Mentari

Putri
Chapter #8

Buni

"Jangan harap akan hidup tenang setelah ini."

Ucapan itu terus terngiang di benak Tari. Bahkan semalaman gadis itu tidak bisa tidur nyenyak karena terus terbangun memikirkan ucapan itu.

Mengapa dia ada disini? Dengan siapa dia disini? Mengapa mereka harus bertemu kembali? Apakah dia benar-benar akan menggangu?

Itu merupakan sekian dari banyaknya pertanyaan yang bersarang di kepala Tari. Gadis itu cukup lelah dan pusing memikirkannya.

Untuk pertama kali Tari mengabaikan matahari yang terbit di timur sana. Biasanya sebisa mungkin Tari untuk tidak melewatkan, karena baginya melihat matahari terbit adalah penyemangat untuk dirinya menjalani kehidupan yang sulit.

Banyak hal yang Tari sukai dari matahari. Salah satunya bias cahaya yang menerpa membuat hatinya tenang, seolah matahari memang ditakdirkan untuk membantunya melepas beban.

Seperti sekarang ini, Tari memejamkan mata meresapi kehangatan yang menerpa diri serta hati. Diam-diam ia merapalkan doa kepada sang pemilik bumi agar dirinya diberikan kebahagiaan sedikit lagi sebelum menghadapi ancaman nanti.

Matahari semakin lama semakin naik ke atas, membuat sinarnya yang hangat berubah menyengat. Sudah berjam-jam Tari habiskan waktunya di tepi balkon membuat tubuhnya banyak berkeringat.

Tari beranjak masuk ke dalam ketika rasa gerah menyelimuti diri, ia bersiap untuk mandi dengan harapan mampu melupakan semua ketakutan yang belum terjadi.

🌻

Tari menuruni tangga dengan perasaan bingung. Biasanya kan segini Suster Ina tengah memasak atau membereskan rumah. Tapi sejauh mata memandang tak ditemukan sosok itu.

Tari membuka tudung saji diatas meja makan. Kosong. Tidak ada satupun makanan yang tersedia.

Tari beralih menuju kulkas berharap ada sedikit cemilan yang mampu mengganjal perutnya, namun itu semua nihil. Kulkas juga kosong.

"Suster kemana sih." Gerutunya kemudian berlalu meninggalkan meja makan dengan perasaan dongkol dan kaki yang sengaja di hentak-hentakan.

Sayup-sayup Tari mendengar suara dari arah ruang tamu. Ia yakin Suster Ina ada disana dan tengah menonton drama favoritnya.

"Suster jangan nonton drama terus Tari la--"

Tari tak melanjutkan ucapannya saat matanya menangkap sosok lain di sofa yang membelakanginya.

Tari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "maaf Tari ganggu." Ucapnya sambil menyengir.

Suster Ina menggeleng kemudian melambaikan tangannya supaya Tari mendekat. Gadis itu menurut kemudian duduk di samping Suster Ina dengan kepala yang menunduk.

"Ini anakmu Na?" Tanya orang tersebut.

Tari mendongak menatap Suster Ina yang lama terdiam, ia menunggu apakah dirinya akan diakui sebagai anak atau tidak. Apapun jawaban Suster Ina, Tari tidak akan marah.

"Iya Oma." Suster Ina menjawab dengan mantap membuat hati kecil Tari menghangat. Ada perasaan senang yang menjalar dari dada kemudian teraliri menuju bibir hingga membentuk lengkungan indah di kedua sisinya.

"Kenalan dulu sama Oma sayang," Suster Ina menunduk membelai lembut rambut Tari. "Oma ini tetangga baru kita. Rumahnya di sebelah kanan kita persis."

Tari mengangkat kepalanya menatap wanita dengan usia sekitar lima puluh tahunan. Ada beberapa kerut yang tampak di wajahnya dengan mata sipit dan kulit yang putih.

Tari tersenyum menyapa, namun seketika senyumnya luntur saat melihat sosok di belakang wanita tersebut.

Dia.

Tari mengerjapkan matanya berulang kali, berharap matanya salah melihat.

Jujur, ia belum sanggup untuk mengahadapinya. Ia masih ingin berbahagia sedikit lagi.

Namun semua harap harus sirna saat Oma malah merangkul orang tersebut dan mengajaknya berdiri untuk berkenalan dengannya.

"Ini cucu Oma namanya Angkasa." Ujar wanita itu kemudian menyuruh cucunya untuk mengulurkan tangan.

Dengan senang hati Angkasa mengulurkan tangannya, ia tersenyum puas melihat ekspresi terkejut gadis di hadapannya. "Angkasa, panggilnya Asa jangan angka nanti dikira lagi hitung matematika."

Suster Ina dan Oma kompak tertawa mendengarnya. Lain halnya dengan Tari, meski suara itu tidak semenakutkan kemarin tapi tetap saja ia takut.

Bayang-bayang masa lalu kembali menghantui pikiran nya. Ia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini.

"Hei," Asa mengibaskan tangannya di depan wajah Tari. "Jangan di perhatiin terus nanti suka loh."

Oma menepuk lengannya pelan, membuat Asa meringis.

"Biasa, Asa memang begitu. Terlalu percaya diri."

Suster Ina terkekeh, "gak papa Oma." Kemudian pandangan Suster Ina beralih menuju Tari yang berdiam diri layaknya patung.

Lihat selengkapnya