Mentari

Putri
Chapter #4

Sunrise

"Pasiennya mana sus?" Dokter Raihan yang baru saja memasuki ruangan rawat terkejut saat tak melihat bocah itu di ranjangnya.

"Sepertinya sudah pulang dok." Jawab suster tersebut sembari menoleh ke arah Dokter Raihan.

"Pulang?" Beo Dokter Raihan.

Suster itu mengangguk. "Soalnya saya langsung di suruh membereskan kamar ini Dok. Karena suster Ina yang bertugas semalam mendadak resign."

Penjelasan itu cukup lama membuat Dokter Raihan termenung.

Anak itu pulang? Tapi mengapa tidak ada yang konfirmasi terlebih dahulu padaku? Padahal aku dokternya. Atau jangan-jangan Panji sudah bertemu dengan--

"Sial!" Maki Dokter Raihan sambil keluar dari ruang rawat.

Kini satu tujuan Dokter Raihan, yakni ke bagian administrasi. Ia ingin mencari informasi kemana dibawanya anak itu dan kapan mereka membawanya pergi.

"Pasien kamar Lily nomor 19 kemana?" Tanya Dokter Raihan tanpa basa-basi saat sampai di bagian administrasi.

Rena yang bertugas menjaga administrasi langsung bergegas mencari informasi di layar monitornya. Ia meringis takut melihat wajah Dokter Raihan yang tak bersahabat.

"Sudah pulang Dok dari semalam."

Panji masih setia menampakkan wajah datarnya. Tak peduli pada Rena yang di seberangnya berusaha menahan napas ketakutan.

"Siapa yang membawanya pulang?"

"Disini tertera atas nama Panji."

Mendengar hal tersebut sontak emosi di dalam dada mencuat kembali ke permukaan. Dokter Raihan tak bisa menolerir jika Panji yang membawanya pergi.

"Siapa yang memberi ijin pulang?" Bentakan Dokter Raihan semakin membuat nyali yang mendengarnya menciut.

"Sa--ya g--gak tau dok." Cicit Rena menggigit bibir bawahnya. "Saya baru jaga."

Dokter Raihan mengusap wajahnya kasar. Dirinya kecolongan. Tak seharusnya ia sampai seginininya, hanya karena pasien pulang tanpa seijin nya. Tapi ini semua berbeda jika tidak ada sangkut-pautnya dengan seseorang yang beberapa hari ini selalu mengusik kepalanya.

Tanpa sepatah kata pun Dokter Raihan berlalu. Masih dengan kemarahan yang menggebu-gebu dalam lubuk hati.

Kemana Panji membawanya?

🌻

Beginilah sejatinya kehidupan, akan ada yang pergi dan kembali. Lantas semua mengukir ceritanya sendiri, entah itu membawa luka ataupun tawa pada memori insan manusia.

Semenjak kepergian mereka dari Bandung, anak itu kembali ke tabiat awalnya. Diam tanpa kata. Ucapan disertai tangisan itu merupakan yang pertama dan terakhir terdengar.

Panji dan Suster Ina hampir menyerah. Setiap hari bocah itu terus melamun, persis seperti mayat hidup yang kehilangan nyawanya. Tak ada yang dilakukan layaknya anak seusianya, sepanjang hari dia gunakan untuk melamun. Entah untuk memikirkan apa.

Suster Ina tersenyum memandangi bocah itu yang duduk dengan nyamannya di atas kursi rotan. Kedua tangannya dia telungkupkan di pinggiran balkon guna menangkup wajahnya.

Sudah seminggu belakangan ini Suster Ina mendapati bocah itu tengah menyaksikan terbitnya matahari. Wanita itu tersenyum, kala melihat mata bulat itu mengerjap lucu saat matahari bergerak ke atas. Matanya yang dilapisi bulu lentik itu tak putus memandangi proses terbitnya sang surya ke muka bumi.

"Bagus kan Sus?" Untuk pertama kalinya setelah kejadian di Bandung bocah itu kembali bersuara.

Suster Ina membelalak tak percaya, namun dengan cepat ia mengangguk antusias. "Iya bagus banget!"

Tak lama gulita yang tadi menyapa telah digantikan kehadirannya oleh si pelita jagat raya. Sinar keemasan menghiasi angkasa dengan perpaduan warna biru menambah terpana yang menyaksikannya. Sungguh keindahan yang tak mampu di untai aksara.

"Kenapa suka lihat matahari terbit?" Suster Ina bertanya sambil menoleh.

"Cantik."

" Ck, Suster memang cantik." Jawabnya sembari mendelik sebal.

Bocah itu meringis melihat raut wajah Suster Ina. "Mataharinya bukan Suster."

Suster Ina menyengir, dalam lubuk hatinya ia sedikit merasa senang karena anak itu sudah mau merespon perkataannya.

"Matahari itu hebat. Dia tetap mau kembali meski tahu langit akan membiarkannya pergi. Tak pernah lelah menyinari meski tahu tak semua orang menyukai. Tetap berdiri kokoh meski seorang diri. " Bocah itu menghela nafasnya panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku mau jadi matahari tapi sayangnya gak bisa."

Suster Ina menoleh mendapati bocah itu yang menunduk lesu. "Kamu emang gak bisa jadi matahari buat semua orang." Dirangkulnya bahu tersebut membuat jarak yang tadi terbentang kini terkikis. "Tapi kamu matahari di hidup Suster."

Lihat selengkapnya