Mentari

Putri
Chapter #5

Memulai

Butuh satu tahun lamanya bagi Tari menerima Panji. Dan satu tahun telah berlalu, perlahan-lahan Tari sudah bisa menerima kehadiran Panji berkat Suster Ina, wanita itu yang meyakinkan Tari sedemikian rupa hingga akhirnya tembok penghalang itu terkikis sedikit demi sedikit.

Tari sendiri masih dalam proses adaptasi. Dia masih belum terbiasa untuk berinteraksi dengan Panji.

Biasanya mereka akan berinteraksi jika ada Suster Ina, dan Tari hanya menjadi pendengar setia. Jarang sekali dirinya ikut topik pembicaraan meski dua orang dewasa itu membahas dirinya sekalipun.

Tapi kali ini berbeda, di sofa merah muda itu hanya ada Panji dan Tari. Suster Ina sedang pergi belanja keperluan, dan Tari menyesal mengapa tadi tidak ikut. Sehingga ia harus terperangkap dengan orang yang tidak diharapkan.

Tari menahan napas saat merasa pergerakan dari sofa. Ia menunduk takut, mengigit bibir bawahnya kuat.

"Tari."

Mentari tak mengindahkan panggilan yang ditujukan untuknya itu. Ia masih terus menunduk menatap lantai putih di bawahnya.

Mentari hanya mampu diam, kakinya mati rasa tak mampu digerakkan. Bahkan ketika tangan Panji terjulur menyentuh dagunya, ia masih setia menundukkan kepala. Tapi jangan ditanya bagaimana dengan jantungnya yang berpacu kuat seperti ingin keluar.

"Lihat kesini!"

Bentakan itu terdengar menggelegar. Orang itu seperti tak punya belas kasih, ia mencengkram kuat dagu anak kecil di hadapannya.

"Gak mau!" Anak itu terus memberontak. Dia menggerakkan kaki dan tangan mungilnya yang tak seberapa.

"Gak...gak...gak mau!" Tari menjerit sekuat tenaga. Ia bahkan menendang apapun yang ditemuinya.

Panji terhenyak, ia kira penyakit itu telah sembuh setelah satu tahun ini dia tak melihat Mentari mengamuk. Namun prediksinya salah besar, sepertinya luka itu memang masih tertanam jelas di benaknya.

Tapi yang Panji bingungkan apa mungkin kehilangan orang tua menorehkan luka sedalam ini? Lalu jika memang begitu adanya, mengapa Tari hanya takut pada dirinya? Tidak dengan Suster Ina?

Panji memendam semua tanya yang berkecamuk di kepalanya. Ia merengkuh tubuh kecil nan rapuh itu. Di dekapnya erat seolah tak mau kehilangan.

"Le--le--lepas." Tari meminta lirih dengan air mata berlinang.

Panji tak menggubris. Ia terus mendekap erat gadis kecil itu, menyalurkan rasa nyaman agar membuatnya tenang.

Cukup lama Tari menangis sampai membuat baju bagian depan Panji basah. Pria itu tak memperdulikannya, ia melepaskan pelukan keduanya ketika dirasa Tari sudah cukup tenang.

Ditangkupnya wajah Tari, diusap jejak air mata yang mengalir di pipi menggunakan ibu jarinya.

"Om gak tahu apa yang terjadi sama Tari di masa lalu." Panji menghela napasnya panjang. "Tapi, satu hal yang harus Tari tahu, Om gak ada niat sedikitpun buat jahat sama Tari."

Tubuh Tari kembali bergetar hebat. Tubuhnya seolah menolak ketika mendengarkan kata yang terlontar dari Panji. Dan bayangan masa itu kembali berputar layaknya gulungan kaset rusak.

Panji semakin dibuat khawatir sekarang. Ditatapnya wajah kecil yang ada di hadapannya, tidak memberontak. Tapi diam dengan pandangan kosong, bahkan matanya mengeluarkan cairan bening untuk kesekian kalinya.

