Tari kecil berlari sekuat tenaga, rambutnya yang diikat kuda bergerak ke kanan dan kiri sesuai irama. Langkahnya melambat seiring dengan deru nafas yang memburu.
Tari berhenti lantas memegangi lututnya, ia berusaha mengatur nafasnya yang tersenggal. Lalu diraupnya oksigen sebanyak yang ia mampu.
Setelah cukup menetralkan lelahnya, Tari mendudukkan diri di pinggir trotoar. Dalam diam ia memeluk lutut sambil menatap langit.
"Anak itu memang sumber masalah di hidupku."
Ucapan itu kembali terngiang di kuping Tari. Membuat matanya memanas kemudian tanpa diminta air mata kembali menetes membasahi pipi. Ia semakin memeluk erat lututnya menyembunyikan tangis dalam pelukan.
Lama Tari terdiam sebelum akhirnya seseorang menyentakkan tubuhnya membuat ia mendongak menatap orang tersebut.
Dua orang dengan badan kekar, yang satunya berwarna rambut merah dan yang satunya menggunakan jaket belel yang mungkin entah sudah berapa lama tidak menyentuh air.
"Ka--kalian si--siapa." Lirih Tari ketakutan. Bahkan kedua tangannya sudah saling menaut.
Kedua preman itu tertawa kemudian mendekat dengan jalan yang sempoyongan.
"Eh--eh mau apa?" Tari kelimpungan saat dua preman itu mendekat bahkan menarik dirinya hingga berdiri.
Tari takut bukan main apalagi saat hidungnya mencium aroma anggur yang menguar dari nafas pria itu.
"Can...tik." Itu ucapan dari si rambut merah. Bahkan dengan lancangnya ia membelai seringan bulu pada pipi Tari.
Tari mundur ketakutan tapi ia kalah cepat saat preman itu menarik tangannya kemudian memanggulnya ke atas pundak layaknya karung beras.
Kepala Tari berputar, terlebih lagi posisinya yang saat ini dengan kepala di bawah membuat bumi seolah berputar.
"Lepas!" Pinta Tari namun tidak dipedulikan preman itu.
Tari tidak menyerah, ia menendang-nendang dada preman tersebut menggunakan kakinya. Bahkan tangan mungilnya ikut memberikan pukulan di punggung sang preman.
"Le--le--lepas." Tari meminta lirih, ia benar-benar sudah pusing saat ini.
Tak ada respon dari preman itu ia tetap membawa tubuh mungil Tari dalam gendongan.
Tak lama preman itu menurunkannya. Seketika Tari menatap linglung dimana tempatnya kini, pasalnya ia berada di suatu rumah yang sangat kumuh.
Matanya menatap sekeliling, banyak sarang laba-laba memenuhi langit-langit bahkan temboknya yang berwarna putih sudah berganti menjadi kehijauan akibat lumut yang menempel.
Tari bergerak mundur saat dua preman itu mendekat. Ia menggeleng kuat-kuat dengan air mata yang terus mengalir dari matanya.
"Pegangin dia!" Si rambut merah mengambil instruksi membuat temannya menurut kemudian memegangi kedua tangan Tari.
"Le--le--lepas."
Si rambut merah mendekat kemudian menyentuh pipi Tari dan mengelusnya dengan lembut menggunakan ibu jari.
"Malam ini kita makan puas."
Rambut merah menyeringai membuat temannya yang memegangi tangan Tari ikut tertawa lepas.
Tari menggeleng takut melihat wajah keduanya. Terlebih ketika si rambut merah mulai mendekat.
"A--a--aku mau pu--lang." Lirih Tari meminta belas kasih.
"Pulang?" Rambut merah mendekatkan wajahnya ke hadapan Tari.
Tari membuang muka, ia takut melihat wajah itu. Wajah yang sangat menyeramkan. Bahkan seringai yang terpatri di bibirnya melebihi iblis.
Melihat Tari yang menolak si rambut merah mencengkram dagu Tari erat. Bahkan rasanya kuku itu menancap dalam di pipi Tari.
"Malam ini kita senang-senang." Lanjut si rambut merah dengan tangan yang meraba dan mengelus lembut paha Tari.
"Gak--gak---gak." Tari berteriak membuat Wati yang ada di dalam dekapannya mendongak.
Tari melepaskan pelukan keduanya, kemudian memukuli kepalanya berulang kali.
Wati menghapus air mata di pipi, lantas menegakkan tubuhnya. Ia terperangah saat melihat Tari yang memukuli kepalanya berulang kali.
"Hey--Lita." Wati menahan tangan Tari yang hendak kembali memukul kepalanya.
Dapat Wati lihat ada sirat ketakutan dari mata itu. Bahkan bola matanya bergerak ke kanan dan kiri mengawasi sekitar.