memang terlahir sebagai kaum Brahmana, yang fokus menyampaikan ilmu, bukan mencari uang. Maka, wajarlah kalau gagal.”

“Akan halnya aku yang sudah menunjukkan gejala menolak menjadi guru, janganlah terlalu dicemaskan. Barangkali ingin masuk SMA, ingin kuliah seperti bulik, adik bungsu bapak, dituruti saja. Jangan terlalu mencemaskan hal yang belum terjadi, agar tidak malah stress. Jangan terlalu mencemaskan kondisi keuangan. Karena ditinjau dari genetika, tidak akan kekurangan. Karma yang akan menimpa memang berkaitan dengan cinta dan perkawinan, bukan keuangan.”

“Bapak pun menyampaikan hal sama seperti yang dikatakan ibunya. Kata nenek, kalau inginnya kuliah dulu, biarkan saja. Jika sekolah guru malah terlalu kecil sudah bekerja, lalu dinikahkan dengan cepat juga akhirnya. Bagaimana jika tidak cocok? Sebagai wanita pekerja, tentu akan bercerai kalau tidak cocok. Larinya cerai juga kan? Padahal langkah itulah yang Kauhindari.”

“Bapak pun akhirnya melunak. Aku diizinkan tes ke SMA, dengan pertimbangan belum tentu aku bisa telaten mengajar di Sekolah Dasar ketika mengamati pola belajarku. Begitu mengenal huruf, langsung membaca koran. Begitu diajari berbahasa Jawa, yang dibaca malah novel bahasa Jawa, “Sang Prajaka Andon laku Ngupaya Serat Pangruwating Papanistha”. Buku-buku yang dibaca pun tasawuf, filsafat, hasil mengobrak-abrik tumpukan buku bapak. Bagaimana bisa telaten kalau harus mengajar di Sekolah Dasar, nantinya?”

“Kecemasan pertama sudah muncul ketika aku sudah bekerja sebagai guru di SMP. Ada kenalan teman yang menguntitku sampai rumah. Ia membawa mobil dan dengan santainya seolah bapak mengizinkan andaikan ia menjadikan aku sebagai isteri kedua, apalagi saat itu bapak masih mengendarai motor butut hasil membeli barang bekas. Bapak tentu tidak mau menemui ketika ia datang lagi.”

“Bagaimana dengan dirimu. Mau? Kan sudah bawa mobil?” tanya suaminya.

“Enggaklah. ”

“Ujian-ujian dari para demit yang tidak rela mangsanya menghindari takdir sebagai wanita penggoda dan pelakor, tentu masih berdatangan ya,” tanya suaminya.

“Tentu.”

“Sebelum ceritaku tuntas, kesan apa yang Kauperoleh?” tanya isterinya.

“Hm… Hukum Newton III ternyata nyata adanya. Meskipun tidak sama persis memang, tapi benar-benar berlaku hukum tabur tuai. Siapa yang menanam, pasti akan menuai. Entah dirinya, anak cucunya, atau keturunannya yang kesekian. Benar-benar sistem yang tertata rapi. Jagat raya seluas itu, cukup diwujudkan ke dalam eksistensi manusia sebagai miniatur. Konon, dalam diri manusia terkandung semua unsur jagat raya. Cukuplah dengan memahami diri sendiri, kita pun akan dapat merasakan bahwa jagat raya terdapat dalam diri kita. Sedangkan jagat raya, merupakan manifestasi keberadaan Tuhan.“

“Kaum fisikawan melihat dunia sebagai tatanan teratur. Manusia disebut mikrokosmos, alam semesta disebut makrokosmos. Keduanya berhubungan erat. Bukankah manusia purba pun telah menjaga ketertiban alam semesta melalui penjagaan ketat terhadapnya? Pernyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan, akan merusak tatanan seluruh jagat raya. Hal itu mengingatkan kita ketika thawaf, kan? Kita harus berjalan mengikuti arus, jangan melawan agar tidak merusak tatanan. Sama dengan manusia purba dalam memperlakukan alam. Mereka tidak mau begitu saja melanggar aturan kesusilaan karena cemas mengundang murka alam semesta. Jika manusia mengganggu ketertiban alam semesta, maka alam akan murka, mengalami chaos. Demikian pula sikap dan perilaku kita terhadap sesama. Jika menanam baik, yang tumbuh pun hal baik dan sebaliknya. Semuanya tidak lepas dari hukum ngundhuh wohing pakarti.”

“Karena itukah, pengubahan takdirmu dari “penggoda” hanya bisa menjadi “tergoda” atau “digoda”? Bukan menjadi “aman”, karena kata “aman” bukan lawan kata dari “penggoda”? Mungkin begitu,”lanjut suaminya.

“Pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan. Tetapi, aku harus memilih, maka kupilih tergoda deh. Puisi indah dan aneka karya sastra yang indah, biasanya muncul dari rasa cinta yang berdarah-darah. Pilihan yang menyakitkan tapi tidak diprotes nurani. Itu lebih nyaman karena hasilnya akan mendewasakan jiwa.”

Lihat selengkapnya