Semakin lama air mata yang keluar semakin deras. Membuat mata Panji ikut terasa mengembun, tak kuasa menahan sesak yang menggerogoti hatinya.

"Ta--ta--tapi dia ju--ga bi--lang begitu." Tari berucap di sela isakannya. "Hiks...hiks...hiks...Ta--pi nya--nyatanya di--dia bo--hong hiks..hiks..hiks.."

Meski Panji tak mengerti, ia tetap menangkup wajah kecil itu menatap lekat ke dalam bola matanya. "Hust...dengerin Om sekarang. Om bukan 'dia' yang kamu maksud. Kita berbeda."

Tari tertegun menatap mata Panji. Di dalam sanalah dirinya dapat merasakan ketulusan yang selama ini hilang.

Tari bimbang. Ia tak tahu apakah dia harus memulai atau tidak. Hati kecilnya masih belum siap, luka itu masih terasa membekas.

"Apa satu tahun ini gak cukup buat membuktikan kalau Om itu menyayangi kamu?"

Tangis Tari semakin menyeruak ke permukaan. Ia tergugu dalam diam. Matanya mengabur karena air mata yang terus keluar.

"Ma--makasih hiks...hiks...hiks... Ma--ma--maafin Tari."

Panji menggeleng, "Tari gak salah, jangan minta maaf."

"Ta--tapi Tari ba--ba--banyak bi--kin repot, hiks...hiks...hiks..."

Panji tersenyum hangat, " Tari gak pernah merepotkan sama sekali."

"Lupakan semua yang telah berlalu meski berat dan sakit sekalipun. Dan mulailah merengkuh lembaran baru tanpa pernah mengingat masa itu."

Cukup lama Tari terdiam setelah Panji berucap seperti itu. Apa mungkin dirinya mampu? Bahkan dirinya sendiri meragukan hal itu.

"Ta--ri janji." Tuturnya sambil mengangguk.

Panji tak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. Akhirnya penantiannya selama ini tidak sia-sia.

"Te--terima kasih Tari." Suara Panji bergetar.

Dibawanya wajah Tari mendekat kemudian diciumnya dahi itu dengan lembut. Panji tak bisa menahan lagi, air matanya ikut mengalir, tapi ini tangis bahagia.

Mulai hari itu Panji berjanji pada dirinya sendiri, ia akan menjaga Tari sepenuh yang dia bisa. Tak akan ia biarkan air mata kesedihan kembali mengalir.

🌻

Malam ini langit mendung, rembulan bersembunyi takut di balik awan, dan gemintang tak menampakkan dirinya satupun. Semua seperti tengah berkonspirasi, menciptakan rencana untuk hari esok yang penuh misteri.

Tari menghela napasnya dengan berat, kemudian dihembuskannya pelan. Terus seperti itu selama lima belas menit belakangan.

"Sayang kok di luar?" Suara Suster Ina terdengar dari arah dalam.

Sekarang Tari berada di kursi teras, duduk melamun menyaksikan angkasa. Tak lama Suster Ina datang dan duduk di sebelahnya.

"Kenapa hm?" Tanya Suster Ina lembut sambil membelai rambut Tari yang sedikit berantakan akibat angin.

Tari menoleh kemudian kembali menatap lurus ke depan. Membiarkan Suster Ina yang mencebik kesal karena diabaikan.

"Sus kenapa melupakan itu sulit?"

Suster Ina menoleh ke arah Tari dengan tatapan bingung. Ia tak mendengar jelas ucapan itu, namun samar-samar ia mendengar bahwa anak itu berucap.

"Hah? Kenapa?" Tanya Suster Ina.

Dengan cepat Tari menggeleng, ia bersyukur karena Suster Ina tak mendengarnya.

Lama keduanya terdiam, mereka sama-sama sibuk berkecamuk dengan isi kepalanya.

"Sus."

"Tari."

Mereka sama-sama memanggil kemudian saling menoleh dan tertawa bersama.

"Suster dulu."

Lihat selengkapnya