Menolak Takdir

Kinanthi (Nanik W)
Chapter #10

#10

Bab 10


“Dirimu juga suka berjalan-jalan naik turun gunung? Ini acara apa?”tanya suaminya ketika membuka-buka album fotonya di galeri gawainya.

“Itu ketika ikut anak-anak SKI melajak jejak para wali,”jawab isterinya sambil ikut melihat koleksi foto-fotonya.

“Apa daya tariknya?”tanya suaminya lagi.

“Hal pertama dari berjalan-jalan bersama banyak orang adalah menguji dan melatih kekuatan fisikku. Adakalanya tanpa teman-teman, tidak semangat dan kecil kemungkinan bisa ke sana. Jika menunggu kesempatan pergi-pergi ke sana bersamamu, memang mudah? Bukankah Dirimu tidak selalu mudah dihubungi? Padahal kesempatan tidak selalu datang dua kali. Umur pun kita tidak tahu pasti, sampai kapan kita diizinkan menghirup udara bumi? Betapa banyak orang mengeluh, pagi masih segar dan bergurau denganku, mengapa sore hari ia mati?”

“Hal kedua, mengenang pilihan seseorang untuk menjadi orang baik-baik. Bukankah hidup adalah memilih? Manusia memilih jalan hidup dan hanya manusia yang dibebaskan memilih. Mereka kemudian menuruti bisikan dua makhluk yang bermuatan energi positif dan negatif, dinamai qarin dan malaikat. Mereka memang pembisik keputusan-keputusan yang jitu. Jika memasukkan manusia ke surga neraka adalah hak Tuhan, kita masih diizinkan mengintip posisi mereka, di surga atau neraka? Bukan kepo tapi untuk ditiru yang baik dan dihindari yang jelek. Orang yang memutuskan pilihan sebagai orang jahat, jangankan dikunjungi makamnya, melihat fotonya bahkan mendengar namanya pun membuat tengkuk terasa merinding kan?”

“Bandingkan dengan orang yang memilh jalan hidupnya sebagai orang baik-baik, sebagai orang yang bermanfaat sesuai dengan potensinya. Ilmunya, uangnya, kekuasaannya jabatannya, semua diniatkan untuk kemajuan peradaban, demi kemanusiaan, demi kesejahteraan sesama makhluk Tuhan. Mereka dikenang sebagai orang baik, justru ketika sudah meninggal. Itulah objektivitas penilaian terhadap karakter manusia yang sesungguhnya. Kalau masih hidup, kadang kan kita tidak objektif. Entah karena segan, takut karena mereka penguasa, atau iri dengki sehingga sebiji sawi kebaikannya pun tak tampak. Begitu mereka meninggal, terbukalah selubung karakternya yang sesungguhnya, kan?”

“Apa dampaknya bagi orang yang masih hidup? Dampaknya, selain nama dan fotonya tidak mengerikan, orang pun ingin melacak jejaknya. Kebesaran nama dan keluhuran budi mereka pun mengalirkan rezeki tak habis-habis bagi sesamanya yang masih hidup. Ketika memasuki arena makam wali, banyak pedagang di sana, kan? Dari makanan sampai oleh-oleh. Bahkan nama baik mereka pun memberikan rezeki kepada pengusaha bus dan kru, ojek, becak, tukang parkir, penjual tiket masuk, juga satpam-satpam yang ada.”

“Cape nggak?”tanya suaminya.

“Nggak. Kakiku sudah terbiasa berjalan sejak kecil. Sejak memasuki bangku SMP, aku harus berjalan kaki sekitar dua kilometer dari rumah orangtua ke jalan raya untuk naik angkot. Angkot berhenti di pasar, kemudian aku berjalan lagi sekian kilo menuju sekolah.”

“Hanya itu saja yang terasakan?”

“Bukan. Aku justru teringat puisi Chairil Anwar yang berjudul “Krawang- Bekasi”, terlebih ketika teringat baris…/Kenang, kenanglah kami. Kami telah beri apa yang kami bisa. Kerja belum selesai. Belum apa-apa…

“Nangis pastinya.”

“Pastilah. Apalagi aku guru. Guru masa kini dengan gaji yang memadai dengan adanya sertifikasi, mencapai 10 jutaan lho, nggak semua karena sesuai golongannya juga sih. Maka, aku pun menangis teringat puisi Chairil Anwar yang berjudul “Krawang-Bekasi” itu. / Kami sudah coba apa yang kami bisa /Tapi kerja belum selesai../ Kami cuma tulang-tulang berserakan /Tapi kami adalah kepunyaanmu /Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan …Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata /Kaulah sekarang yang berkata /Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi /Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak …

“Sebagai sesama pemilih jalan hidup sebagai Brahmana, perasaan ini serasa dirajam, kan? Bohong kalau guru nggak menangis ketika kakinya menginjak arena makam para wali,”isterinya pun menyudahi ceritanya dengan menghela napas panjang.

“Padahal gaji segitu, ijazahnya sekolah di bank pun nggak lulus-lulus,”goda suaminya,”Mana bisa berkonsentrasi teringat sumpahnya dalam memilih jalan hidup sebagai Brahmana? Jalan hidup menyampaikan ilmu pengetahuan dan keteladanan demi kemajuan peradaban, tidak dibayar bahkan. Yang dilakukan setiap hari berkelana naik turun gunung memberikan pencerahan pemikiran empatik dan keteladanan dalam memberikan empati dan kasih sayang. Makanan pun diperoleh dari alam dan pemberian orang-orang. Bandingkan dengan gaya hidupmu yang penuh deretan utang.”

“Hm…. Jalan hidup yang menyenangkan sebetulnya. Akan halnya utang, itu kan demi menuruti harga diri, enggan dianggap mencintaimu, setelah Dirimu kuliah ke luar negeri, berangkat ke sana lebih dahulu padahal aku sudah menabung untuk perjalanan ke sana bersamamu. Aku pun malu dianggap mencintaimu yang diprediksi bakal bergaji gede jika ijazahmu Kaugunakan untuk mengais rezeki.”

“Kalau misalnya aku malah ingin menjalani hidup sebagai Brahmana?”tanya suaminya. Isterinya pun menatapnya.

Lihat selengkapnya