Lagi, semesta berkonspirasi untuk yang ke sekian kali. Selaku panggung sandiwara, ia menunjukkan eksistensinya pada siapapun, tentang luka yang mungkin tidak ada obatnya.
Seringkali semesta membuat terlena, menghadirkan cerita dengan tawa. Dalam sekejap mata, dunia seolah tergenggam secara sempurna.
Tapi manusia seringkali lupa. Bahwa setelah tawa akan ada luka. Setelah suka akan ada duka. Semuanya selalu begitu hingga pada akhirnya manusia akan berhenti hanya karena sebuah kata, kecewa.
Ketika kecewa melanda, tak lagi ada asa yang menjuntai setinggi angkasa. Tak ada lagi harap bak mentari yang menyinari, semua berhenti. Menghentikan mimpi yang belum sempat menepi.
Semudah itu semesta mengoyak rasa, menggoreskan tintanya pada setiap insan manusia, tanpa tahu ada jiwa-jiwa kecil yang mungkin meronta tak terima. Tapi tak ada guna, sebab semesta tak memberi apa yang kita pinta.
Kisah ini akan membuat kalian membuka mata, bahwa dunia hanyalah fatamorgana belaka, dengan jutaan cerita yang mengiringi setiap langkah tanpa terduga.
Dan setiap cerita memiliki rasa tersendiri bukan? Begitupun kisah ini, meski tak sempurna tapi dapat kalian rasakan arti dari kehidupan yang sesungguhnya.
Kemari dan lihatlah. Kisah ini baru dimulai.
🌻
"Kenapa hidup lo selalu beruntung?" Tanya Asa, saat Tari baru saja mendudukkan diri di gazebo setelah membantu Suster Ina membersihkan piring.
Tari menoleh pada Asa yang menatap lurus ke depan. "Maksudnya?"
Asa diam menghirup udara dalam-dalam. Sensasi yang baru saja ditinggalkan hujan benar-benar membuatnya tenang. "Dari dulu lo selalu bahagia. Lo selalu dikelilingi orang-orang yang sayang sama lo."
Tari menggeleng pelan, meski Asa tidak melihatnya. Ia tidak seberuntung itu tidak pula sebahagia itu. "Gue gak sebahagia itu."
Hening menyapa setelahnya. Membiarkan angin sepoi-sepoi melambaikan diri pada mereka.
"Lo beruntung punya Tante Ina sama Om Panji. Dia orang baik banget. Mereka tulus sayang sama lo."
"Itu salah satu hal yang paling gue syukuri."
"Mereka benar-benar orang tua sambung yang baik." Asa berucap sendu, matanya menerawang ke depan sana. "Jarang ada orang tua sambung sebaik mereka."
Tari mengangguk. Semua yang diucapkan Asa memang benar adanya. Ina dan Panji ibaratkan air di tengah dahaga. Mereka menawarkan penyembuh atas luka di hatinya.
Asa menengok kepada Tari yang ada di sebelahnya. "Lo kelihatan lebih bahagia disini daripada di Bandung."
Tari ikutan menoleh membuat mata keduanya bersirobok dengan kurun waktu yang cukup lama.
"Lo benar." Jawab tari kemudian kembali memalingkan wajah ke arah depan. Memorinya berputar mengingat masa senangnya dulu sebelum semuanya berubah. "Dan lo salah satu penyebab hilangnya kebahagiaan gue di sana."
Asa terdiam akan ucapan gadis di sebelahnya itu. Tidak ada nada kekesalan atau kebencian. Nada yang diucapkan datar namun mampu membuat hatinya sedikit merasa bersalah.
Asa langsung mengenyahkan rasa itu. Tidak seharusnya ia merasa bersalah pada orang yang merenggut kebahagiaan nya.
"Tapi apa yang gue lakukan itu bukan kesalahan." Asa menarik nafas pelan sebelum kembali berujar, "itu fakta dan lo gak akan pernah bisa mengelak semuanya."
Biasanya Tari akan marah jika mengenai masa lalunya. Terlebih fakta yang dulu Asa sebarkan. Tetapi tidak dengan sekarang, gadis itu tetap menatap lurus ke depan tanpa ada protes yang dilakukan.
"Percuma gue jelasin juga lo gak akan paham. Karena berbicara dengan orang yang selalu mencari kesalahan kita itu gak guna. Cuma buang-buang waktu."
Setelah berucap seperti itu Tari berlalu meninggalkan Asa seorang diri di gazebo.