***
Sepekan berlalu, setelah pertengkaran di kelas itu, aku dan Putri masih saling bungkam. Tak ada usaha apapun di antara kami untuk berbaikan, atau hanya sekedar bertegur sapa.
"Putri nggak pernah main ke sini, Ra?" Mbak Naura menuang teh hangat setelah menyelesaikan sarapannya.
Aku mengedikkan bahu, tanda tak ingin membahas hal ini. Meski dengan Mbak Naura sekalipun.
"Kenapa?" Mbak Naura menatapku.
"Sibuk sama pacarnya mungkin?" Aku berusaha memindahkan pandanganku pada kalender yang terpasang pada dinding jati ruang tengah rumah kami.
"Kamu nggak pacaran?"
"Enggak, aku mau sekolah aja yang bener Mbak!"
Mbak Naura berdeham pelan.
Oh .... Maaf Mbak, aku tidak sengaja. Mungkin ucapanku menyinggungnya.
"Oh ya Mbak, sudah masuk lima bulan 'kan? Empat bulan lagi Mbak Naura melahirkan. Woah ... Ngga sabar Tari punya ponakan!!" ucapku dengan girang.
"Kalau Mbak udah melahirkan udah nggak tinggal sama kamu!!" jawab Mbak Naura sambil tersenyum.
"Loh?"
"Secepatnya, setelah Mbak melahirkan, Mbak akan menikah."
"Mbak Naura tinggal di rumah Bahar?"potongku dengan cepat.
Mbak Naura mengangguk.
"Hari libur, kamu nggak main ke rumah temenmu?"
Aku menggeleng, "males Mbak. Mending nonton Tv!!"
"Tari, kamu mau kemana?" Tanya ibu yang keluar dari dapur.