Tujuh tahun lalu.
Rintik hujan perlahan turun membasahi bumi, membuat genangan di jalanan yang cukup tergolong sepi mengingat waktu yang menunjukkan hampir tengah malam.
Panji termenung menyaksikan rinai hujan yang membasahi mobilnya. Masih tetap setia memandangi Taman Vanda dari balik jendela. Sesekali pria tersebut menghela nafas panjang kemudian menghembuskan dengan gusar.
"Maaf," lirihnya sebelum menancapkan gas dan berlalu meninggalkan taman dan kenangan di dalamnya.
Sesekali Panji tersenyum melihat foto dalam genggamannya, lalu memukul stir dan mengacak rambutnya dengan frustasi. Terus berulang hingga akhirnya, suara ban yang berdecit dengan aspal mengakibatkan kepalanya terantuk ke stir. Beruntung dirinya menggunakan sabuk pengaman sehingga tak terjadi apa-apa.
"Lain kali kalo nyebrang yang benar!" Makinya sembari turun dari mobil, membiarkan gerimis menyentuh tubuhnya.
Bocah yang hampir menjadi korban tabrakannya itu diam saja. Ia tak menggubris atau bahkan tak mendengarkan sama sekali.
Bocah tersebut masih terus meringkuk memeluk lutut. Matanya menatap nyalang pada apapun yang ditemuinya. Perlahan ia menggelengkan kepalanya dengan kencang membuat Panji mengernyit bingung. Ia baru saja akan melangkah mendekat sebelum sebuah suara menghentikannya.
"Ja--ja--jangan..." Bocah itu mengawasi sekitar dengan penuh ketakutan. Bahkan badannya sudah bergemetar dengan kuat.
"Sakit...sakit..." Rintihnya dengan pilu.
Siapapun yang mendengar pasti akan merasa tercubit hatinya. Panji mendekat, ia tak bisa menentang hati nuraninya yang ingin menenangkan bocah tersebut dalam rengkuhan.
"Jangan deket-deket!" Kali ini bocah itu berteriak kencang sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran dan terjatuh lunglai tepat di depan kaki Panji.
Panji terkejut bukan main, ia langsung saja mengangkat tubuh mungil tersebut dan membawanya ke dalam mobil. Jantungnya berdegup kencang karena khawatir, ia melajukan mobilnya cepat membelah jalanan yang cukup licin.
🌻
"Gimana dok keadaannya?" Tanya Panji dengan raut kekhawatiran yang kentara jelas di wajahnya.
Dokter dengan nametag Raihan itu mengangguk, lantas mengajak Panji ke dalam ruangannya.
"Apakah anda Ayah pasien?" Tanya Raihan to the point.
Panji terdiam sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Saya orang yang tadi hampir menabrak dia," jawabnya lirih. "Gimana dok dia baik-baik aja? Apa ada luka di tubuhnya?"
Dokter tersebut mengangguk kemudian membuka lembaran kertas di hadapannya. "Hanya luka kecil di lututnya. Tapi sudah saya obati." Terangnya sebelum menghembuskan nafas panjang yang terasa berat.
Menyadari hal tersebut Panji merasakan ada yang tidak beres. Perasaannya mengatakan ada hal yang tidak baik-baik saja.
"Saya merasa bukan luka luar yang membuatnya parah. Tapi kondisi pasien yang--"
"Kenapa dok?" Potong Panji cepat.
"Saya tidak bisa mengatakannya sekarang, karena terlalu cepat untuk menjatuhkan vonis. Harus dilakukan pengamatan dahulu selama beberapa hari ini. Jadi pasien harus dirawat intensif selama beberapa hari ke depan untuk memastikan kondisinya."
Panji menghela nafas lega. Setidaknya untuk saat ini dirinya tidak perlu khawatir. "Lakukan yang terbaik dok." Jawabnya kemudian menyalami dokter dan berlalu keluar ruangan.
Panji menghentikan langkahnya di koridor rumah sakit saat mendengar handphonenya yang berdering. Ia lantas mengambilnya sebelum akhirnya menggeram kesal melihat nama yang tertera di dalamnya.
"Ingat! Waktu kamu tinggal seminggu lagi!"
Hanya itu suara dari seberang sana. Tapi berhasil membuat emosi di dalam diri Panji bergejolak.
Bugh.
Panji memukul pilar rumah sakit dengan sekuat tenaga. Tak peduli dengan rasa nyeri di tangannya, emosi di dadanya membutuhkan pelampiasan. Dan ini yang bisa dirinya lakukan.
"Kamu dimana?" Lirih Panji sebelum akhirnya jatuh terduduk dan membiarkan air matanya menetes membasahi lantai.
🌻
"Sakit..."
Teriakan menggelar itu berhasil membuat Panji tersadar dari tidur nya. Ia memilih tidur di sofa untuk menunggu bocah itu, lagipula bocah itu sudah ia pindahkan ke ruang VIP sehingga tidak akan menggangu pasien yang lain apabila dirinya menjaga di ruangan.
Panji menoleh ke sumber suara, didapatinya bocah itu yang terduduk lemas dengan dada yang naik turun.
Mata anak kecil itu mengawasi ruangan dengan liar, ia menatap setiap sudut dengan kebingungan. Sebelum akhirnya netra mereka bersirobok, "Arghhhhhh!!! Pergi!!!"
Panji terkejut bukan main ia melangkah mendekat guna menenangkan. Belum sempat terlaksana, sebuah bantal lebih dahulu mendarat di wajahnya.
"Pergi!" Tangis bocah itu pecah. "Sakit! Sakit! Sakit!"
"Hei, jangan nangis." Bujuknya. "Om bukan orang jahat."