"Seharusnya Kakak yang nenangin kamu, bukan sebaliknya." Ujar Wati setelah keduanya sama-sama lelah menumpahkan sesak di dada.
Tari menggeleng seraya tersenyum, "gak papa, Kakak pasti lebih sedih dari aku."
Wati mengernyit bingung, "Kok gitu?"
"Aku tau Kakak sedih bukan soal Melly doang. Tapi ada hal lain juga."
"Maksudnya?"
"Kakak gak mungkin nangis-nangis di poli kandungan karena Melly."
Jawaban Tari berhasil membuat Wati terdiam. Gadis itu benar, ia menangis bukan perihal Melly saja ada faktor tambahannya dan hal itu salah satunya setelah ia memeriksakan diri di poli kandungan.
"Kakak kenapa?" Tari bertanya hati-hati membuat Wati menoleh kemudian mengukirkan senyum tipis.
"Gak papa."
Gak papa. Kalimat andalan bagi kaum perempuan yang tidak ingin menyuarakan isi hatinya. Mereka berusaha baik-baik saja padahal hatinya remuk, perempuan memang secerdas itu dalam menyembunyikan luka.
Tari mengangguk, ia paham Kak Wati memiliki privasi yang mungkin tidak ingin ia bagi.
Wati menghela nafas panjang, matanya menerawang ke depan dengan tangan yang memegangi perut.
"Delapan tahun saya menikah, dan selama itu pula saya dibohongi."
Wati bersuara datar, tidak ada emosi sedikitpun dari getar suaranya.
"Kamu tau, hadiah terindah dari sebuah pernikahan adalah mempunyai keturunan. Dan saya sangat mengharapkan itu sejak awal menikah."
"Hingga akhirnya saya memeriksakan diri ke dokter kandungan, dan dokter bilang saya tidak ada masalah apapun. Tapi--" Wati menghentikan sejenak ucapannya lantas menghembuskan nafas kasar. " Saya tidak kunjung hamil juga karena selama ini saya meminum obat KB."
"Dan masalahnya saya tidak pernah merasa meminum obat tersebut.
Tari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung. Apa mungkin mungkin dokter salah mendiagnosis? lalu bagaimana bisa Kak Wati merasa tidak pernah meminumnya padahal dokter menyatakan hal seperti itu?
"Apa mungkin ada yang menaruh obat itu di minuman Kakak?"
Wati mengangguk, membuat mata Tari membelalak tidak percaya.
"Sampai akhirnya saya sadar satu hal, setiap pagi suami saya selalu menyediakan minuman teh untuk saya. Dia mengatakan itu vitamin, dan pernah sekali saya lupa meminumnya dia marah besar. Bahkan dia sampai membuatkan minuman itu kembali dan memaksa saya untuk minum di depan matanya."
"Awalnya saya ragu, namun saya juga penasaran. Sampai akhirnya kemarin saya membawa sampel minuman itu ke sini, dan setelah melalui uji laboratorium minuman itu dinyatakan mengandung obat KB."
Tari tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lidahnya kelu hanya sekedar untuk merespon. Bagaimana mungkin ada suami yang setega itu?
Wati meneteskan air mata, kali ini tidak disertai isakan atau raungan. Hanya menetes namun dapat Tari pastikan di dalam lubuk hatinya ia terluka.
Wati menghapus air matanya kasar kemudian terkekeh. Semua yang mendengar kekehan itu pasti tau ada luka yang tersirat di baliknya. "Seharusnya dari awal saya sadar dia tidak mencintai saya."
"Kami bersama karena perjodohan. Awalnya saya pikir kita sama-sama mencoba untuk saling mencinta. Membangun indahnya bahtera rumah tangga dalam ikatan suci pernikahan sehidup semati. Namun rupanya semua salah."
"Karena hanya saya yang terperangkap dalam pesona dia, tidak dengannya. Mungkin saya yang bodoh karena terlalu berharap lebih."