"A... jangan pergi!" Suara lirih penuh harap itu berhasil menghentikan langkah lelaki yang menyandang ransel hitam di pundaknya.
Lelaki itu tak bergeming, dirinya masih setia dengan posisi membelakangi. "Jangan seperti ini. Jangan buat langkahku berat."
Mati-matian laki-laki itu menahan napas agar suaranya tak bergetar. Ia tak ingin terlihat lemah.
"Tapi A.." perempuan itu mendekat, menyentuh lengan orang yang sangat dicintainya itu. "Neng gak butuh semuanya. Yang neng butuh cuma Aa." Ucapnya sambil mengeluarkan isak tangis.
Lelaki itu masih mempertahankan posisinya, bahkan ia tak menoleh sedikitpun. Ia sengaja melakukan itu karena tak ingin melihat air mata wanita yang dicintainya. Sebab bisa dipastikan ia akan ikutan menangis juga. Maka dari itu lebih baik dirinya seperti ini saja.
Karena sejatinya apabila lelaki menangis hanya karena seorang wanita, percayalah wanita itu sangat berharga untuk dirinya.
"Keputusan Aa sudah bulat." Laki-laki itu berucap datar dengan tatapan lurus ke arah depan.
"Hiks... hiks... hiks..."
Isakan tangis itu semakin kencang, tak kuat mendengar lebih jauh ia bergegas pergi namun pergelangan tangannya di tahan. "Jangan pergi A! Apa Aa gak kasihan ninggalin neng sendirian? Apalagi sekarang ada--"
Belum sempat ucapan itu terselesaikan sudah dipotong. "Lepas!" Titahnya dengan nada datar.
Wanita itu masih setia memegangi lengannya tak memperdulikan perintah untuk melepaskannya.
"Mau kamu yang lepasin atau aku?" Suara itu terdengar tajam.
Wanita itu tak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Ia malah dengan sengaja mempererat pegangan nya di lengan lelaki itu.
"AKU BILANG LEPAS!" suara lelaki itu meninggi. Nafasnya bergemuruh menahan gejolak emosi yang memenuhi rongga dadanya.
Mendengar bentakan membuat tangis kembali pecah dari wanita itu. Ia mundur perlahan, tak menyangka lelaki yang selama ini selalu bersikap lembut tega untuk membentak nya.
"A..aa jahat!" Isaknya.
Lama keduanya terdiam sampai akhirnya saat hendak melangkah tangannya kembali dicekal. Hal itu membuatnya naik pitam dan mendorong wanita tersebut hingga tersungkur. Ia tak menoleh membiarkan wanita itu menangis dengan kencang. Tanpa wanita itu ketahui dirinya juga ikutan meneteskan air mata.
"Naya..."
Panji terbangun dari tidurnya. Dadanya naik turun berusaha mengontrol nafasnya yang memburu. Mimpi itu bukan hanya sembarang mimpi, itu potongan kenangan yang telah berlalu bersama gadisnya.
"Kamu dimana Nay?" Lirih Panji.
Panji menatap sekeliling kamar hingga akhirnya menatap jam yang menggantung. Pukul dua dini hari.
Ia memutuskan bangkit dari tempat tidur kemudian melangkah menuju balkon.
Semilir angin lembut menyapa kulitnya yang hanya mengenakan kaus tipis. Ditatapnya langit penuh dengan bintang. Cuaca sangat cerah tak ayal rembulan pun ikut menampakkan diri.
Setengah jam telah berlalu, Panji masih setia memandangi angkasa seolah tak ada bosannya.
"Apa arti mimpi itu?" Gumamnya seorang diri.
Tak ada yang menjawab, hanya semesta yang tau jawabnya.
🌻
"Ina kapan kamu datang? Acaranya akan dimulai sebentar lagi." Panji bersuara gusar sambil mengetuk-ngetuk ponselnya ke tangan.
Panji tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, ia ingin di momen bahagianya orang yang disayang melihatnya, dan dia mengharapkan Tari datang. Tapi semua tak sesuai yang diharapkan karena sedari tadi orang yang diharapkan tak kunjung datang. Jangankan datang bahkan nomor ponselnya saja tidak aktif.
"Mas kamu kenapa?" Wanita dengan kebaya putih yang menjuntai di tubuhnya terlihat sangat cantik.
Panji menoleh mendapati Hera, wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
"Aku lagi nunggu teman." Jawabnya singkat dan cepat.
Hera mengangguk membiarkan Panji kembali dilanda gelisah. Panji tak bisa diam saja ia harus segera mendatangi rumah Ina. Perasaannya menyiratkan ada sesuatu yang terjadi, namun ketika baru melangkah suara Hera menghentikannya.
"Mau kemana Mas?"
"Aku harus pergi." Ucapnya pelan.
Hera menggelengkan kepala tak setuju. "Jangan mas!" Cegahnya dengan mata berkaca-kaca. "Acaranya sebentar lagi dimulai."
Panji mengacak rambutnya frustasi. Ia melupakan satu hal, bahwa sebentar lagi dirinya akan menikah. Mana mungkin ada pengantin laki-laki yang pergi di hari pernikahannya.
"Mas aku mohon." Hera meminta dengan suara yang tercekat di tenggorokan.
Panji menatap ke arah Hera yang matanya memerah berusaha menahan tangis. "Jangan tinggalin aku."
Panji menarik napas lalu membuangnya, terus berulang kali. Ia berharap rasa gelisah yang dilandanya bukan karena ketakutan melainkan karena gugup akan menghadapi akad nikah. Panji berusaha meyakinkan kalimat itu di dalam dirinya.
Sedangkan Hera tersenyum getir di balik pelukan Panji. Ia tak ingin semua yang telah dipersiapkan sejak lama menjadi berantakan. Ia tak ingin semua penantian dan pengorbanannya berakhir sia-sia. Hari ini Panji harus menjadi miliknya tanpa boleh ada satupun yang menggangu.
Untuk kali ini biarkan Hera egois.Â
🌻
"Yang ini gimana?" Suster Ina bertanya dengan kedua tangannya yang menggantungkan dress cantik berwarna pink dan biru langit.
Tari menelisik gaun tersebut, memang cantik tapi tak ada niat untuk memilih salah satunya.
Tari menggeleng membuat Suster Ina menghela nafas untuk sekian kalinya. Ini sudah gaun ke sepuluh tapi tak ada satupun yang Tari suka.
Tari meninggalkan Suster Ina yang menggerutu kesal. Ia mengedarkan pandang ke segala penjuru sampai mata cantiknya mengerjap lucu.
"Tari mau yang itu!" Tari menarik-narik ujung baju Suster Ina.
Suster Ina pasrah saja ketika tubuhnya ditarik sampai akhirnya berhenti di salah satu long dress berwarna hitam dengan lengan panjang.
"Tari suka yang ini?" Tanya Suster Ina.
Tari menampilkan senyum manis nya kemudian mengangguk semangat. Hal itu membuat Suster Ina menepuk jidatnya pelan.
"Ini gak cocok buat ke pesta sayang," Suster Ina berujar lembut.
"Kenapa Sus?"