****
Dua hari menyaksikan ketidakakuran ibu dan Mbak Naura membuatku jenuh total. Meskipun permasalahan itu belum sepenuhnya teratasi, akan tetapi ... Konsekuensi terburuknya adalah Mbak Naura akan dikeluarkan dari sekolah, cepat atau lambat.
Dan juga perjodohannya dengan Ari-putra Bu Namimah, terpaksa harus dibatalkan.
Begitu menyakitkan ketika mengetahui bahwa ayah dari bayi yang sedang di kandung Mbak Naura adalah Bahar. Baharudin-kekasih Mbak Naura yang selama ini selalu mengirimkan surat dan bingkisan secara diam-diam.
Hingga pening terasa kepalaku. Sebenarnya aku tak ingin berlarut-larut akan hal ini. Bagaimana bisa, aku melarikan diri dan berpura-pura menjadi orang lain? Ketika saudaraku sendiri sedang dalam masalah. Di tambah lagi, minimnya dukungan moril dari ayah dan ibu yang membuatku iba dengan Mbak Naura.
Tugas kesenian yang beberapa hari lalu kurencanakan dengan Putri, semakin menjadi beban di pundak. Siang ini juga, aku ingin menggarapnya selagi ada waktu senggang.
Satu alasan lain yang tak kalah penting yaitu, aku ingin bertemu dengan sahabatku itu. Aku ingin menceritakan segalanya padanya.
Setidaknya, ini akan meringankan isi pikiranku akhir-akhir ini.
"Nek, Putri di rumah?" tanyaku pada nenek Romlah yang sedang menyapu dedaunan yang memadati halaman rumahnya.
Nenek Romlah menghentikan ayunan tangannya, lalu menoleh.
"Loh, bukannya tadi main ke rumah kamu? Tadi pamit sama nenek kalau mau mengerjakan tugas sekolah sama kamu." tutur nenek Romlah yang membuatku mengernyitkan dahi.
Ke rumah aku?
Batinku sembari mengedarkan pandang pada dedaunan kering yang menari tertiup angin.
"Jadi, cucu nenek tidak ada di rumah kamu?"
Aku menggeleng.
"Trus kemana? Sudah sejak tadi!" tatap nenek Romlah yang membuatku terpaksa mencari alasan, agar ia tak memarahi Putri.