"Sus, kok ada bendera kuning? Jangan-jangan ada yang meninggal yah?" Tanya Tari saat taksi memasuki kompleks perumahan.
"Mungkin." Jawab Suster Ina sekenanya.
Tari mengangguk, semakin mendekat ke rumah perasaanya semakin tidak karuan. Ia merasa jantungnya berdebar kencang tapi tidak tahu untuk alasan apa.
"Sus, itu!" Tari menunjuk ke arah rumah Asa yang dipenuhi orang berpakaian hitam. Dan disana bendera kuning terpampang di depan rumahnya.
Tari bergegas turun dari taksi, ia menghampiri salah satu orang yang ada disana untuk bertanya siapa yang meninggal.
Mendengar jawaban orang itu membuat kaki Tari lemas rasanya. Meski masih lelah Tari tetap masuk ke dalam. Seketika pandangan nya terpaku pada satu titik, dimana terdapat seseorang yang berbaring dengan kain putih menutupi seluruh tubuhnya.
Pandangannya beralih kepada sesosok cowok yang duduk di sebelahnya. Pandangannya kosong menatap wanita yang tengah berbaring di depan sana. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia keluarkan dan sekarang rasanya air mata sudah lelah menemani kesedihannya.
"Asa." Tari mendekat menyentuh bahu Asa, memberi kekuatan pada cowok itu.
Tapi Asa tetap tidak menoleh, ia masih setia memandangi wajah damai Omanya yang baru saja dipanggil sang pencipta ke pangkuan.
"Kenapa Oma pergi secepat ini?" Asa berujar lirih membuat Tari ikut meneteskan air mata.
"Sa, yang sabar." Ucap Tari dengan pandangan yang mengabur.
"Apakah setiap kepergian harus dijalankan dengan penuh kesabaran?"
Tari terdiam tidak bisa menjawabnya. Kita memang bisa berbicara semudah itu, tapi tidak dengan mereka yang menjalaninya. Sulit rasanya untuk ikhlas di saat kehilangan.
Tari diam tidak berbicara apapun lagi, ia membiarkan Asa terus memandangi wajah Oma-nya untuk yang terakhir kali. Hingga akhirnya wanita itu digiring menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Asa turut serta memasukan wanita itu ke dalam liang lahat, bahkan tangisnya pecah saat tanah mulai menimpa tubuh Oma-nya.
🌻
Sudah seminggu sejak kepergian Oma dan Asa masih mengurung diri di rumah. Ia tidak menerima siapapun, dan kini dengan tekad bulatnya Tari akan menghibur cowok itu. Sudah cukup rasanya waktu yang ia berikan untuk Asa bersedih. Kehilangan memang menyakitkan tapi bukan berarti kita harus terpuruk dalam lembah penyesalan.
Dengan kotak bekal di tangannya Tari mendatangi rumah Asa. Hanya ada bik Nah yang tengah beberes, ia langsung menyuruh Tari menghampiri Asa di kamarnya. Karena sejak pagi Asa tidak keluar, hal itu pun turut membuat Bi Nah cemas.
Tari menarik nafasnya sebelum akhirnya melangkah naik ke lantai atas untuk menghampiri kamar Asa. Selama delapan tahun berteman dan ini untuk pertama kalinya ia akan memasuki kamar Asa. Selama ini Asa yang selalu main di rumahnya tidak sebaliknya. Bisa dihitung jari Tari menginjakkan kakinya di rumah Asa dan itupun sebatas ruang keluarga. Selebihnya ia tidak pernah.
"Asa..." Tari memanggil dengan tangan mengetuk pintu.
"Asa..." Tari kembali memanggil saat tak ada sahutan dari dalam. Merasa kesal Tari pun membuka pintu dan rupanya tidak dikunci.
Ia melangkah memasuki kamar dengan interior black and white. Persis seperti warna kesukaan Tari. Kamar yang cukup simple tapi terasa indah dipandang mata.
Dilihatnya Asa yang tengah bersandar di balkon. Sepertinya Asa tidak menyadari keberadaannya terbukti dengan ia yang asik memeluk foto bahkan sesekali mengusapnya.
Tari mendekat namun masih dalam radius yang tidak disadari Asa. Ia penasaran dengan foto yang ada di dalam dekapan cowok itu. Disembulkannya kepalanya dari balik gorden tepat dengan Asa yang mengangkat foto itu. Ada beberapa orang di dalam foto itu salah satunya Asa, tapi ada satu orang yang membuatnya tercengang.
Om Heru?