___
Empat tahun berlalu.
Sejak terakhir kali Putri mengirimkan sepucuk kabar, hal yang sama tak pernah lagi ia lakukan.
Zaman memang sudah canggih. Pun kami berdua telah lulus dari sekolah menengah atas. Menghubungi via telpon sangatlah bisa. Tetapi aku menyukai tulisan tangannya, tentang bagaimana ia mencoretkan namaku pada tiap paragraf suratnya.
"Dari tadi kamu belum sarapan, Ri. Sibuk apa sih?"
"Eh, enggak Buk," dengan cepat aku menukar surat Putri dengan kertas apapun yang ada di meja. "Lagi beresin buku yang udah nggak kepake!"
"Cepetan sarapan! Sudah ditunggu sama Andreas di luar." seru ibu dengan kening mengerut.
Baiklah, Andreas ini bukanlah laki-laki yang mudah menyerah. Aku harus mengatakan sesuatu padanya. Maaf bu, aku harus menunda sarapan kali ini.
"Ndre, maaf ya ... kayaknya aku urung deh buat nglamar kerja bareng kamu." Sebisa mungkin aku mengubah intonasi ke level paling rendah.
"Kenapa?" Kalimat yang sudah kuduga akan ia ucapkan.
"Entahlah Ndre," aku membuang nafas kasar, "dari awal aku udah nggak sreg kerja di PT. Maaf ya? Kamu nggak papa 'kan?" Mencoba mencari simpati dari laki-laki yang terduduk lesu ini.
"Nggak papa Ri ... Tapi ibumu-"
"Ibu ngga ada masalah, semua terserah aku."