Mentari

Putri
Chapter #16

Permintaan maaf

Gedung taekwondo baru saja bubar sejak lima menit yang lalu. Menyisakan beberapa orang yang bersiap untuk pulang. Salah satunya adalah Tari. Gadis itu melangkah gontai ketika merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Latihan sore ini cukup berat, membuat mereka harus pulang lebih lambat dari biasanya.

Langit sudah menggelap, sang surya telah kembali ke peraduan menyisakan gulita di malam hari. Rembulan pun tak ingin unjuk gigi hanya sekedar membagikan cahayanya pada penduduk bumi.

Gadis itu mendudukkan tubuhnya di atas kursi panjang halte, menunggu bis seperti biasa. Untuk kali ini sepertinya terjadi kesalahan dengan lampu di halte, karena semua lampunya tidak menyala. Ditambah suasana malam yang tidak seramai biasanya menjadikan halte tampak remang-remang.

Tari menghela napas lelah, melirik jam tangan yang bertengger manis di lengan kirinya, pukul delapan malam lewat dua puluh.

Sudah lima belas menit lamanya Tari menunggu, dan bis tidak menampakkan diri juga. Langit gelap tanpa bulan dan bintang, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.

Perasaan Tari mulai tidak enak, ketika jalanan lenggang. Menyisakan sepi dan kilat yang menemani langit malam.

"Eh--eh kalian mau apa?" Tari tersentak saat dua orang berbadan kekar dengan tampilan awut-awutan menghampirinya.

"Hehe," si rambut gondrong tertawa. "Dia gak tau siapa kita."

Tari bergerak menjauh ketika dua orang itu semakin mendekat. Ia membalikkan badan hendak pergi tapi lengannya dicekal.

Bruk.

Refleks Tari menendang preman yang mencekal tangannya. Beruntung ia bisa menerapkan ilmu taekwondo yang baru dipelajari beberapa bulan ini.

"Sialan!" Maki preman yang tersungkur ke belakang.

Tari mundur beberapa langkah melihat preman yang di tendangnya tadi perlahan bangkit.

Tanpa Tari sadari si rambut gondrong terlebih dahulu menariknya ke dalam pelukan kemudian menyelipkan lengannya di leher Tari.

"Le--le--lepas." Tari memohon bahkan air matanya telah turun saking takutnya.

"Hah? Apa?" Tanya pria yang di tendang Tari kini bangkit di hadapannya.

"Lepasin." Cicit Tari lemah. "Sa--saya ma--mau pu--lang."

Tari mengatur nafasnya yang terasa sesak. Ia berusaha menyingkirkan tangan kekar di lehernya namun semua sia-sia.

Pria yang tadi ditendangnya, yang mengenakan celana jeans robek mendekat ke arah Tari. Ia menampilkan seringai bak iblis yang berhasil membuat bulu kuduk Tari menegak seketika.

"Lepas." Raung Tari ketakutan. Badannya gemetar hebat dan air mata tidak mau berhenti mengalir.

Preman di hadapannya tersenyum miring, kemudian tangannya terulur menyentuh wajah Tari.

Belum sempat tangan itu mendarat, seseorang melayangkan tendangan membuat tangannya terhempas dan ia pun ikut terjungkir ke belakang.

"Brengsek!" Preman itu kembali memaki ketika badannya menabrak kursi halte akibat tendangan tanpa di duga.

Orang yang menendangnya tadi mendekat, tanpa aba-aba ia langsung memukuli wajah preman itu membabi buta, tidak peduli jika preman itu akan mati di tangannya.

Melihat temannya yang kewalahan, preman berambut gondrong yang mencekal leher Tari berlari, kemudian menendangnya dari belakang.

Orang itu tersungkur lalu bangkit dan membalikkan badan melihat pelaku yang menyerang punggungnya.

"Asa..." Tari berucap lirih.

Asa melirik pada Tari, dengan isyarat mata ia menyuruh Tari minggir. Seolah dikomando Tari langsung berlari mengumpat di balik pohon.

Asa langsung saja melepaskan pukulan di rahang preman berambut gondrong, tak mau kalah preman itu membalas. Adu jotos pun tak terelakkan.

Tari bersembunyi dengan perasaan takut, ia belum pernah melihat adegan kekerasan seperti ini di depan matanya. Ia benar-benar takut sekarang.

Tapi, ada perasaan takut lainnya yang menghinggap, ia takut terjadi apa-apa dengan Asa.

"Asa...awas." Tari berteriak ketika melihat preman yang tadi berusaha menyentuh pipinya menyerang Asa dari belakang.

Asa menoleh namun ia kurang sigap, pria itu membawa pisau di tangannya dan berujung dengan perutnya yang tertusuk pisau.

"Arghhhhhh." Asa menjerit memegangi perutnya yang terasa ngilu, sampai akhirnya ia tumbang menyentuh lantai halte.

Melihat lawannya yang terkapar karena perbuatan curangnya, dua preman itu berusaha kabur meski dengan langkah terseok.

Tari terdiam di balik pohon, ia melihat semuanya di depan mata. Tanpa sadar air mata kembali membasahi wajah tanpa ia berkedip sekalipun.

"Asa..." Tari menghampiri Asa yang tergeletak. Dapat ia lihat Asa masih membuka matanya meski meringis kesakitan.

"Asa, maafin Tari. Ini semua gara-gara Tari." Ucap Tari di sela tangisnya. Ia bingung harus melakukan apa. Dia tidak mengerti sedikit pun tentang cara mengobati luka.

Asa menggeleng, bibirnya berusaha menampilkan senyum walau sulit sekalipun. "A--a--sa gak papa." Asa berucap dengan nafas tersenggal.

Lihat selengkapnya