Bab 8
Pagi hari, lelaki itu termenung sesaat membayangkan sosok nenek isterinya. Tidak tertekankah memiliki anak yang masih memendam innerchild? Hal itu membuatnya tidak bebas mengarahkan cucunya, bahkan ingin mengajari bahasa Belanda pun cemas dilarang. Sebagai single mom yang sanggup membesarkan anaknya dari uang pensiun dan berjualan nasi, tapi mereka berhasil menjadi PNS paling dulu di desanya, selayaknya diapresiasi. Isteri polisi, berijazah sekolah Hindia Belanda, masa dipanggil “embah”? Bukankah wajar jika dipanggil “eyang” atau “oma”? Tapi, yang memanggilkan siapa, bapaknya atau neneknya sendiri, isterinya mana tahu. Jika memang neneknya sendiri, berarti sudah menyadari salahnya, dan tidak seharusnya anak lelakinya meneruskan kecemasannya. Kecemasan yang maju kena mundur kena.
“Jika Dirimu dibesarkan di negeri penari, cemas anaknya ingin menjadi penari dan penyanyi. Jika dibesarkan di wilayah asalnya pun, ulah ibunya yang kawin cerai selalu menghantui,”ia pun menggumam sambil menoleh ke arah isterinya.
“Mengalihkan takdir memang tidak mudah. Firaun pun yang pernah diramal akan dibunuh anak lelaki, sehingga membunuh semua anak lelaki, malah kecolongan karena Musa bayi yang hanyut di sungai, diangkat anak oleh isteri kesayangannya.”
“Tapi, mengapa bapakmu sedemikian percaya diri mengarahkan anak-anaknya menjadi ketimur-timuran, tidak kebarat-baratan seperti neneknya? Kalaupun kebarat-baratan rentan melakukan pergaulan bebas, tapi ketimur-timuran pun rentan dimadu. Nggak terpikirkankah hal itu?”
“Sudah sih. Maka, dengan bertekat setia, bapak yakin anak-anaknya pun bakal menikah dengan lelaki setia. Dengan dalih toh Tuhan sesuai prasangka hamba-Nya.”
Lelaki itu kembali termenung. Ia keluar menuju balkon pagi itu, seperti yang dilakukan isterinya kemarin pagi. Sementara itu, isterinya tengah menata makan pagi untuk mereka berdua. Kemarin makan pagi tanpa nasi. Maka, pagi itu isterinya membuat nasi goreng sesuai permintaanya kemarin sore.
“Besok pagi sarapan nasi goreng ya, agar seperti sedang berada di hotel.” Isterinya pun menyetujui. Oleh karena itu, ia memasak nasi goreng, omelet, mie goreng, kolak kacang hijau, sup. Semuanya dalam porsi kecil hanya untuk berdua.
“Segitunya kalau lagi mood memasak,”komentarnya ketika isterinya menyajikan hidangan makan pagi pukul 07.00.
“Selalu bersemangat demi suami,”jawab isterinya.
Ia terkenang kembali cerita isterinya, tentang keputusan bapaknya untuk setia demi membuat anak-anaknya tidak kebarat-baratan seperti neneknya. Bapaknya berjuang untuk setia. Sebuah tekat untuk setia yang telah dimunculkan begitu memutuskan menikahi anak orang, mertuanya pun sayang dan tidak pelit uang, dipertebal dengan jabatannya sebagai kepala sekolah demi reputasi, masih menuntut tambahan ketebalan lagi dan lagi ketika dititipi anak-anak perempuan.
Maka, ketika kondisi ekonominya hancur akibat kegagalannya dalam dunia usaha, beberapa kenalannya, sesama lelaki, yang mengetahui dirinya sedang bokek, bahkan ke kantor pun menggunakan sepeda angin, berusaha menghiburnya. Ia pun diajak ke tempat pelacuran.
“Suamimu setia banget, Dik,”lapor seorang dari mereka kepada ibunya.
“Kemarin malam kuajak ke tempat pelacuran, padahal kutraktir. Ia menolak, bahkan membeli koran lalu berlagak keasyikan membaca sampai aktivitas kami selesai. Ketika kuajak makan malam pun komentarnya, ‘Kubawa pulang saja, Mas. Anak-anakku begitu neneknya makin tua, kami minta menutup warung nasinya. Jarang makan daging sapi jadinya.’ Aku jadi terharu, kan? Lalu kuminta dibungkuskan untuk anak isterinya, ia pun kupaksa ikut makan.”
“Terima kasih. Tadi malam memang ada oleh-oleh nasi campur untuk kami yang di rumah. Akan halnya setia, syukurlah. Kan, tidak sulit untuk setia bagi pemilik jabatan. Mudah itu. Demi reputasi. Risiko sebuah pilihan demi mengemban amanat memiliki rakyat. Jadi, setianya belum tentu untukku,”jawab ibunya.