Aku pulang dengan diantar oleh warga yang rumahnya dekat dengan lapangan sepak bola tersebut. Dia memboncengku dengan sepeda motornya. Setibanya dirumah. Ayah dan ibuku langsung panik karna aku pulang di antar oleh seseorang.
"Ya Allah ... Kenapa anak ku?" Tanya Ayah
"Dia tadi jatuh habis mainan sepeda di lapangan." Jawab bapak tersebut.
Aku masih menangis kesakitan sambil memegangi lututku yang berdarah. Celana ku sampai koyak karna kerikil yang bergesekan dengan kulitku.
"Huu ... Hu ... " Aku menangis ketika ibu membersihkan luka ku. Ibu membawa plaster dan air bersih untuk mengelap luka di lututku.
"Sepedanya masih di lapangan mas." Ucap bapak tersebut.
"Nggak papa. Nanti saya yang ambil." Ayahku memijat kakiku yang terkilir.
"Ya sudah. Saya pamit dulu, lain kali hati-hati ya nduk kalo naik sepeda." Pamit bapak tersebut padaku.
"Makasih ya kang, makasih." Ucap ibuku menimpali.
Ayah dan ibuk tidak memarahiku sama sekali. Namun aku masih merasa bersalah dan tidak terima dengan Acil dan Putri. Aku pasti akan mengadukan mereka pada Ayah.
"Ada apa ini buk?" Tanya mbak Naura yang barusaja kembali dari rumah teman nya.
"Kamu kenapa Ri?"
"Tari jatuh di lapangan bola. Dia diantarkan oleh Bapak-Bapak yang rumahnya disana." Jelas ibu
"Pasti sepedaku kan yang kamu pake?" Ia menanyaiku dengan kesal.
Aku hanya menangis tersedu tanpa menghiraukan omelan mbak Naura.
"Sudahlah ra, kamu mandi sana. Adekmu ini lagi kesakitan." Bela Ayah
____
Malam hari setelah menyuapiku, Ibu dan Ayah pergi ke lapangan untuk mengambil sepeda yang telah rusak tadi siang. Mereka berjalan sambil menuntun sepeda yang rusak dan pecah ban nya. Kali ini aku pasrah apapun yang Ayah ucapkan padaku. Aku tak akan membalasnya. Aku memang salah karna telah berbohong pada kedua orang tuaku.
"Bisa di benerin sendiri kah yah?" Tanya ibu pada ayah yang sedang memasang rantai yang terlepas.