Mentari

Larantara
Chapter #3

Bab 1

“Tari, kamu di mana?” ujar Mamanya yang baru saja pulang kerja.

“Di kamar, Ma,” ujar Tari berteriak dari dalam kamarnya

“Kamu lagi ngapain?” ujar Mamanya masuk ke dalam kamar Tari.

“Lagi ngerjain pr, Ma. Ini tinggal satu nomor lagi.” Tari memperlihatkan pekerjaan rumah pada Mamanya.

“Mama periksa dulu yah,” ujar Mamanya yang kini telaten memeriksa pekerjaan rumah Tari. “Tari ini kamu Cuma benar satu! Kamu mengecewakan Mama tahu enggak! Kerjain ulang, kamu harus jawab dengan benar!” ujar mamanya yang kembali menyerahkan PR Tari.

“Tari tahunya Cuma kayak gini, Ma,” ujar Tari terbata-bata.

“Sini, Mama ajarin.” Mamanya mengambil kursi yang berada di sebelah Tari. “Ini kamu Cuma benar nomor 1 saja, jadi langsung ke nomor dua, ya. Ini kan soalnya, 75 + 6. Jadi, yang mana puluhan di 75?

“Hmm...” ujar Tari yang sedang berpikir keras. “Lima?”

“Bukan Tari, tujuh! Puluhan itu, selalu berada di depan, sedangkan satuan berada di belakang! Ingat, ya!”

“Iya, Ma.”

“Jadi, jawabannya berapa?”

“135, Ma!”

“Tari! Mama kan sudah bilang, kalau satuan itu di belakang, puluhan ada di depan! Kenapa kamu jawab 135? 135 itu dari mananya? Kamu kenapa bodoh begini, sih?” ujar Mamanya dengan nada tinggi dan kesal.

“Kan 6 ada di depan, Ma. Jadi, ditambahin 7 hasilnya 13, 5 nya turun ke bawah. Hasilnya 135,” ujar Tari kembali terbata-bata tanpa melihat Mamanya.

“Astaga Tari! Hei, angka 6 di sini sendiri jbukan puluhan! Gimana sih kamu! Sok-sokan di depan kamu bilangnya. Kamu simpan dimana otak kamu? Otak kamu itu ya, enggak berguna banget! Sudah berapa hari kamu enggak belajar? Puluhan, satuan, saja kamu enggak tahu! Gimana kalau sudah ratusan, ribuan dan nilai tinggi lainnya? Bisa-bisa kamu enggak bakalan lolos ujian! Kamu itu sebenarnya anak siapa sih? Kenapa bodoh banget!” ujar Mamanya dengan cepat, sedangkan Tari sudah menangis mendengar amarah Mamanya. “Ngapain kamu nangis? Belajar! Supaya pintar, kalau enggak belajar kamu enggak bakalan pintar! Ini juga, air matanya, awas kena bukumu. Nanti kamu enggak bisa menulis! Jangan sampai itu jadi alasan lagi bagi kamu enggak nulis pr.”

Lihat selengkapnya