Janji yang tak menepi
"Apakah anda sudah bertemu dengan orang tua pasien?"
Pertanyaan Dokter Raihan membuat Panji terdiam di tempatnya. Selepasnya Panji menghela nafasnya dengan berat.
Belakangan ini Panji berusaha mencari keberadaan orang tua dari anak itu. Mulai dari tempat tertabraknya, tapi tak ada petunjuk yang di dapat. Bahkan ia pun sudah berkeliling sambil membawa foto anak tersebut yang diambilnya secara diam-diam pada saat tidur dan hasilnya tetap sama, nihil.
"Belum dok."
Kali ini gantian Dokter Raihan yang terlihat pasrah. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi panjang yang terdapat di taman rumah sakit.
"Ini penyakit serius," Dokter Raihan menoleh ke sebelahnya menatap Panji. " Sebaiknya dia segera di pindahkan--"
"Gak!" Putus Panji cepat. "Saya tidak akan membawanya ke sana." Panji berucap tegas dengan tatapan yang menajam.
"Tapi ini yang terbaik untuknya!" Balas Dokter Raihan dengan suara datarnya yang tak kalah tajam. "Dan saya ingin yang terbaik untuk dia!"
Panji berdecih kemudian tersenyum miring. "Anda siapa? Hanya seorang Dokter!"
"Anda tak berhak memutuskan, karena disini saya yang bertindak selaku walinya."
Panji beranjak dari duduknya, baru tiga langkah suara Dokter Raihan menginterupsi langkahnya.
"Saya memang dokter." Ia melangkah mendekat, "tapi jangan lupakan bahwa dia bukanlah kerabat anda. Secara hukum anda tak memiliki kekuatan apapun. Dan anda bisa saja saya laporkan sebagai kasus penculikan bahkan penyebab ia mengalami--"
"Brengsek!" Panji mencengkeram kerah kemeja Dokter Raihan dengan kuat. "Berani anda lakukan itu--"
Dokter Raihan terkekeh kecil. "Oh tentu! Karena saya memiliki hak untuk memberikan pengobatan yang terbaik untuk pasien."
Panji mengendurkan cengkraman di tangannya, hal tersebut lantas diambil kesempatan oleh Dokter Raihan untuk membenarkan tatanannya.
"Ingat! Anda tidak berhak atas dia!" Ucap Dokter Raihan dengan nada yang terdengar setengah mengejek. Setelah itu dirinya pergi meninggalkan Panji yang terpaku di tempatnya.
Sial.
*
"Suster Ina?"
Suster Ina yang tengah menyelimuti tubuh mungil tersebut lantas menoleh ketika mendapati dokter Raihan yang berdiri di balik pintu.
"Bagaimana keadaannya?"
Suster Ina tersenyum. "Dia sudah tenang dok."
Dokter Raihan mendekati ranjang tersebut. Ia menatap lekat ke arah gadis kecil yang tengah tertidur lelap.
Matanya yang bulat lengkap dengan bulu mata lentik itu terlihat damai ketika tengah tertidur.
Hidungnya mungil tanpa tulang, berhasil membuat Dokter Raihan melengkungkan sudut sabit di bibirnya.
Benar-benar mirip seperti kamu. Batinnya.
"Eh?" Dokter Raihan tersentak ketika Suster Ina menyentuh bahunya. "Kenapa?"
"Dokter baik-baik saja?" Pertanyaan suster Ina tersebut membuat Dokter Raihan mengerut kebingungan.
"Daritadi Dokter melamun, saya panggil gak jawab."
Dokter Raihan mengangguk, "Saya baik-baik saja."
Suster Ina manggut-manggut, "Ya sudah, saya keluar dulu dok," pamit suster Ina yang dibalas anggukan oleh dokter Raihan.
Selepas kepergian Suster Ina, Dokter Raihan kembali mengamati bocah tersebut. Diusapnya peluh yang membanjiri dahinya menggunakan tangan. Tampak bola mata anak tersebut bergulir ke kiri dan kanan dengan resah. Bahkan tangannya menggenggam selimut di sisi tubuhnya dengan erat.
Sebenarnya apa yang terjadi pada anak itu?
🌻
"Jadi pengen liat orang-orangan salju langsung deh."
Ucapan itu tanpa sadar terlontar dari bibir perempuan berbandana pink yang tengah asik menonton film kartun.