"Kak Panji mana saljunya?" Tari bertanya antusias saat video call baru tersambung.
Panji tersenyum lebar. "Tari sudah sembuh?"
Gadis kecil itu mengangguk cepat, "kata dokter besok sudah boleh pulang." Lanjutnya. Tapi ada binar sendu di matanya yang dapat Panji tangkap.
"Kenapa hm?" Tanya Panji lembut.
"Disini bau obat Tari gak suka!"
Deg.
"Sama seperti Naya." Gumam Panji lirih.
"Hah? Ulangi kak, Tari gak dengar."
"Eh...bukan apa-apa." Jawab Panji gelagapan.
Tari mendelik malas, "makanya jangan melamun!"
Panji terkekeh mendengar omelan itu. Memang tak seberapa tapi berhasil membuat hatinya menghangat.
"Kak saljunya mana?"
Seketika senyum di wajah Panji memudar. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "A...anu..."
Panji tidak langsung menjawab, ia gelagapan sendiri terlebih ketika di hadapannya sudah terpampang wajah Suster Ina yang menimbrung dalam video call.
"Kenapa sayang?" Suster Ina bertanya dengan tangan membelai lembut rambut Tari.
"Ini Sus, masa Tari tanya saljunya mana Kak Panji malah jawab anu. Kan Tari jadi bingung." Adu Tari. "Padahal Tari penasaran mau lihat."
Mendengar hal tersebut Suster Ina memicingkan mata kepada Panji. Mendapat tatapan yang penuh intimidasi Panji sengaja membuang muka.
Suster Ina melirik jam di tangannya, kemudian berujar lembut. "Tari, disana malam sayang."
Tari menengok dengan dahi yang mengkerut lucu. "Malam? Ini siang Suster.
Masih dengan senyuman yang menghiasi wajah Suster Ina mencoba memberi penjelasan. "Beda waktu Indonesia dengan luar negeri itu jauh. Jadi kalo disini siang disana malam."
Tari manggut-manggut kemudian kembali menoleh pada handphone yang menampilkan wajah Panji. "Benar kak yang dibilang Suster?"
"Iya Tari."
Tari mencebik, "padahal Tari mau lihat salju."
"Kapan-kapan yah." Bujuk Panji ketika melihat wajah cemberut Tari.
Tari melipat tangannya di depan dada. "Gak mau. Nanti Kak Panji bohong."
"Beneran sayang."
"Janji?"
"Iya janji."
Tari melonjak kegirangan mendengarnya.
"Sekarang Tari di periksa dulu biar Suster yang bicara sama Kak Panji."
Tari menengok ke arah pintu, disanalah dia mendapati seorang perawat yang biasa mengontrolnya.
"Saya tahu disana masih siang." Ucap Suster Ina tajam ketika video call telah beralih padanya dan dia telah keluar dari ruang rawat Tari.
Panji menghembuskan napas kasar. "Disini malam Ina."
"Heh anda pikir saya bodoh?" Kesal Suster Ina. "Selisih waktu Indonesia dengan Paris hanya 5 jam. Dan sekarang baru pukul dua belas itu tandanya disana pukul lima, dan salju masih turun pada jam segitu."
Panji terdiam dengan perkataan Suster Ina. Ia benar-benar tak menyangka Suster Ina akan mengetahui kebohongan nya. Memang dirinya yang memberikan tiket itu kepada Panji, tapi jarang ada orang yang mengetahui seluk beluknya.
"Lebih baik sekarang kalian bersiap. Nanti malam kalian ada jadwal dinner di Restoran Les Ombres. Restoran itu berhadapan langsung dengan Menara Eiffel dan suasananya sangat romantis terlebih di musim salju seperti sekarang ini."
Panji geleng-geleng mendengarnya, bagaimana bisa Ina mengetahui jadwalnya hari ini.
"Kau seperti penguntit. Tahu semua jadwalku." Ucap Panji dengan senyuman miring.
"Tentu! Itu tiket dariku." Sambar Suster Ina cepat.
"Terima kasih tiketnya. Bahkan aku tak berpikiran untuk berbulan madu." Panji menjeda ucapannya sejenak. "Jika saja kau tidak memberikan tiket itu--"
"Sudahlah anda terlalu banyak bicara. Lebih baik sekarang bersiap. Telfonnya ku matikan."
Setelah itu panggilan terputus, tanpa sadar Panji melengkungkan senyum manis di bibirnya. Senyum yang bahkan belum pernah dia tunjukkan untuk sang istri.
🌻
"Adem kan?" Tanya Suster Ina seraya menghempaskan tubuhnya di kursi panjang.
Tari mengangguk. Mereka berdua kini berada di taman, atas permintaan Tari yang bosan di ruangan rawat.
Gadis kecil itu menarik nafas dalam-dalam meresapi sejuknya taman di sore hari. Terlebih lagi langit yang mulai menampilkan rona jingga menambah kesan kenyamanan yang melingkupi hati.
Tari menoleh pada Suster Ina yang nampaknya juga menikmati suasana sore hari ini. Bahkan Suster itu tampak sesekali tersenyum tatkala melihat segerombolan anak burung yang terbang.
Sudah cukup Tari rasa dirinya merepotkan wanita cantik nan baik seperti Suster Ina. Tak pernah ada keluhan sekali pun yang Tari dengar terlontar dari bibirnya. Wanita itu sangat tulus menyayanginya, dan kata terima kasih saja tak akan mampu membalas semua kebaikannnya selama ini.
"Hey tunggu!"
Tari mengedarkan pandang saat mendengar panggilan itu. Meski bukan ditujukan untuknya tapi Tari tetap saja penasaran.
Ia memutarkan kursi roda sehingga berbalik arah. Tepat dihadapannya kini ada taman bermain anak-anak. Beraneka macam mainan ada disana, seperti perosotan, jungkat-jungkit, ayunan dan masih banyak lainnya.