Ibuk yang selesai menjemur cucian nya duduk di sebelah ku,
"Gimana sekolah nya tadi? Duduk di bangku nomer berapa?" Ucap ibuk yang medok
"Nomer tigak buk, sama murid baru". Jawab ku merengut
"Siapa?"
"Itu buk, cucu nya nenek Romlah."
"Oh ... Anak nya mbak Isnaini, iya iya." Ibu mengangguk angguk
"Siapa?" Tanya ayah yang kebangun karna suara obrolan kami.
"Itu loh ya, anak nya Isnaini. Sekolah di kampung sama Tari."
"Padahal sekolah di kota lebih bagus loh, kok malah di pindah ke kampung." Jawab ayah sambil kipas kipas
"Isnaini punya hutang banyak katanya yah, terpaksa anak nya di boyong ke sini tinggal sama nenek nya." Ucap ibu serius
"Padahal usaha dia di jakarta luamayan lancar loh. Punya anak berapa si Isnaini?" Tanya ayah
"Ngga tau yah, entah dua entah tiga. Kurang paham aku yah."
Aku menguping pembicaraan kedua orang tua ku sambil berpura pura meembuka buku pelajaran ku. Aku tahu sekarang kenapa si Putri bersekolah di kampung. Seandainya aku jadi dia harus tinggal dengan nenek ku dan jauh dari ayah ibuku, pasti aku tidak mau. Untung saja bukan aku.
Ibuk dan ayah lalu sholat dzuhur berjama'ah ke dalam. Baru saja aku mau mematikan Radio ayah. Kakak perempuan ku datang dari sekolah nya.
Dia menghempaskan tas nya ke dipan kayu dan duduk dengan mengipasi tubuh nya menggunakan buku LKS ku. Sebenarnya aku sangat malas menonton Tv jika ada mbak Naura, dia selalu usil dan seenak nya saja menguasai remot Tv.
Baru saja aku mau mengambil remot Tv. Dia sudah menyuruh ku
"Tari, ambilkan remot nya." Ucap nya yang masih mengipasi tubuh nya yang penuh keringat.
Dengan lihai mbak Naura memencet mencet angka di remot dan menonton acara favoritnya yaitu sinetron remaja. Aku langsung pergi meninggalkan nya ke halaman rumah. Aku lebih memilih bermain di bawah pohon jambu ku. Dari pada ribut sama mbak Naura.
"Kok ngga ganti baju dulu sih ra?. Mandi mandi dulu sana gih, sudah sholat kah kamu?" Suara ibu yang datang dari dalam sambil menyibak gorden pintu.