Hiya.
Hiya.
Hiya.
Teriakan itu menggelegar dari dalam ruangan yang didominasi oleh peralatan olahraga. Dua orang yang tengah memimpin kembali melesakkan kakinya ke udara lalu diikuti oleh yang lain dan teriakan kembali menggema.
"Saya rasa latihan cukup untuk hari ini." Tukas wanita berusia dua puluh tahunan setelah satu jam mereka berlatih.
Setelah berucap seperti itu kemudian semua saling berhadapan dan memberikan hormat dengan membungkukkan badan.
Kemudian satu persatu keluar dari ruangan itu, termasuk Tari yang nampaknya sangat kelelahan atas latihan pertamanya.
Tari mendengus ketika merasakan pundaknya yang terasa pegal. Ini karena tadi Tari tidak pulang terlebih dahulu, jadi ia harus membawa baju ganti. Membuat bobot di pundaknya menjadi bertambah.
Tari mendudukkan diri di halte menunggu bis seperti biasanya. Halte tampak sepi hanya ada seorang wanita berkerudung dan bayi dalam gendongannya. Sepertinya mereka juga tengah menunggu bis yang sama.
Setelah lima belas menit menunggu akhirnya bis datang juga. Namun saat hendak naik langkah Tari terhenti karena ucapan sang supir. "Kursinya yang kosong tinggal satu."
Sontak Tari saling berpandangan dengan ibu yang membawa anaknya itu.
"Biar saya yang naik yah mbak?" Pinta ibu itu seraya menimang anaknya. "Kasihan daritadi dia nangis terus."
Ibu itu menatap sang anak yang hampir saja terlelap, sebelum akhirnya tangis kembali menjalar dari kedua bibir mungilnya.
Melihat anak kecil tersebut ada rasa iba yang mengalir di hati. Tari mengalihkan pandang menatap sang supir. "Kira-kira bis selanjutnya kapan datang Pak?"
"Paling sekitar setengah jam lagi."
Tari mengangguk kemudian menyilahkan ibu tadi untuk naik.
"Makasih banyak mbak." Ucap ibu itu dengan senyum tulus.
Tari tersenyum sebagai balasan. Entah dorongan darimana tiba-tiba tangannya terulur menyentuh pipi bayi mungil itu. Seolah ikut berterima kasih bayi itu tersenyum menampilkan gusinya yang masih kemerahan.
"Eh adeknya senang liat mbaknya?" Ibu itu menggoda sang anak. "Dasar genit liat yang cantik aja ketawa."
Tari terkekeh mendengarnya kemudian sopir tadi memanggil, membuat ibu itu langsung menaiki bis. Sebelum berlalu ibu tadi sempat tersenyum dan menganggukkan kepala sebagai ucapan terima kasih.
Tari mengangguk kemudian bis berlalu dan dirinya kembali duduk di tempatnya semula.
Sebenarnya Tari bisa saja berjalan namun kakinya terasa sangat lelah dan bobot di pundaknya pun cukup berat. Bisa-bisa ia semakin pendek nantinya.
Tari tertawa akan asumsinya sendiri. Lagian mana ada orang yang berubah menjadi pendek. Dimana-mana pasti mereka menjadi tinggi bukan pendek.
Waktu terasa sangat lama bagi Tari. Entah karena dirinya yang menunggu waktu atau karena memang bis yang ditunggu tak kunjung dijumpa. Tari bergerak gelisah sambil sesekali melirik langit yang sudah menampilkan semburat jingga.
Tari tidak pernah pulang sesore ini, pasti Suster Ina dirumah sangat khawatir. Apalagi dirinya tidak sempat memberitahu terlebih dahulu tadi pagi.
Ada rasa bersalah yang menyergap ketika memikirkan suster Ina. Ingin rasanya menelfon tapi ponselnya habis baterai.
Brum...
Brum...
Brum...
Tari menolehkan kepalanya menatap si pengendara motor gede yang sangat berisik. Sebelum akhirnya ia kembali memalingkan wajah menatap resah ke arah datangnya bis.
Orang itu kembali membunyikan motornya, membuat telinga Tari rasanya ingin pecah. Tari mencoba mengenali orang tersebut namun hasilnya nihil karena orang itu mengenakan helm full face.
Merasa terus diperhatikan akhirnya Tari bangkit dan berlalu meninggalkan halte dengan perasaan takut. Jujur, dirinya belum pernah keluar jauh selama di Surabaya ini. Paling jauh hanya ke sekolah dan saat itupun Tari selalu diantar jemput oleh Suster Ina, karena dirinya masuk ke dalam kelas akselerasi yang mengharuskan dirinya belajar lebih lama. Dengan sabar Suster Ina selalu menjemputnya bahkan terkadang sampai menungguinya.
"Aaaaaa..."
Tari berteriak saat bahunya di sentuh. Ia menengok ke belakang dan mendapati si pengendara motor yang tadi dilihatnya di halte.