Bab 7
“Lagipula, Dirimu juga santai banget. Nggak berjuang keras untuk menulis. Seharusnya ditargetkan sehari berapa kalimat. Tentu bisa,”lanjut suaminya.
“Iya sih. Bukan aku nggak patuh pada kakek yang muncul dalam mimpiku agar aku nggak berani alias nurut. Tapi kupikir lagi, cucunya pasti bukan hanya aku. Jadi, kalaupun aku gagal mewujudkan mimpinya, pasti keturunan kakek lainnyalah yang akan meneruskan angannya. Jadi, EGP-lah.
“Nggak bisa begitu. Bukankah kakekmu menemuimu dalam mimpi? Itu amanat juga kan? Nabi Ibrahim pun menyembelih anaknya karena mimpi. Bisa kuwalat Dirimu nanti kalau bermalasan.”
“Hm… kukira, kakek menampakkan diri dan wujudnya melalui mimpi, agar nenek segera membuka rahasia yang selama ini disimpan. Itu karena cemas bapak minggat, mencari bapaknya ketika masih remaja dulu. Namanya juga anak lelaki, Bagaimana kalau pamit merantau malah ngilang? Ia bisa stress kehilangan anak kedua kalinya karena mengikuti bapaknya. Ibu mana yang kuat mental?”
“Tapi ada isyarat yang juga Kauabaikan.”
“Aneka buah-buahan sebagai oleh-oleh. Apa maknanya?
“Buah-buahan beraneka ragam, tentu untuk dimakan,” jawab isterinya.
“Nah, itu. Dirimu sudah patuh belum? Seharusnya itu saja dulu yang dipatuhi. Toh tidak ada saran untuk menulis. Hanya mengatakan, janganlah membantah atau menurutlah pada nasihat bapakmu, agar terpenuhi keinginanmu. Keinginanmu apa? Hal apa yang terasakan sebagai obsesi? Fokuskan ke situ dululah.”
“Di rumah kusediakan semua hal yang berkaitan dengan minatku, kan? Ada alat musik, karaoke, kanvas dan beberapa cat minyak, serta laptop. Ternyata, yang paling membuatku gelisah tentu laptop. Itu karena ada saja yang menuntutku untuk menuangkannya ke dalam tulisan. Seringkali aku kesal kepada diriku. Mengapa ya, tak ada yang bisa membuatku gila, segila menulis? Barang branded, makan mewah, semuanya lewat. Yang terlintas hanyalah menulis, menulis, dan menulis. Lelaki-lelaki pun yang kuat nyangkut hanya Dirimu.”
“Maksud kuat nyangkut itu yang bagaimana?”
“Dulu, ketika cemburu melihat twittermu merayu wanita lain, aku spontan syok, nggak pakai merenungi mengapa demikian? Sebagai perawan, aku perawan tua sendirian. Hal itu tentu mengerikan. Sebagai wanita patriarki, aku seolah diminta paham, bahwa seluas apapun wawasanmu, Dirimu tetaplah lelaki patriarki yang harus sendika dhawuh kepada tuntutan sekitar, bahwa menikah harus dengan wanita lebih muda. Aku nggak ingat kalau yang Kaurayu itu lebih tua darimu. Itu karena ia lebih muda dariku.”
“Dengan niat mundur ‘Demi Cinta’, demi Dirimu bahagia, kesempatanku dan waktuku sudah lewat bagi yang menganggap umur adalah harga mati, aku pun pasrah ketika dicarikan jodoh, kan?”
“Tapi, tetaplah aku berpijak jangan menyakiti. Justru lelaki yang di masyarakat dikenal sebagai orang baik, yang memang siap menjadi suami dengan uang belanja ajeg, ada jabatan, sebaya, ada rumah yang mengharuskan aku ikut suami, kuhindari.”
“Mengapa?”
“Karena hatiku masih nyangkut ke Dirimu. Tahukah apa yang kurasakan saat itu? Mengapa aku begitu mencintaimu? Karena aku merasakan mencintai karena cinta? Okelah. Tapi, Kamu kan patuh pada tradisi untuk menikahi yang lebih muda demi mendapatkan anak-anak, demi dipamerkan di media sosial bahwa Kamu patriarkis dan meyakini umur adalah harga mati? Itu wajar karena bacaanmu nggak mungkinlah sebanyak bacaanku. Selain lebih muda, Kamu pun belum pernah ke luar negeri, ke negara yang sudah egaliter dan kaum feminis sudah memperoleh haknya ketika menuntut kesetaraan gender. Belum pernah ke negeri-negeri yang tidak mengandalkan usia sebagai harga mati. Tapi…
“Tapi apa?”
“Jauh di dasar hati, aku bisa mengerti bahwa Dirimu mencintaiku. Dalam kepolosan masa remajamu, terasakan cintamu tidak main-main, tapi Kamu bingung. Maka, akulah yang harus sadar diri. Logikaku kupaksa bekerja bahwa dengan menikahi wanita muda, Kamu pasti punya anak dan isterimu pasti lebih panjang umur, tanpa melihat sekeliling bahwa faktanya tidak selalu demikian.”