"Oh. Kalo dia mau nunggu ya nggak papa. Lagipula kita kan belum tahu gimana anak nya?" Ucap ayah.
___
Beberapa minggu kemudian, Ibu mendapat kiriman surat dari Jakarta. Surat itu bukan berasal dari anak bu haji Namimah. Melainkan dari kak Ilham, kakak pertamaku yang merantau dan bekerja disana. Dengan mata berkaca-kaca ibu membaca surat dari kak Ilham. Kami membaca surat tersebut secara bergilir. Tak lupa kak Ilham juga mengirimkan jam tangan untukku dan mbak Naura. Aku senang melihat kebahagiaan keluargaku. Meski kak Ilham belum hadir di tengah-tengah kami.
Di dalam surat tersebut, kak Ilham menyampaikan bahwa dalam beberapa minggu yang akan datang ia pulang kampung. Sudah hampir setahun ini kak Ilham belum pulang sejak kepulangan nya lebaran tahun lalu. Aku sangat rindu dengan kak Ilham. Jika dia sedang di rumah, ia selalu mengajakku berkeliling desa dengan sepeda motor butut milik ayah. Kak Ilham juga sering memberiku uang jajan lebih jika aku berangkat ke sekolah.
"Alhamdulillah ... Ibuk masih dikasih uang sama kakakmu ri," Ucap ibu setelah membuka paket dari kak Ilham.
"Tari juga dapat jam tangan loh buk. Nanti Tari kasih tau Putri." Aku kegirangan karna memakai jam tangan baru.
"Awas rusak loh, disimpen baik-baik."
"Iya buk. Nanti kalau Tari besar, Tari mau kerja kaya kak Ilham terus nanti Tari akan belikan ibuk kalung emas." Dengan percaya diri aku mengatakan nya pada ibuk.
"Kerja apa kamu? Paling juga kerja jadi pelayan." Ucap mbak Naura yang datang dari kamar.
"Lihat saja nanti, aku akan lebih sukses dari pada mbak Naura." Ucapku kesal.
"Sudah, kalian ini kok ribuuut terus nggak ada akurnya?" Ibu melerai kami.
Sebenarnya aku sangat ingin membalas kata-kata mbak Naura padaku barusaja. Tetapi ibu melarang kami untuk berdebat. Hubunganku dengan mbak Naura tidaklah sedekat aku dengan Putri. Bahkan kami lebih terlihat tidak seperti saudara sama sekali. Mbak Naura tak pernah menyayangiku sedikitpun. Apalagi saat ini dia lebih dekat dengan Hani, teman sekelasku. Tentu saja dia tidak peduli denganku.
Karna ucapannya yang menyakitiku, aku jadi teringat dengan ulahnya yang mentraktir teman-teman nya di Bazar lalu. Aku lupa belum menceritakan nya pada ibu. Aku bukanlah tipe orang yang suka mengadu. Namun jika ingat dari mana uang itu berasal, aku jadi geram dengan kakak perempuanku itu. Tega-teganya ia menggunakan uang yang ayah pinjam dari nenek untuk bersenang-senang dengan teman nya.
"Mbak Naura, kemarin waktu ada bazar. Mbak Naura pergi kesana kan?" Tanyaku ketika kami akan tidur.
"Nggak." Jawabnya singkat.
"Kok aku kayak liat mbak Naura disana?"
"Kapan? Jangan mengada-ngada deh kamu." Jawabnya dengan ketus.
"kalau mbak Naura kesana nggak masalah. Aku kan cuma tanya. Kenapa jadi marah sama aku?" Ucapku dengan sedikit kesal.
"Jangan ikut campur urusanku ya. Kamu masih kecil." Dia memperingatiku sambil menunjuk ke arah wajahku. Dia membalikkan badan dan memasang wajah judesnya. Dasar mbak Naura, tukang bohong. Akan aku adukan pada ayah dan ibu.
___
"Jam tangan kamu baru ya?" Tanya Putri ketika kami berdua duduk di depan kelas.